Menjaga Marwah Ulama dari Intrik Siyasi di Muktamar NU
Jika ini terjadi sebelum sama-sama berangkat ke Lampung maka selesailah sudah urusan muktamar NU.
Penulis: Husein Sanusi
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Muhammad Husein Sanusi, Jurnalis Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM - Sorak-sorai mengiringi pemilihan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Aula Asrama Haji Sudiang, Makassar pada Minggu dini hari, 28 Maret 2010 silam.
Teriakan “KH Hasyim Muzadi.... Mbah Hasyim.... KH Sahal Mahfudz,.... Mbah Sahal.....” diiringi teriakan dan tepuk tangan warga Nahdliyyin dari aula dan pelataran menjadi pemandangan memilukan saat itu.
Tak sedikit yang hadir di Muktamar NU itu memperdengarkan suitan dan yel-yel dukungan ketika nama kedua Kiai itu disebut. Proses penghitungan suara berlangsung alot.
Saya duduk termenung di pelataran aula. Air mata ini tak terasa tiba-tiba meleleh di pipi. Jiwa dan raga sontak lemas seperti kesetrum merasakan kepedihan ketika nama Kiai yang selama ini dihormati diteriakkan dan disambut tepuk tangan, laiknya pertarungan para gladiator di film-film jaman Yunani dan Romawi kuno.
Baca juga: Soal Siapa yang Berpeluang di Bursa Calon Ketum PBNU, Ini Analisa Pengamat
Dalam hati hanya bisa berkata lirih, kasihan para Kiai kita digiring ke arena seperti ini.
Saya tak tega rasanya melihat para Kiai yang selalu kita cium tangannya itu diperlakukan seperti ini. Kasihan para Kiai, orangtua kita dijadikan ajang tontonan dan teriakan-teriakan seperti ini.
Dalam aula, Kiai Sahal Mahfudz (Allahu Yarham) dikelilingi pendukung. Kiai bertubuh kurus pakar Fiqih itu duduk membungkuk di kursi. Setelah dipastikan menang, pendukung menggotong tubuh kecil Kiai sepuh NU itu diiringi Shalawat Badar dan teriakan yel-yel.
Kiai Sahal Mahfudz akhirnya terpilih untuk ketiga kalinya menjadi Rais Aam PBNU periode 2010-2015 di Makassar mengungguli KH. Hasyim Muzadi. Duet ideal antara tua-muda di kepemimpinan NU akhirnya terjadi saat itu dengan KH. Said Aqil Siradj menjadi Rais Tanfidz setelah memenangkan perebutan suara melawan Slamet Effendy Yusuf. (AS Kambie/TribunTimur 2010).
Tahun 2015 arena Muktamar NU berpindah ke Jombang. Saya kembali hadir di Muktamar tersebut dengan harapan mendapatkan keberkahan dari tanah NU dilahirkan. Jombang bagi Nahdliyyin adalah titik poros pusat NU tempat bersemayamnya para begawan NU mulai dari Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri hingga tokoh fenomenal NU, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Namun ternyata keberkahan tanah Jombang seperti tertutupi oleh trik dan intrik para elite NU yang kala itu kembali berebut kekuasaan. Suasana panas mulai terasa usai pembukaan Muktamar di alun-alun Kota Jombang. Beberapa sidang berlangsung deadlock hingga puncaknya KH. Musthofa Bisri menangis di depan peserta muktamar sembari menunjukkan secarik kertas putih berisi surat pengunduran diri ditulis dengan aksara Arab Pagon.
Perlawanan keras ditunjukkan KH. Shalahuddin Wahid yang didukung Kiai Sepuh terhadap kubu KH Said Aqil Siradj yang kembali mencalonkan diri sebagai Rais Tanfidz. Pada akhirnya Kiai Said kembali ditetapkan sebagai Ketum PBNU untuk periode 2015- 2020. Dalam pemungutan suara, Kiai Said memperoleh 287 suara, As'ad Ali 107 suara, dan Gus Sholah 10 suara.
Pemilihan seharusnya dilanjutkan dengan putaran kedua, namun Kiai As'ad Ali memutuskan untuk mundur dari pencalonan dan mendukung Kiai Said. Sebelumnya KH Ma'ruf Amin ditetapkan sebagai Rais Aam NU setelah sembilan kiai dalam forum ahlul halli wal aqdi (AHWA) memilih KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus sebagai Rais Aam, tapi yang bersangkutan menyatakan menolak pemilihan itu.
Duet tua dan muda dalam kepengurusan NU pun kembali tercipta dengan terpilihnya Kiai Said berpasangan dengan KH. Ma’ruf Amin. Meski demikian, Muktamar Jombang ini masih menyisakan luka mendalam akibat adanya rencana gugatan dari kubu yang tak menyetujui hasil Muktamar.
Dampak lain dari Friksi Siyasi dalam muktamar Jombang masih terasa hingga kini dengan munculnya kelompok sempalan NU yang menamakan diri mereka dengan NU Garis Lurus.
Lampung di penghujung tahun 2021 ini tiba-tiba memiliki alaqah kuat dengan Jam’iyyah NU.
Arena Muktamar organisasi para Kiai akan digelar di daerah yang juga terkenal dengan gajah ini.
Konstalasi pemilihan Ketua Umum PBNU di Muktamar ke-34 sempat memanas soal penentuan jadwal muktamar.
Kiai Said yang sudah dua periode memimpin PBNU ternyata masih mengincar posisi ketum untuk yang ketiga kali berhadapan dengan yuniornya KH. Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya.
Maju mundurnya jadwal muktamar sempat jadi pemicu sebelum akhirnya baik kubu Kiai Said maupun Gus Yahya berdamai untuk menggelar muktamar sesuai jadwal yang disepakati saat Konbes dan mendapat persetujuan dari pemerintah.
Friksi Siyasi antar elite NU memang cukup mereda setelah itu, tapi kemungkinan friksi siyasi itu akan kembali menajam saat memasuki arena muktamar besok.
Ada baiknya baik kubu Kiai Said dan Gus Yahya hari-hari ini menengokkan kepala ke kawulo alit yang mayoritas adalah Nahdliyyin. Dalam hati kecil mereka pasti ingin melihat para elite NU yang mayoritas para Kiai tidak terlalu menampakkan kemahiran mempraktekkan trik siyasi.
Menonjolkan trik Siyasi dalam konteks Muktamar NU hanya akan membuat bathin Nahdliyyin merintih menyaksikan umbaran daftar aib masing-masing tokoh bergelar Kiai dan Gus.
Lalu, dimana letak marwah para ulama jika yang ditonjolkan hanya “Jarh” nya saja tanpa diimbangi dengan sikap “Ta’dil”?
Toh, aturan-aturan yang ditetapkan dalam mekanisme baik pemilihan Rais Aam maupun Rais Tanfidz bukanlah berasal dari Kitab Suci yang harus diperlakukan seperti Nash.
Aturan itu masih bikinan manusia yang bisa diatur kembali sesuai dengan kebutuhan dan kondisi.
Maka seharusnya dalam hal ini yang berlaku adalah kaedah "al-ashlu fil asyya’ al-ibahah hatta yadulla ad dalil ala khilafihi" (hukum asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya).
Bukan kaedah sebaliknya yang memakai kata kunci “Pokoe” atau kaidah sebaliknya, “al-ashlu fil asyya’ at-tahrim hatta yadulla ad dalil alal ibahah” (hukum asal sesuatu itu haram sampai ada dalil yang membolehkannya).
Kita sama-sama tahu, ber-sanad jelas dalam berbagai hal adalah sesuatu yang mentradisi di Nahdliyyin dan memperkuat keyakinan. Asma’urrijal atau tokoh-tokoh dalam rangkaian sanad tersebut juga harus Tsiqoh dan muttashil.
Dalam konteks Kiai Said dan Gus Yahya tak usah diragukan lagi kapasitas ri’asah mengendalikan Jam’iyyah An Nahdliyyah. Sanad biologis dan keilmuan keduanya muttashil ke para Awliya’.
Keduanya adalah murid sekaligus kader Gus Dur yang sama-sama punya tempat istimewa pernah diberi isyaroh akan menggantikan posisi Gus Dur.
Lima tahun terakhir, Kiai Said dan Gus Yahya juga berada dalam satu atap di PBNU sama-sama membesarkan NU. Lalu kenapa kini friksi antar keduanya begitu tajam hanya memperdebatkan hal remeh jadwal muktamar saja.
Ada baiknya antara Kiai Said dan Gus Yahya berdamai saja dari sekarang sebelum menuju arena Muktamar.
Langsung saja Kiai Said deklarasi berpasangan dengan Gus Yahya untuk memimpin NU dengan komposisi Kiai Said sebagai Rais Aam dan Gus Yahya di di posisi Rais Tanfidz.
Jika ini terjadi sebelum sama-sama berangkat ke Lampung maka selesailah sudah urusan muktamar NU.
Tidak ada lagi kekhawatiran mufaroqoh (perpecahan) di tubuh jam’iyyah. Bukankah ini sesuai dengan Dar’ul mafasid muqoddam ala jalbil masholih yang selama ini jadi doktrin NU dan jadi alasan untuk tidak berpikir rumit.
Kontestasi pemilihan pimpinan ala demokrasi hanya akan menurunkan marwah ulama sekaligus meruntuhkan doktrin sami’na wa atha’na ke Kiai seperti gambaran kondisi muktamar Makassar dan Jombang yang menyedihkan.
Kita warga Nahdliyyin inginnya datang ke Lampung seperti menghadiri kendurenan, mendengar alunan musik menentramkan hati, berkumpul dan bercanda dengan sesama saudara se-ideologi dan yang terpenting pulang membawa berkat lezat yang bisa jadi oleh-oleh membanggakan bagi keluarga dan rumah.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.