Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pukat UGM Sebut Penanganan Korupsi Pengadaan Helikopter AW-101 Potensi jadi Preseden Buruk KPK

Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) menyoroti sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terhadap penanganan korupsi AW-101.

Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Wahyu Aji
zoom-in Pukat UGM Sebut Penanganan Korupsi Pengadaan Helikopter AW-101 Potensi jadi Preseden Buruk KPK
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Penyidik KPK melakukan pemeriksaan fisik pada Helikopter Agusta Westland (AW) 101 di Hanggar Skadron Teknik 021 Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (24/8/2017). Pemeriksaan fisik dilakukan terkait penyidikan kasus dugaan korupsi pembelian helikopter buatan Inggris dan Italia tersebut. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) menyoroti sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terhadap penanganan perkara dugaan korupsi pengadaan Helikopter Agusta Wesland atau AW-101 oleh TNI AU.

Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman mengatakan, proses penanganan ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi KPK jika lembaga antirasuah tersebut juga turut menghentikan proses penyidikan.

"Menurut saya kalau ini sampai dihentikan ini menjadi preseden buruk penanganan perkara bersama, tetapi sendiri-sendiri ya, KPK dengan TNI, ternyata kalau memang dihentikan terjadi kegagalan," kata Zaenur saat dikonfirmasi Tribunnews.com, Rabu (29/12/2021).

Adapun preseden buruk yang dimaksud oleh Zaenur yakni terjadinya kegagalan pengungkapan perkara korupsi oleh KPK.

Padahal kata dia, perkara ini sendiri berkaitan dengan adanya pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI yang notabenenya merupakan perangkat negara.

Terlebih, dalam upaya membongkar perkara korupsi ini, KPK telah menetapkan terlebih dahulu beberapa pihak swasta sebagai tersangka.

Berita Rekomendasi

"Kegagalan pengungkapan perkara korupsi, dan ini menjadi preseden buruk ke depan di mana metode KPK untuk membongkar sebuah kasus korupsi terkait pengadaan alat alutsista dengan terlbih dahulu menjerat pelaku swastanya ternyata juga tidak berjalan mulus," ujar Zaenur.

Baca juga: Pukat UGM Minta TNI Jelaskan Alasan Penghentian Penyidikan Dugaan Korupsi Helikopter AW-101

Sebelumnya, Zaenur turut mengatakan, dalam menghentikan penyidikan suatu kasus korupsi setidaknya ada tiga kondisi yang harus diperhatikan.

"Iya penghentian penyidikan itu harus dalam kondisi tertentu. Yang pertama itu tidak memperoleh alat bukti, yang kedua bukan merupakan tindak pidana, yang ketiga demi alasan hukum," kata Zaenur.

Atas hal itu dirinya menanyakan terkait dengan keputusan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI AU yang menghentikan proses penyidikan kasus tersebut.

"Jadi dalam kasus pengadaan helikopter tersebut, hal mana yang menghentikan penyidikan. Apakah tidak cukup alat bukti, ataukah bukan tindak pidana. Kalau demi alasan hukum kan tidak mungkin ya," kata Zaenur.

Baca juga: MAKI Minta KPK Bentuk Tim Koneksitas dengan TNI AU Usut Dugaan Korupsi Pengadaan Helikopter AW-101

Lebih lanjut, dia mengimbau kepada TNI dalam hal ini Angkatan Udara (AU) untuk menjelaskan alasan penghentian penyidikan perkara itu.

Terlebih dalam sepengetahuan dirinya, perkara pengadaan Helikopter AW-101 ini masih berjalan di KPK dengan beberapa pihak swasta telah ditetapkan sebagai tersangka.

"Nah ini menjadi tugas dari TNI untuk menjelaskan alasan penghentian penyidikan tersebut. Dalam hal penyertaan, satu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama antara seorang penyelenggara negara dengan swasta di KPK kasusnya masih berjalan," kata Zaenur.

"Artinya di KPK statusnya masih firm, bahwa itu merupakan tindak pidana. KPK juga masih firm bahwa ada kecukupan alat bukti untuk menjerat tersangka dari pihak swasta tersebut," tukasnya.

Baca juga: Panglima TNI Janji Telusuri Penghentian Penyidikan Kasus Korupsi Helikopter AW-101

Diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa Pusat Polisi Militer (Puspom) Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara (AU) telah menghentikan penyidikan terhadap lima tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter Agusta Westland atau AW-101 tahun 2016-2017.

Lima tersangka perwira yang dimaksud ialah Wakil Gubernur Akademi Angkatan Udara Marsekal Pertama Fachry Adamy. 

Fachry adalah mantan pejabat pembuat komitmen (PPK) atau Kepala Staf Pengadaan TNI AU 2016-2017.

Tersangka lainnya adalah Letnan Kolonel TNI AU (Adm) WW selaku mantan Pekas Mabesau; Pelda SS selaku Bauryar Pekas Diskuau; Kolonel (Purn) FTS selaku mantan Sesdisadaau; dan Marsekal Muda TNI (Purn) SB selaku Staf Khusus Kasau (eks Asrena KSAU).

"Yang terakhir tadi masalah helikopter AW-101 koordinasi terkait masalah atau informasi yang berhubungan dengan pihak dari TNI sudah dihentikan proses penyidikannya," kata Direktur Penyidikan KPK Irjen Pol Setyo Budiyanto di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (27/12/2021).

Kendati demikian, Setyo mengatakan, penyidikan terhadap tersangka Irfan Kurnia Saleh selaku Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri masih terus berproses.

Baca juga: KPK Sebut TNI Hentikan Penyidikan 5 Tersangka Kasus Helikopter AW, Panglima: Saya Akan Telusuri

"Sampai dengan saat ini prosesnya masih jalan," kata dia.

Lebih lanjut, Setyo mengklaim koordinasi KPK dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait audit kerugian negara masih dilakukan.

"Saya yakin beberapa hari ke depan mungkin di awal tahun koordinasi itu segera ditindaklanjuti dengan BPK untuk semakin memperjelas kira-kira apa saja yang masih kurang atau dibutuhkan oleh para pihak auditor," ujar Setyo.

Kasus dugaan korupsi pengadaan heli AW-101 ditangani bersama KPK dan Puspom TNI AU

KPK menangani pihak swasta, sementara Puspom TNI AU menangani pihak dari militer.

PT Diratama Jaya Mandiri selaku perantara disinyalir telah melakukan kontrak langsung dengan produsen helikopter AW-101 senilai Rp514 miliar.

Pada Februari 2016 setelah meneken kontrak dengan TNI AU, PT Diratama Jaya menaikkan nilai jualnya menjadi Rp738 miliar.

Panglima TNI saat itu, Jenderal Gatot Nurmantyo, mengatakan ada potensi kerugian negara sebesar Rp220 miliar dalam pengadaan helikopter AW-101. 

Nilai pengadaan helikopter itu mencapai Rp738 miliar.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas