Pengamat: Pilkada 2024 Berpotensi Bikin Semrawut Pengelolaan Pemda
Potensi kekacauan ini juga bisa berasal dari penguasaan yang minim penjabat kepala daerah terhadap daerah yang akan dipimpinnya
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pengamat Politik dari Paramadina Public Policy Institute Septa Dinata melihat potensi semrawut dalam pengelolaan Pemerintahan Daerah lantaran dimundurkannya Pilkada serentak 2022 menjadi 2024.
Septa berujar, data dari Kementerian Dalam Negeri terdapat 101 kepala daerah yang masa jabatannya akan berakhir pada 2022.
Ia menilai situasi ini akan berpotensi menimbulkan kekacauan dalam pengelolaan pemerintahan daerah dengan sejumlah alasan.
Pertama, ratusan daerah akan dipimpin oleh penjabat dalam waktu yang sangat lama, yaitu sekitar dua tahun.
"Kewenangan penjabat dan kepala daerah definitif sangat jauh berbeda. Penjabat tidak memiliki kewenangan dalam mengeluarkan keputusan strategis,” ujar Septa dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/1/2022).
Baca juga: Nama Gibran Digadang Maju Pilkada DKI, Pengamat: Masih Harus Buktikan Kepemimpinannya
Meskipun Permendagri No. 74 tahun 2016 sudah memberikan kewenangan kepada penjabat kepala daerah untuk menandatangani RAPBD, APBD dan melakukan pengangkatan pejabat daerah secara terbatas, menurut Septa, kewenangan penjabat tetap masih sangat terbatas dan berpotensi menimbulkan persoalan lain.
“Penjabat kepala daerah tetap tidak punya kewenangan dalam mengeluarkan, memperpanjang, atau membatalkan perizinan," tutur Septa.
Ia mencontohkan, ada kasus di Lumajang di mana keputusan penjabat kelapa daerah dibatalkan oleh pengadilan karena bukan bagian dari kewenangannya.
Septa juga menyoroti bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang menjadi dasar penyusunan APBD melekat pada kepala daerah definitif. Dengan berakhirnya masa jabatan kepala daerah maka akan berakhir pula RPJMD-nya.
“Jadi, daerah-daerah akan berpotensi menjadi tidak terarah dalam dua tahun ke depan karena penjabat kepala daerah tidak punya itu,” kata Septa.
Septa menuturkam potensi kekacauan ini juga bisa berasal dari penguasaan yang minim penjabat kepala daerah terhadap daerah yang akan dipimpinnya. Selain itu, juga ada potensi rangkap jabatan seperti kebiasaan-kebiasaan sebelumnya.
"Ini pasti akan buruk untuk jangka waktu yang lama karena tidak bisa fokus dan harus berbagi waktu. Belum lagi ada potensi diganti di tengah jalan,” ujar Septa.
Septa mengaitkan dengan peran penting kelapa daerah dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi. Menurutnya, kepemimpinan para penjabat berpotensi menghambat program pemulihan ekonomi.
“Ini tentu juga akan berimplikasi pada upaya pemulihan ekonomi. Dengan kewenangan yang terbatas, penjabat kepala daerah sudah pasti tidak akan bisa maksimal untuk waktu yang cukup lama,” kata Septa.
Selain itu, Septa juga mengajak publik untuk mengawasi proses penunjukan pj. kepala daerah. Menurutnya, proses penunjukan ini berpotensi sarat dengan kepentingan politik jangka pendek dan transaksional.