Ini Alasan Erick Thohir Laporkan Dugaan Korupsi Garuda Indonesia ke Kejagung, Bukan ke KPK
Erick Thohir beberkan alasan mengapa pihaknya laporkan dugaan korupsi Garuda Indonesia ke Kejaksaan, bukan ke KPK.
Penulis: Shella Latifa A
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Menteri BUMN Erick Thohir membeberkan alasannya melaporkan kasus dugaan korupsi Garuda Indonesia ke Kejaksaan Agung (Kejagung), bukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Erick menjelaskan upaya laporan dugaan korupsi di lingkungan BUMN merupakan program kerjasama dengan Kejaksaan.
Pihaknya ingin tak hanya sekadar menindak kasus tersebut.
Baca juga: Kronologi Dugaan Korupsi Pengadaan Pesawat ATR di Garuda hingga Respons Manajemen
Tetapi juga memperbaiki sistem administrasi secara keseluruhan di perusahaan BUMN.
"Kebetulan dengan Kejaksaan, sejak awal kita punya kesepakatan program besar reformasi BUMN."
"Dimana tidak hanya kita menindak dengan hal yang sudah ada, tapi kita memperbaiki seluruh sistem administrasi," kata Erick, dikutip dari tayangan YouTube Kompas TV, Rabu (12/1/2022).
Ia pun mencontohkan dugaan kasus korupsi yang menimpa Garuda Indonesia.
Baca juga: Jumlah Pesawat Garuda Indonesia Awalnya Sekitar 220, Kini Tinggal 35 Unit yang Bisa Terbang
Dikatakannya, ada pelaksanaan administrasi yang salah dalam perusahaan maskapai nasional.
"Contoh tadi, Garuda. Kita melihat mereka beli pesawat dahulu, tetapi belum menentukan rute."
"Berarti itu kan sistem administrasi secara menyeluruh yang salah," ucap dia.
Menurutnya, permasalahan di internal Garuda Indonesia tak hanya perihal korupsi semata.
Melainkan juga terkait pada permasalah strategi dan rencana bisnis mereka.
Baca juga: Diresmikan Erick Thohir, ID Food Jadi Nama Holding BUMN Pangan
"Perbaikan pada Garuda tidak hanya bisa dari kasus korupsi, tapi juga kasus banyak banget bisnis plan, strategi daripada secara korporasi. Itu harus dibenahi secara total."
"Itulah kenapa awalnya juga yang saya sampaikan pada Jiwasraya," tutur dia.
Meskipun demikian, Erick mengaku kementeriannya masih berkonsultasi dan meminta pendampingan pada KPK.
"Kerjasama dengan KPK tetap kita jalankan. Misalnya e-LHKPN, lalu banyak konsultasi yang kita lakukan dengan KPK, seperti pendampingan masih kita lakukan," jelas Erick.
Baca juga: Erick Thohir Bicara Soal Transformasi BUMN Usai Laporkan Dugaan Korupsi Garuda ke Kejaksaan Agung
Dia juga tak menutup kemungkinan kasus yang menyeret perusahaan BUMN lain juga ditangani KPK hingga kepolisian.
"Konteksnya bukan KPK, Kepolisian, Kejaksaan tetapi memang program besar dari awal sudah menjadi bagian tranformasi BUMN ini dengan Kejaksaan dan diawali kasus Jiwasraya, Asabri."
"Apakah ada kasus lain yang sedang ditangani KPK dan kepolisian? Ya ada," tambahnya.
Dugaan Korupsi Garuda Indonesia Terjadi saat Posisi Dirut Dijabat ES Pada 2013
Sebelumnya diberitakan Tribunnews.com, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir telah melaporkan hasil audit resmi BPKP terkait dugaan korupsi di Garuda Indonesia kepada Kejaksaan Agung, Selasa (11/1/2022).
Dugaan korupsi tersebut menyangkut pengadaan pesawat terbang ATR 72-600.
Erick menyebut, dugaan korupsi tersebut terjadi pada tahun 2013.
Posisi dirut saat itu dijabat oleh ES, yang diduga adalah Emirsyah Satar.
"Kalau yang kasus ATR 72-600 itu masih inisial ES. Seperti itu. Yang dari laporannya audit investigasi ES," ujar Erick Thohir dalam acara Kompas TV, Sapa Indonesia Malam, Selasa (11/1/2022).
Baca juga: Erick Thohir Laporkan Dugaan Korupsi di Garuda Indonesia, Bawa Bukti Hasil Audit: Bukan Tuduhan
Hanya saja Erick enggan mengatakan penyebutan inisial dari Jaksa Agung salah.
Dia menilai bisa jadi yang disebutkan Jaksa Agung adalah hasil pengembangan kasus.
"(Mungkin) Pengembangan, saya tidak tahu. Kan beliau juga punya tim yang sangat detail dalam melakukan hal konteks seperti ini. (Tapi sepengetahuan saya) ES," ucapnya.
Lebih lanjut, Erick memastikan bahwa dugaan korupsi terkait pengadaan pesawat terbang ATR 72-600 terjadi di tahun 2013 silam.
Erick pung mengatakan tak menutup kemungkinan Kejaksaan Agung bakal menyelidiki tidak hanya tahun 2013 saja.
"Kalau kita melihat ATR 72-600 ini itu di tahun 2013, tapi kalau nanti dari pihak Kejaksaan melihat lebih panjang lagi ke zaman yang lebih baru itu tentu hak dari kejaksaan. Kita melihat juga ada indikasi Bombardier. Ini yang tentu konteksnya mirip-mirip," katanya.
(Tribunnews.com/Shella Latifa/Vincentius Jyestha)