Legislator PKS Kritik Arteria Dahlan soal Usul agar Kajati Berbahasa Sunda Saat Rapat Dipecat
Ia ikut mengomentari soal ungkapan Arteria Dahlan yang meminta salah satu Kajati dicopot karena berbahasa Sunda saat rapat.
Penulis: Reza Deni
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifah, ikut mengomentari soal ungkapan Arteria Dahlan yang meminta salah satu Kajati dicopot karena berbahasa Sunda saat rapat.
Legislator PKS Dapil Kota Bandung dan Kota Cimahi ini sangat menyayangkan aksi ucap Arteria yang menurutnya berlebihan bahkan cenderung menyakitkan masyarakat utamanya warga suku Sunda.
Ledia kemudian menjelaskan bahwa kewajiban berbahasa Indonesia memang tercantum di dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan yang dijabarkan lebih lanjut dalam Perpres No 63 Tahun 2019 Tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.
Ada 14 ranah yang mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia, diantaranya adalah di ranah Komunikasi Resmi di Lingkungan Kerja Pemerintah dan Swasta serta dalam Laporan Setiap Lembaga atau Perseorangan Kepada Instansi Pemerintahan sebagaimana tercantum dalam pasal 33 dan 34 Undang-Undang No 24 Tahun 2009.
Baca juga: Muncul Baliho Arteria Dahlan Musuh Orang Sunda di Bandung, Imbas Ucapan Arteria Soal Bahasa Sunda
“Namun hal ini tentu tidak berarti penggunaan bahasa daerah yang hanya menjadi semacam penguat, penjelas, selipan, bukan penggunaan secara penuh sepanjang acara menjadi haram mutlak. Ibarat kata jatuhnya jadi 'makruh' saja adanya tambahan-tambahan ungkapan bahasa daerah," kata dia kepada wartawan, Kamis (20/1/2022).
Bahkan dalam Undang-Undang yang sama di pasal 42, Ledia mengatakan jelas-jelas tercantum penghormatan, penghargaan dan perlindungan negara kepada bahasa daerah dengan menyatakan 'Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah, agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia' .
“Jadi bahasa daerah dikembangkan, dilindungi sementara bahasa Indonesia wajib dipakai dalam rapat-rapat resmi, itu bukan sesuatu yang harus dipertentangkan. Kita tetap harus mensosialisasikan, membiasakan hingga kewajiban Undang-Undang ini menjadi sesuatu yang secara otomatis berlaku dalam kegiatan-kegiatan resmi sehari-hari," tambah dia.
Baca juga: Diprotes Soal Jaksa Berbahasa Sunda, Arteria Dahlan Mengaku Sedih: Kok Ucapan Saya Jadi Dipelintir
Dia sendiri mengingatkan Mendikbudristek yang berulang kali menggunakan ungkapan-ungkapan berbahasa Inggris dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI, akhir Januari 2020 lalu.
“Itu kan rapat resmi, maka saya ingatkan Mas Nadiem untuk berbahasa Indonesia sesuai aturan Undang-Undang. Mungkin karena beliau lama di luar negeri, ungkapan-ungkapan dalam bahasa Inggris jadi berkali-kali tercetus. Nah, konteks saya saat itu adalah mengingatkan beliau, agar terbiasa," kata dia.
"Hasilnya, kini Mas Menteri sudah berbahasa Indonesia yang baik dan benar dalam setiap rapat. Kalau ada sesekali tercetus ungkapan atau pilihan diksi bahasa Inggris, tentu wajar dan termaafkan," ujarnya.
Bahkan, bila secara detail menelisik Undang-Undang No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan dan Perpres No 63 Tahun 2019 Tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, Ledia menyenut soal penggunaan bahasa Indonesia yang menjadi wajib digunakan dalam 14 ranah kehidupan ini nyatanya tidak menempatkan adanya sanksi atas pelanggaran ketentuan tersebut.
Berbeda dengan aturan tentang bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan, yang secara jelas menyebutkan adanya sanksi pidana pada pelanggaran ketentuan-ketentuan yang ada, pelanggaran atas penggunaan bahasa Indonesia agaknya lebih menggunakan pendekatan persuasif edukatif.
“Jadi kalau ada pelanggaran, maka yang pas itu ya diingatkan, dikasih tahu aturannya, secara informatif, persuasif dan edukatif. Kalau sampai minta diberhentikan, ditindak tegas, itu kan malah jadi melebihi ketentuan perundang-undangan. Artinya ya berlebihan. Lebay mun saur budak ngora jaman kiwari mah,” pungkas Ledia