Pimpinan MPR: Keterpaduan Penanggulangan Bencana Perlu Pemahaman Kebencanaan dari Semua Pihak
Keterpaduan penanggulangan bencana perlu pemahaman yang sama dari para pemangku kepentingan dan masyarakat.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagai negara yang rawan bencana, kearifan lokal wajib dijaga dan dilestarikan dalam upaya mengantisipasi sejumlah ancaman bencana di tanah air.
Keterpaduan penanggulangan bencana perlu pemahaman yang sama dari para pemangku kepentingan dan masyarakat.
"Di era teknologi saat ini, kearifan lokal juga bisa dikedepankan dalam tahapan manajemen menghadapi ancaman bencana," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Menuju Manajemen Kebencanaan Terpadu yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (26/1/2022).
Diskusi dimoderatori Drs. Luthfi A. Mutty, MSi (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI, Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah).
Menghadirkan Dr. Ir. Udrekh SE, MSc (Direktur Pemetaan dan Evaluasi Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB), Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc, Ph.D (Kepala Pusat Badan Meteorologi, Kilmatologi dan Geofisika/BMKG), Dr. Ing. Widjo Kongko (Ahli Tsunami, Perekayasa Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN) dan Dr. Suyoto, M.Si (Bupati Bojonegoro Periode 2008-2018) sebagai narasumber.
Baca juga: Wakil Ketua MPR: Diperlukan Generasi Muda yang Berpihak pada Kebenaran
Selain itu, hadir pula Ahmad Arif (Jurnalis Kompas) dan M. Hariadi Anwar (Kepala Badan Rescue DPP Partai NasDem/Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, negara harus terlibat dalam setiap upaya perlindungan terhadap setiap warga negara, termasuk perlindungan dari setiap ancaman bencana.
Rerie, sapaan akrab Lestari berpendapat, para pemangku kepentingan harus mampu mewujudkan sejumlah upaya penanggulangan bencana untuk menjadi suatu manajemen yang terpadu untuk menghadapi berbagai ancaman bencana.
Karena, ujar Rerie, disamping banyak berkah dari alam Indonesia yang subur, bangsa ini juga menghadapi kondisi alam yang rentan terjadi bencana alam.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap di dalam upaya membangun keterpaduan dalam manajemen penanggulangan bencana saat ini juga dikedepankan kearifan lokal, agar upaya penanggulangan bencana tersebut dapat benar-benar dipahami dan mampu dijalankan masyarakat.
Kepala Pusat BMKG, Dwikorita Karnawati mengungkapkan dalam melaksanakan tugasnya BMKG berkerja atas dasar perintah UU No. 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika dengan tujuan melindungi segenap anak bangsa, tumpah darah Indonesia dengan melakukan prediksi, prakiraan terkait meteorologi, klimatologi dan geofisika serta peringatan dini terkait cuaca ekstrem, gelombang tinggi dan iklim ekstrem.
Pelayanan informasi terkait meteorologi, klimatologi dan geofisika, menurut Dwikorita,
diberikan kepada masyarakat juga ke 12 sektor yang membutuhkan seperti antara lain sektor transportasi, energi, perikanan dan pertanian.
Menurut Dwikorita, sinergi telah dilakukan BMKG dengan sejumlah lembaga antara lain dalam hal informasi meteorologi, klimatologi dan geofisika.
Selain itu, dia mengungkapkan, BMKG juga sudah menjalankan manajemen terpadu dalam penanggulangan bencana dengan BNPB dan Badan Geologi lewat penggunaan server data bersama yang sudah terintegrasi.
Direktur Pemetaan dan Evaluasi Bencana BNPB, Udrekh mengungkapkan, upaya penanggulangan bencana ditujukan untuk menekan tingkat kerugian dan kematian dampak dari bencana tersebut.
Pada 2019, ujar Udrekh, Presiden Jokowi menegaskan perlu perencanaan, pelibatan pakar, sinergi untuk upaya pencegahan, mitigasi dan meningkatkan kesiapsiagaan dalam upaya menghadapi ancaman bencana.
Untuk memenuhi keterpaduan dalam penanggulangan bencana, tambah Udrekh, perlu edukasi dan literasi yang masif terkait upaya peningkatan pemahaman masyarakat tentang bencana.
Udrekh berpendapat, saat ini kita memerlukan tata kelola penanggulangan bencana yang operasional dan bukan hanya pada tataran aturan semata.
Sehingga, tambahnya, masyarakat mampu menjadi subjek dalam upaya penanggulangan bencana. Karena saat ini, diakui Udrekh, pelaksana penanggulangan bencana di pusat dan daerah kapasitas skil dan pengetahuannya masih terbilang rendah.
Ahli Tsunami dan Perekayasa BRIN, Widjo Kongko mengungkapkan tiga lempengan besar yang melintas di Indonesia selalu bergerak 7 cm-11 cm per tahun dan dalam 400 tahun terakhir tercatat 200 kali tsunami di tanah air.
Separuh dari tsunami yang terjadi di Nusantara itu, tegas Widjo Kongko, terjadi di Indonesia Timur.
Peristiwa gempa dan tsunami yang berdampak menimbulkan kerugian yang besar, menurut Widjo Kongko, karena banyak hal yang tidak diketahui oleh para pemangku kepentingan.
Dengan kondisi tersebut, tegasnya, upaya mitigasi dan edukasi terkait potensi bencana di tanah air harus konsisten dilakukan oleh semua pihak.
Bupati Bojonegoro Periode 2008-2018, Suyoto menegaskan sinergi terpadu dalam penanggulangan bencana bisa terwujud kalau ada kerja sama dan memiliki visi yang sama antar pemangku kepentingan.
"Sehingga antar para pelaksana penanggulangan bencana harus memiliki kapasitas yang memadai dalam menghadapi ancaman bencana," ujar Suyoto.
Karena, tegasnya, ketidaktahuan adalah musuh dalam menghadapi bencana. Sehingga, tambah Suyoto, kesadaran sosial untuk menanggulangi bencana harus terus ditumbuhkan di masyarakat.
Jurnalis senior, Saur Hutabarat mengusulkan perlunya reorganisasi kelembagaan dalam penanggulangan bencana di tanah air.
"Siapakah yang bertanggung jawab bila terjadi erupsi gunung api, gempa tektonik, dan tsunami secara bersamaan?" tanya Saur.
Menurut dia, penggabungan BMKG yang menangani data cuaca dan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang menangani kegempaan dalam satu atap diharapkan mampu memberikan deteksi dini terpadu terhadap ancaman bencana di tanah air. *