Manfaat Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura yang Baru Disepakati
Perjanjian Ekstradisi ini menciptakan banyak manfaat, salah satunya efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura.
Penulis: Arif Tio Buqi Abdulah
Editor: Miftah
TRIBUNNEWS.COM - Indonesia dan Singapura sepakat menjalin perjanjian ekstradisi antar kedua negara.
Penandatanganan perjanjian ekstradisi Indonesa-Singapura ini diteken oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Yasonna H. Laoly dan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum Singapura K. Shanmugam pada Selasa (25/1/2022).
Sebagaimana diwartakan Tribunnews.com, penandatangan itu juga disaksikan oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong secara langsung di Bintan, Kepulauan Riau.
Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura memiliki masa retroaktif (berlaku surut terhitung tanggal diundangkannya) selama 18 tahun ke belakang.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan maksimal daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Baca juga: Perjanjian Ekstradisi Bukti Jokowi Perangi Korupsi dan Dapat Membantu Penanganan Kasus BLBI
Baca juga: Tanggapan Kapolri Mengenai Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura
Menkumham menjelaskan, ruang lingkup Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura adalah kedua negara sepakat untuk melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara diminta dan dicari oleh negara peminta untuk penuntutan atau persidangan atau pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi.
Pengertian Ekstradisi dalam UU Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi adalah sebagai berikut:
Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.
Lantas seperti apa manfaat perjanjian ekstradisi ini?
Yasonna Laoly mengatakan, perjanjian Ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura.
Baca juga: Soal Ekstradisi RI-Singapura, KSP: Menaikkan Leverage Indonesia di mata Dunia
Baca juga: Perjanjian Ekstradisi Diteken, Berikut Daftar Koruptor yang Kabur ke Singapura
Tak hanya itu, dengan adanya Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura ini akan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana di Indonesia dalam melarikan diri.
Hal ini karena Indonesia Indonesia telah memiliki perjanjian dengan negara mitra sekawasan di antaranya Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Australia, Republik Korea, Republik Rakyat Tiongkok, dan Hong Kong SAR.
Adapun antara Indonesia dan Singapura telah terikat dalam Perjanjian Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance in Criminal Matters/MLA) antara negara anggota ASEAN tahun 2008.
“Apabila kedua negara dapat dengan segera meratifikasi Perjanjian Ekstradisi yang ditandatangani maka lembaga penegak hukum kedua negara dapat memanfaatkan Perjanjian Ekstradisi ini dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat lintas batas negara seperti korupsi dan terorisme,” terang Yasonna, dilansir laman Setkab.go.id.
Secara khusus, bagi Indonesia, pemberlakuan Perjanjian Ekstradisi dapat menjangkau secara efektif pelaku kejahatan di masa lampau dan memfasilitasi implementasi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Jenis-jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut Perjanjian Ekstradisi ini berjumlah 31 jenis di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.
Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura memungkinkan kedua negara melakukan ekstradisi terhadap pelaku tindak pidana yang meskipun jenis tindak pidananya tidak lugas disebutkan dalam perjanjian ini namun telah diatur dalam sistem hukum kedua negara.
Perjanjian Ekstradisi ini juga menyepakati bahwa penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan.
Hal ini untuk mencegah privilege yang mungkin timbul akibat pergantian kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana guna menghindari proses hukum terhadap dirinya.
(Tribunnews.com/Tio)