Kronologi Anggota DPR Usir Dirut Krakatau Steel, Muncul Ucapan 'Maling Teriak Maling' Saat Rapat
Silmy Karim diusir dari ruang rapat setelah Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Bambang Haryadi berdebat panas dengan Silmy dalam agenda rapat tersebut.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota DPR RI kembali mengusir relasi kerjanya dari ruang rapat di gedung Parlemen Jakarta.
Kali ini, Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk. Silmy Karim yang diusir dari ruang rapat Komisi VII DPR RI, Senin (14/2/2022).
Kejadian serupa pernah terjadi beberapa waktu lalu.
Saat itu Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi VII DPR RI dan holding BUMN tambang, pada Selasa (30/6/2020).
Direktur Utama (Dirut) PT Inalum (Persero) atau MIND ID, Orias Petrus Moedak juga diusir dari ruang rapat.
Baca juga: Dirut Krakatau Steel Diusir Saat RDP, Ini Kritik Pedas dari Anggota Komisi VII Partai Golkar
Kronologi pengusiran
Silmy Karim diusir dari ruang rapat setelah Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Bambang Haryadi berdebat panas dengan Silmy dalam agenda rapat tersebut.
"Pak Dirut bilang untung, udah jelas-jelas beroperasi dan ada semangat ingin memperkuat produksi baja dalam negeri dan saya unik gimana? Pabrik blust furnace ingin dihentikan, tapi ingin memperkuat produksi baja dalam negeri," kata Bambang.
"Ini jangan maling teriak maling," lanjut Bambang.
Tak terima disebut maling, Silmy pun meminta Bambang menjelaskan pernyataannya tersebut.
"Maksudnya maling gimana, Pak?" timpal Silmy.
"Kita dalam artian, Anda menyatakan ingin memperkuat, tapi di satu sisi ingin hentikan. Jadi mana semangat untuk memperkuatnya? Kalau dengan cara-cara begini, kasus baja yang ada di Polda Metro sampai sekarang kita akan minta kejelasannya, itu salah satu anggota Anda, namanya Kimin Tanoto," jawab Bambang.
Merespon hal itu, Silmy menyatakan dirinya hadir dalam agenda ini sebagai Dirut Krakataau Steel, bukan Ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA)
"Di sini saya sebagai Dirut Krakatau Steel, bukan sebagai Ketua IISIA," jawab Silmy.
Bambang pun merespon Silmy untuk menghormati agenda persidangan hari ini, yakni dengan menghargai setiap pernyataan dari anggota Komisi VII yang meminta penjelasan dari yang bersangkutan.
"Anda tolong ini dulu hormati persidangan ini. Ada teknis persidangan. Kok Anda kayaknya nggak pernah menghargai Komisi. Kalau sekiranya Anda nggak bisa ngomong di sini, Anda keluar," kata Bambang.
"Baik, kalau memang harus keluar, kita keluar," kata Silmy.
"Kalau beliau sudah nantangin, keluar aja," kata salah satu anggota Komisi VII.
Sebelum meninggalkan ruangan rapat, Silmy menjelaskan dirinya tak ada maksud untuk menantang Komisi VII dalam agenda rapat hari ini.
"Tidak ada maksud kami menantang," kata Silmy.
"Karena Anda sudah menjawab, silakan keluar," jawab Bambang mengakhiri perdebatan.
Kasus yang Dipersoalkan
Mengutip Kontan, proyek blast furnace KRAS sudah mulai masuk tahap pengadaan sejak tahun 2009 silam, kemudian proses konstruksi dimulai pada tahun 2012.
Proyek ini akhirnya selesai dan mulai beroperasi pada 11 Juli 2019. Namun, pada 14 Desember 2019, pabrik ini dihentikan operasinya.
Alasannya, terjadi ketidakcocokan antara produksi slab di pabrik tersebut dengan harga slab di pasar, sehingga KRAS berpotensi rugi.
Padahal, pabrik blast furnace tersebut menelan investasi sebesar Rp 8,5 triliun dan termasuk di dalamnya EPC sebesar Rp 6,9 triliun.
Proyek lainnya yang mangkrak adalah proyek pabrik Iron Reduced Kiln (IRK) yang mana KRAS dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) membentuk perusahaan patungan untuk menggarap pabrik tersebut dengan nama PT Meratus Jaya Iron & Steel.
Pengadaan proyek ini sudah dimulai sejak 2008 silam. Produksi IRK dimulai pada November 2012, namun pada 12 Juli 2015 pabrik yang berlokasi di Kalimantan Selatan tersebut berhenti beroperasi.
Nilai investasi proyek pabrik tersebut mencapai Rp 1,2 triliun.
Penghentian operasi pabrik IRK ini disebabkan ketidaksiapan infrastruktur penunjang industri di kawasan pabrik tersebut berada.
Alhasil, biaya transportasi, bongkar muat, dan produksi terjadi pembengkakan.
“Lokasi pabrik jauh dari laut, sekitar 20—30 kilometer dari bibir pantai. Tanah di sana juga milik Pemda, bukan punya Meratus,” ungkap Silmy Karim.
Abaikan Etika
Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Golkar Lamhot Sinaga mengatakan sikap yang ditujukan Direktur Krakatau Steel sangat over reaktif.
"Sikap reaktif ini sampai mengabaikan etika persidangan dan kehormatan DPR," ujar Lamhot yang juga hadir dalam RDP tersebut.
Menurut Lamhot, Krakatau Steel merupakan perusahaan besar tapi seperti kerupuk, sebab keropos dan tak berisi.
Puluhan tahun, lanjut Lamhot, perusahaan ini mengimpor bahan baku tapi keuntungan yang didapat hanya dari bisnis trading.
"Ini sebenarnya yang harus kita pertanyakan, ada kartel besar di belakang Krakatau Steel ini. Apa yang ditunjukan dengan sikap Dirutnya tadi semakin menunjukan ada kartel besar di belakang mereka, rasanya ada yang ditutup-tutupi oleh Direksi KS, makanya dari awal saya mengusulkan agar dibentuk Panja Baja, untuk mengusut tuntas dan investagi menyeluruh Krakatau Steel," ucap Lamhot.
Penulis: Reza Deni/Chaerul
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.