Pemerintah Disebut Mulai Batasi Pendanaan dan Pendaftaran NGO
Pemerintah disebut mulai membatasi pendanaan dan pendaftaran organisasi non-pemerintah (ornop) atau non-governmental organization (NGO).
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah disebut mulai membatasi pendanaan dan pendaftaran organisasi non-pemerintah (ornop) atau non-governmental organization (NGO).
Hal itu disampaikan pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STIH) Jentera, Bivitri Susanti, dalam webinar 'Resiko Membongkar Oligarki: Kaitan Investigasi Korupsi dan Kebebasan Berekspresi' yang ditayangkan kanal YouTube IM57+ Institute, Sabtu (19/2/2022).
Dalam diskusi itu, dia berbicara soal empat ancaman terkini terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia, salah satunya terkait pembatasan pendanaan dan pendaftaran tersebut.
"Tidak terlalu kelihatan tapi sebenarnya tengah terjadi, terus terang saja sejak pemerintahannya Pak Jokowi," ucap Bivitri.
Baca juga: Bivitri Susanti: Amandemen UUD 1945 Bukan untuk Kepentingan Publik
Bahkan, disebutkan Bivitri, sampai ada beberapa organisasi internasional yang meminta tolong kepada dirinya untuk memberi penjelasan mengapa pendaftaran dan pendanaan NGO menjadi sulit.
"Silakan tanya kawan-kawan yang bergiat di ornop-ornop," katanya.
"Kenapa misalnya mereka sangat dipersulit untuk bergerak di Indonesia, dalam hal keimigrasian dan sebagainya, dan tak bisa beri dana ke masyarakat sipil, harus ke kementerian," lanjut Bivitri.
Ancaman kedua yaitu serangan dan kekerasan siber.
Bahkan, Bivitri mengaku sempat mendapatkan serangan siber yang bersifat seksual dalam sebuah pertemuan virtual via zoom beberapa waktu lalu.
"Cukup mengerikan dan traumatis," tuturnya.
Lalu ancaman ketiga yaitu penggunaan sistem peradilan (juducial harassment).
Bivitri melihat ancaman ini sangat parah dan dibongkar.
Salah satu kasusnya yaitu para kasus antara penggiat HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dengan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.
"Tak hanya tekanan pidana, tapi juga perdata, mereka (Haris dan Fatia) juga harus menghadapi," ucap Bivitri.
Adapun ancaman keempat yakni terkait serangan fisik dan kekerasan.
Bivitri menyoroti serangan yang sangat rawan dihadapi oleh mereka yang ada di daerah, bukan di kota besar seperti Jakarta.
"Kawan-kawan di lapangan, meninggal dunia, disiksa, serangan fisik, dan kekerasan, itu nyata," ujarnya.
Dia kemudian mencontohkan kasus yang menimpa advokat Jurkani yang meninggal dunia.
Jurkani meninggal ketika menjalankan tugasnya sebagai advokat yang mengadvokasi penolakan tambang ilegal di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.