Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pemerintah Diminta Jaga Harga BBM di Tengah Naiknya Harga Minyak Dunia Akibat Rusia Invasi Ukraina

Bhima Yudhistira meminta pemerintah untuk dapat menjaga harga bahan bakar minyak (BBM) akibat kenaikan harga minyak dunia.

Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira meminta pemerintah untuk dapat menjaga harga bahan bakar minyak (BBM) akibat kenaikan harga minyak dunia.

Sebagaimana diketahui harga minyak mentah dunia semakin mendidih akibat invasi Rusia ke Ukraina hingga akhirnya mencapai level 100 dolar Amerika Serikat (AS) per barel.

"BBM, Pertamax, Pertalite juga bisa harus terjaga hingga akhir 2022," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribunnews.com, Kamis (24/2/2022).

Sebab, pada asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), harga minyak hanya dipatok 63 dolar AS per barel.

"Gap antara harga minyak yang ditetapkan APBN dengan riil di lapangan saat ini terlalu jauh, sehingga ada pembengkakan subsidi energi signifikan," kata Bhima.

Karena itu, Bhima mendesak pemerintah lakukan APBN perubahan untuk menyesuaikan kembali beberapa indikator, termasuk juga nilai tukar rupiah dan inflasi.

Menurut dia, inflasi bisa lebih tinggi dari perkiraan dan pemerintah bisa lakukan antisipasi, seperti melakukan tambahan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Berita Rekomendasi

"Tambahan dana PEN, yang sebagian mencakup stabilitas harga pangan dan energi ke dalam komponen anggaran PEN. Sebab, ini serius mengancam sekali terhadap pemulihan ekonomi di 2022," pungkas Bhima.

Harga Minyak Terkerek di Atas 100 Dolar AS oleh Operasi Militer Rusia ke Ukraina

Rusia resmi memulai perang terhadap Ukraina hari ini, Kamis (24/2/2022) ditandai dengan perintah Presiden Rusia Vladimir Putin kepada tentaranya untuk menggelar operasi militer dalam skala penuh terhadap Ukraina.

Suara ledakan dan dentuman terdengar di sejumlah tempat di Ukraina menandai agresi Rusia atas negara ini.

Hal ini memicu lonjakan harga minyak mentah di pasar global. Indeks minyak mentah Brent mencapai 100 dolar AS per barel untuk pertama kalinya sejak 2014 pada Rabu malam.

Lonjakan harga ini sebagai reaksi pasar terhadap dimulainya serangan pasukan Rusia ke Ukraina, yang membuka peluang munculnya sanksi internasional yang dikhawatoirkan dapat mengganggu pasar energi.

Harga minyak mentah sendiri di pasar global terus meningkat selama lebih dari dua bulan karena ancaman aksi militer Rusia atas Ukraina.

Harga minyak terkerek lebih dari 40 persen dari posisi terendah awal Desember. Pada pukul 11:59 malam setempat pada hari Rabu, atau satu jam lebih setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan "operasi militer khusus" di Ukraina.

Harga Minyak Mentah West Texas Intermediate naik 4,19 persen menjadi $96 per barel, menurut dasbor harga energi Bloomberg. Minyak Mentah Brent mencapai 101,25 dolar AS pada tengah malam, atau melonjak 4,5 persen.

Bursa saham berjangka jatuh

Bursa saham berjangka juga jatuh dengan indeks S&P 500 turun sekitar 1,8 persen pada tengah malam.

Harga minyak yang terus meningkat telah mempengaruhi harga bahan bakar jenis bensin di Amerika Serikat. Warga AS harus membayar hampir satu dolar lebih mahaluntuk satu galon minyak hingga sekitar 5 dolar AS di beberapa pasar.

Analis mengatakan, sanksi internasional terhadap Rusia yang selama ini memasok  sekitar 10 persen kebutuhan minyak dunia, dapat mengganggu pasokan energi Eropa dan mengirim kejutan harga ke seluruh dunia.

Dalam pidatonya Selasa lalu, Presiden Biden memperingatkan bahwa sanksi yang dimaksudkan untuk menghukum Rusia mungkin akan mempengaruhi konsumen AS.

“Membela kebebasan akan membawa konsekuensi biaya bagi kita di sini dankita harus jujur ​​tentang itu," kata Biden.

“Tetapi ketika kami melakukan ini, saya akan mengambil tindakan tegas untuk memastikan rasa sakit akibat sanksi kami ditargetkan pada ekonomi Rusia dan bukan milik kami,” ujarnya.

Siaran pers Gedung Putih yang dirilis Rabu malam mengindikasikan bahwa Biden akan bertemu dengan negara-negara G7 pada Kamis pagi.

Dia juga akan berbicara kepada rakyat Amerika untuk “mengumumkan konsekuensi lebih lanjut yang akan dijatuhkan Amerika Serikat dan sekutu serta mitra kami pada Rusia atas tindakan yang tidak perlu ini. agresi terhadap Ukraina.”

Meskipun pasar biasanya mengabaikan ketegangan geopolitik, kebuntuan yang sedang berlangsung di perbatasan Ukraina telah mengguncang pasar bulan lalu. Ekspor minyak  Rusia ke pasar global setara dengan Amerika Serikat dan Arab Saudi.

Senin lalu Putin menandatangani dekrit yang memerintahkan pasukan militer ke dua wilayah separatis Ukraina untuk tujuan “penjaga perdamaian” ketika Moskow mengakui kemerdekaan kedua wilayah tersebut.

Langkah itu dilakukan setelah penumpukan pasukan dan persenjataan di dekat perbatasan Rusia dengan Ukraina. Biden menyebut gerakan pasukan baru-baru ini sebagai "awal invasi Rusia" di Ukraina.

Rabu malam, Putin mengatakan Rusia akan meluncurkan "operasi militer khusus" di Ukraina. Jurnalis televisi CNN yang meliput di beberapa kota di Ukraina merekam munculnya sejumlah ledakan jauh.

Invasi Rusiaatas Ukraina dalam skala penuh dikhawatirkan akan merusak jaringan pipa penting yang menghubungkan aliran gas Rusia ke Eropa, ungkap analis Raymond James Pavel Molchanov kepada The Washington Post, Selasa.

"Sanksi terhadap Rusia diperkirakan akan mengarah pada pembalasan oleh pemerintahnya, di mana pasokan gas ke Eropa terputus. Rusia adalah pemasok energi utama Jerman - yang mengarah ke kejutan pasokan lain yang akan berdampak pada pasar energi global," kata Kyle Roda, seorang analis pasar di perusahaan perdagangan valuta asing.

Kekuatan Barat telah mulai menjatuhkan sanksi terhadap Rusia, termasuk menutup pipa gas Nord Stream 2 senilai 11 miliar dolar AS antara Rusia dan Jerman.

Pemerintahan Biden telah memberlakukan sanksi “putaran pertama” yang menargetkan bank-bank Rusia dan orang-orang kaya.

Langkah-langkah awal itu termasuk sanksi terhadap perusahaan yang bertanggung jawab atas Nord Stream 2, anak perusahaan dari perusahaan Gazprom yang dikendalikan Kremlin.

Baca juga: Invasi Rusia ke Ukraina Pengaruhi Saham Asia dan Harga Minyak

Baca juga: Konflik Rusia-Ukraina yang Semakin Panas Bikin Rupiah Jadi Melemah

Harga Bitcoin Anjlok

Serangan militer Rusia terhadap ibu kota Ukraina, Keiv, membuat pasar cryptocurrency terguncang. Berdasarkan data Coinmarketcap, hampir sebagian besar mata uang Crypto mengalami penurunan drastis.

Selama 24 jam terakhir, pergerakan harga Bitcoin sebagai mata uang digital teratas di pasar cryptocurrency, terus mengalami bearish.

Kini volume perdagangan Bitcoin turun menjadi 8.15 persen dengan nilai jual sebesar 34,907.26 dolar AS.

Menyusul Ethereum yang diketahui ikut merosot mencapai 11.80 persen dengan harga 2,346.51 dolar AS. Koin XRP juga mengalami hal yang sama, anjlok hingga 11.30 persen dengan nilai 0.6359 dolar AS.

Hal serupa juga terjadi pada koin Cardano, pihaknya juga mengalami penurunan aset 15.19 persen dengan harga 0.7712 dolar AS, bahkan Solana pun terlihat ambles di angka 19.37 persen dengan 5.206.001 dolar AS.

Tak mau ketinggalan Degecoin terpantau anjlok hingga 15.54 persen dengan 0.1116 dolar AS. Sementara Polkadot memegang 15.20 persen dengan nilai perdagangan yang turun 14.33 dolar AS, hanya dalam kurun waktu kurang dari dalam 24 jam.

Penurunan nilai aset koin digital secara masal selama beberapa hari belakangan, kemungkinan besar dipengaruhi dari adanya konflik yang memanas antara Rusia dan Ukraina.

Jauh sebelum konflik ini pecah, melansir dari Money Control sepanjang tahun 2021 kemarin, volume perdagangan Bitcoin DKK mengalami kenaikan atau bullish, namun setelah Rusia mulai gencar melakukan invasi, pasar Crypto justru terus menunjukan rapot merahnya.

Investor Crypto di berbagai belahan dunia khawatir, jika nantinya serangan ini terus berlanjut maka kemungkinan besar seluruh harga aset Crypto dalam beberapa bulan kedepan akan sulit mengalami bullish.(*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas