Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

KPPU Minta Permentan 21/2017 Dicabut  

Beleid itu berisi soal usaha industri pengolahan hasil perkebunan harus memenuhi 20 persen bahan baku dari kebun yang diusahakan

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in KPPU Minta Permentan 21/2017 Dicabut  
Ria Anatasia
Komisioner KPPU Guntur Syahputra Saragih 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Syahputra Saragih menegaskan pemerintah perlu mencabut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 21 Tahun 2017.

Beleid itu berisi soal usaha industri pengolahan hasil perkebunan harus memenuhi 20 persen bahan baku dari kebun yang diusahakan.

Menurut Guntur, Permentan 21/2017 menghambat munculnya pelaku usaha baru di industri minyak goreng.

"Ini tetap kita suarakan untuk Permentan tersebut dicabut. Artinya pelaku usaha tidak dibatasi untuk memulai usahanya. Silahkan persaingan lah nanti, yang paling kompetitif bisa bertahan," jelas Guntur dalam diskusi publik, Sabtu (26/2/2022).

Ia mengatakan telah mengupayakan kepada pemerintah agar regulasi ini dicabut karena akan mengurangi persaingan. 

Baca juga: Booster Kemajuan Pertanian Jawa Barat, Kementan Gerak Cepat Kucurkan Taxi Alsintan

Tanpa regulasi tersebut membuat dominasi perusahaan besar bisa ditekan dengan lahirnya industri menengah dan kecil baru di pasaran.

Berita Rekomendasi

“Saran kami agar pemerintah untuk mencabut regulasi yang menimbulkan hambatan masuk (entry barrier) pelaku usaha baru di industri minyak goreng termasuk pelaku usaha lokal dan skala menengah kecil," ucap Guntur.

"Dengan semakin banyaknya pelaku usaha baru diharapkan akan mengurangi dominasi kelompok usaha yang terintegrasi secara vertikal,” sambungnya.

Ia menjelaskan struktur pasar yang bersifat loose oligopoly mengakibatkan pelaku usaha lebih memilih ekspor Crude Palm Oil (CPO) untuk memaksimalkan keuntungan.

KPPU melihat hal tersebut sah-sah saja sebab CPO terbentuk berdasarkan permintaan dan penawaran pada pasar global.

"Negara sudah memutuskan untuk mengintervensi pasar dengan menerapkan harga yang ditentukan melalui harga eceran tertinggi (HET). Ini tantangannya luar biasa besar," tukas Guntur.

Catatan KPPU penerapan HET minyak goreng tidak baik bagi mekanisme pasar.

"Penentuan harga yang ditetapkan membuat pelaku usaha tidak dapat bersaing terutama di sektor hilir," teganya.

KPPU melaporkan perkembangan produksi minyak goreng dari tahun 2017 ke 2019 menunjukkan tren peningkatan.

Baca juga: Harga Kedelai Mahal, Pengusaha Tahu Tempe: Buat Apa Banyak Orang Pintar Mengenai Pertanian?

Begitu juga konsumsi minyak goreng rumah tangga yang tidak menunjukkan kenaikan secara signifikan.

"Kalau kita lihat data ini seyogyanya ketersediaan minyak goreng dalam negeri kita masih cukup. Yang paling sensitif terhadap kenaikan minyak goreng itu konsumen akhir yang curah," jelas Guntur.

KPPU memandang masyarakat kelas menengah atas sebetulnya tidak mempermasalahkan kenaikan harga minyak goreng.

Terlebih lagi di sektor industri yang membutuhkan minyak goreng sebagai bahan baku.

"Persoalannya memang ada kelompok yang perlu dilindungi agar tidak menambah sisi pengeluaran mereka sehingga menurunkan kesejahteraan," ucap Guntur.

Penetapan HET menjadi tantangan tersendiri di negara Republik Indonesia di antaranya pendistribusian dan masalah geografis.

Sudah bukan lagi rahasia bahwa biaya logistik minyak goreng tidaklah murah.

"Dalam konteks kami persaingan pasar, persoalannya ada kebijakan Kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO). Bagaimana memastikan beban tersebut menciptakan level playing field yang sama antar pelaku usaha," tuntasnya.
 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas