Sosok Pelda Soegimin, Prajurit KKO Pengangkat Jenazah Pahlawan Revolusi dari Sumur Lubang Buaya
Pembantu Letnan Dua KKO (Purn) Soegimin yang lahir 12 Juni 1939 merupakan seorang purnawirawan Bintara tinggi TNI Angkatan Laut.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pelda KKO (Purn) Soegimin (83), salah satu prajurit yang dulu mengangkat jenazah tujuh Pahlawan Revolusi korban G30S/PKI, meninggal dunia di RSPAL Dr Ramelan, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (6/3/2022) pukul 15.47 WIB.
Pelda (Purn) Soegimin tutup usia setelah menderita gangguan pernapasan.
Soegimin meninggalkan seorang istri dan tujuh orang anak.
Komandan Korps Marinir (Dankormar) Mayor Jenderal TNI (Mar) Widodo Dwi Purwanto menyampaikan duka cita yang mendalam atas berpulangnya salah satu putra terbaik bangsa ini.
Baca juga: Pengangkat Jenazah Pahlawan Revolusi, Pelda KKO (Purn) Soegimin Tutup Usia
"Beliau adalah prajurit pejuang yang berdedikasi dan loyalitas tinggi yang patut diteladani bagi para generasi penerus," ujar Widodo dalam keterangan tertulisnya.
Sosok Soegimin
Dikutip dari Wikipedia, Pembantu Letnan Dua KKO (Purn) Soegimin yang lahir 12 Juni 1939 merupakan seorang purnawirawan Bintara tinggi TNI Angkatan Laut.
Ia merupakan salah satu dari 8 personel IPAM, yang diberikan tugas oleh Komandan KKO AL saat itu, Mayjen KKO Hartono dibawah pimpinan Kapten KKO Winanto, untuk mengangkat tujuh perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang menjadi korban tragedi tanggal 30 September 1965 di Lubang Buaya.
Setidaknya ada sembilan personel pengangkat jenazah tujuh Pahlawan Revolusi.
Kesembilan personel tersebut antara lain:
Kapten KKO Winanto,
Letnan KKO Mispan Sutarto,
Sersan KKO Suparimin, Kopda KKO E.J. Ven Kandou,
Kopda KKO Sudarjo,
Kopda KKO Sugimin,
Kopka KKO Hartono,
Praka KKO Samuri
Praka KKO Subekti.
Perlu menunggu 15 tahun hasil kerjanya diakui oleh pemerintah tepatnya Pada tahun 1980, Sugimin dan kawan-kawannya mendapatkan penghargaan dari TNI Angkatan Darat, Bintang Kartika Eka Paksi.
Kesaksian Prajurit KKO Pengangkat Jenazah Pahlawan Revolusi
Sebelum peristiwa 30 September 1965, Pelda KKO (Purn) EJ Venkandou dan Pelda KKO (Purn) Soegimin sudah berada di Ancol, Jakarta Utara.
Keduanya, ketika itu sedang mempersiapkan acara HUT TNI yang sedianya akan saksikan langsung oleh Presiden Soekarno.
Keduanya, kemudian terpilih sebagai pasukan yang mengangkat jenazah tujuh jenderal revolusi yang dimasukkan ke dalam Lubang Buaya dalam peristiwa berdarah yang dikenal dengan peristiwa G 30 S PKI.
"Sebelum kejadian (peristiwa 30 September) kami sedang mempersiapkan di Pantai Ancol untuk show of force acara HUT TNI. Kami sudah persiapkan sejak bulan Juli," cerita Venkandou
EJ Venkandou dan rekannya Soegimin, ikut menghadiri peringatan hari Kesakitan Pancasila di Lubang Buaya, Jakarta Timur, Kamis (1/10/2015).
Venkandou kini tinggal di Desa Kedung Rejo, Rt 001/rw04. Krajan, Kecamatan Muncak, Banyuwangi Jawa Timur. Sementara Soegimin tinggal di Jalan Ketintang Baru gank -12 No 27 Ketintang, Surabaya.
Di dalam tenda, pada 30 September 1965 malam, cerita Vendkandou, sudah merasakan situasi yang tidak seperti biasanya. Ia melihat banyak sekali tentara seperti mau akan melakukan operasi.
"Situasi di daerah Priok, banyak tentara seperti mau ada operasi, seperti ada mau perang. Teman-teman yang pulang cerita. Eh, kok banyak tentara, ada mau operasi," ceritanya.
Keesokan harinya, Venkandou mengingat, ia mendengar siaran radio yang sudah dikuasai oleh PKI.
Ketika itu, Letkol Untung mengumumkan, dikhususkan kepada para TNI.
"Kalau yang mau ikut langsung akan dinaikkan pangkatnya dua tingkat, yang ikutan satu tingkat. Lha, kita waktu itu opo-opoan (apa-apaan). Kita tidak mengerti," ujarnya.
Kegiatan mempersiapkan peringatan HUT TNI kemudian dibatalkan. Venkandou dan Soegimin beserta rekannya yang lain kemudian ditarik Kormar.
Pada tanggal 3 Oktober 195, sekitar jam 9 - 10 malam, cerita keduanya, datang Kapten Sukendar dari TNI meminta pertolongan untuk mengangkat para jenazah tujuh jenderal di Lubang Buaya.
"Kebetulan Kapten sukendar pernah melihat kita menolong orang yang keracunan di Yogya," ungkap Venkandou.
Kapten Sukendar sebelum menemuinya, sempat memastikan kepada Soeharto (saat itu berpangkat Mayjen).
Setelah bertemu dan memastikan meminta bantuan, Venkandou dan Soegimin kemudian berangkat ke Bandar Udara Halim Perdanakusumah.
Namun, sesampai di sana, Venkandou dan Seogimin kesulitan mencari dimana lokasi Lubang Buaya.
Venkandou cerita, ketika itu, Bandara Halim sudah dikuasai oleh TNI Angkatan Udara. Keduanya tiba di Bandara Halim, subuh, 4 Oktober 1965.
Dua polisi militer Angkatan Udara kemudian menghampirinya, memastikan mengetahui lokasi lubang buaya yang dimaksud.
"Tiba-tiba ada dua polisi dari angkatan udara merapat kepada kita. Kemudian menawarkan, mau ke lubang buaya, mari saya antar," cerita Venkandou
Lokasi Lubang Buaya, cerita keduanya saat itu sudah dikuasai oleh pasukan RPKAD.
Keduanya, pun tak bisa sembarangan masuk.
Venkandou mengungkap, setelah dua jam menunggu barulah bisa masuk ke lokasi sumur yang dijadikan oleh PKI sebagai lubang penyimpanan tujuh jenazah para jenderal.
"Sampai di depan pintu mau masuk Lubang Buaya, ada perintah selain dari pasukan RPKAD, tidak boleh ada yang masuk. Saya masih muda ketika itu, ya ngamuk. Saya mau datang nolong kok ngga boleh. Memang situasi ketika itu sulit membeadakan mana kawan mana lawan, " ungkapnya.
Setelah diperbolehkan masuk, keduanya kemudian melakukan orintasi keadan lubang dan lain sebagainya.
Jenazah Kapten Piere Tendean pertama kali yang berhasil diangkat.
Cerita keduanya, jenzah ajudan Jenderal Nasution ini diangkat oleh prajurit kader RPKAD bernama, Anang.
"Ketika itu kami sempat menawarkan kalau ada yang masuk. Akhirnya kami yang menyelesaikan mengangkat enam jenazah lainnya," cerita keduanya.