Perjalanan Domestik Tak Perlu Antigen dan PCR, Epidemiolog: Jangan Buru-buru Ubah Status Jadi Endemi
Pemerintah kembali memperbaharui kebijakan di sektor transportasi udara dalam menangani pandemi Covid-19.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah kembali memperbaharui kebijakan di sektor transportasi udara dalam menangani pandemi Covid-19.
Kini, masyarakat yang telah menjalani vaksinasi lengkap atau vaksin dua kali, tidak perlu menunjukkan bukti tes antigen ataupun PCR saat melakukan perjalanan udara di rute domestik.
"Pelaku perjalanan domestik dengan transportasi darat laut maupun udara yang sudah melakukan vaksinasi kedua dan lengkap sudah tidak perlu menunjukkan bukti tes antigen maupun PCR negatif," kata Luhut dalam konferensi pers virtual, Senin, (7/3/2022).
Dengan kebijakan tersebut, maka penumpang pesawat, kapal laut, dan transportasi darat dengan tujuan domestik tidak perlu melampirkan hasil tes Covid-19.
Baca juga: Arab Saudi Hapus Aturan Karantina hingga Tes PCR, Kemenag akan Sesuaikan Aturan Haji dan Umrah
Kebijakan tersebut kata Luhut dalam rangka transisi menuju aktivitas normal.
Nantinya akan ada surat edaran yang akan diterbitkan oleh kementerian dan lembaga terkait yang akan terbit dalam waktu dekat.
Selain itu kata Luhut, seluruh kompetisi olahraga dapat menerima penonton dengan syarat sudah melakukan vaksinasi booster dan menggunakan aplikasi pedulilindungi.
"Dengan kapasitas masing-masing sebagai berikut level 4 25 persen dan Level 3 50 persen dan level 2 5 persen dan level 1 100 persen," katanya.
Baca juga: Setuju Kebijakan Tes Antigen dan PCR Perjalanan Rute Domestik Dihapus, Satgas IDI Ingatkan Hal Ini
Luhut mengatakan berdasarkan data yang dievaluasi pemerintah, tren kasus harian Covid-19 nasional menurun sangat signifikan.
Turunnya kasus harian dibarengi dengan turunnya jumlah rawat inap dan tingkat kematian.
"Secara khusus perlu kami informasikan bahwa kondisi tren penurunan kasus konfirmasi harian terjadi di seluruh provinsi di Jawa dan Bali bahkan tingkat rawat inap di rumah sakit seluruh provinsi Jawa Bali juga telah menurun terkecuali DIY, Namun DIY, kami perkirakan akan turun dalam beberapa hari ke depan ini," katanya.
Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman turut menanggapi rencana pemerintah untuk mengubah status pademi Covid-19 di Indonesia menjadi endemi.
Dicky meminta agar pemerintah tak terburu-buru mengubah status pandemi menjadi endemi.
Apalagi jika perubahan status tersebut hanya untuk kepentingan politik atau ekonomi.
"Jangan sampai ini masalah status perubahan endemi ini lebih karena ekonomi dan politik, walaupun jelas itu arahnya karena ingin pelonggaran," lata Dicky dilansir Kompas.com, Senin kemarin.
Menurut Dicky, saat ini Indonesia masih dalam kondisi pandemi sehingga belum bisa diubah menjadi endemi.
Pasalnya salah satu indikator endemi adalah jika angka reproduksi Covid-19 di bawah 1.
Namun nyatanya kasus Covid-19 Indonesia masih tinggi dan terus bertambah."Jelas secara umum ini masih dalam situasi pandemi, kita masih belum endemi," terang Dicky.
Lebih lanjut Dicky menegaskan bahwa perubahan status pandemi menjadi endemi ini hanya bisa dilakukan oleh World Health Organization (WHO).
Ketentuan tersebut juga mengikat seluruh negara, karena tercantum dalam konvensi internasional berupa International Health Regulation (IHR).
Artinya, selama WHO masih menyatakan Covid-19 masih menjadi pandemi, maka situasi yang sama seharusnya berlaku di Indonesia.
"Itu hanya bisa berubah kalau WHO mencabut (statusnya). Jadi (kalau) negara-negara mau menyatakan ini endemi, statusnya tetap secara de facto, de jure, dari sisi global ya masih pandemi," ucap Dicky. (tribun network/taufik/kompas.com)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.