Pengamat Pemilu: Putusan MK Terhadap DKPP Penuhi Asas Keadilan
Ramdansyah menilai putusan MK yang menyatakan Keputusan DKPP tidak lagi final dan mengikat dinilai sudah tepat dan memenuhi asas keadilan.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi Ramdansyah menilai putusan MK yang menyatakan Keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidak lagi final dan mengikat dinilai sudah tepat dan memenuhi asas keadilan.
"Putusan itu sudah tepat dan mempertegas serta memperkuat putusan sebelumnya tahun 2013 di mana saya mengugat hal yang sama," ujar Ramdansyah, Rabu (30/3/2022).
Dalam Kanal Youtube MK, putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidak lagi final dan mengikat serta menjadi objek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Demikian keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait permohonan mantan Ketua KPU Arief Budiman dan anggota KPU Evi Novida Ginting Manik.
"Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, 'Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN'," ujar Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan yang disiarkan dalam kanal YouTube MK, Selasa (29/3/2022).
Baca juga: MK: Keputusan DKPP dapat Dijadikan Objek Gugatan di Peradilan TUN
MK menyatakan norma mengenai putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat telah dipertimbangkan MK dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013.
Karena itu, menurut MK, pokok permohonan para pemohon memiliki keterkaitan dengan Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013.
Ramdansyah mengatakan kasus ini sebenarnya bukan hal baru mengingat pada tahun 2013 lalu, dirinya melakukan pengujian putusan final dan mengikat DKPP.
"Saat itu saya mantan ketua Panwaslu DKI dan dinilai melanggar kode etik oleh DKPP. Jujur saya saat itu bingung, DKPP bukan lembaga peradillan tapi kok putusannya final dan tidak bisa digugat, saya menolak dan mengujinya di MK,"ujarnya.
Baca juga: MK Kabulkan Sebagian Permohonan Evi Novida Ginting dan Arief Budiman Terkait Putusan DKPP
Saat itu Ramdansyah melakukan pengujian Pasal 28 ayat (3), ayat (4), Pasal 101 ayat (1), Pasal 112 ayat (9), ayat (10), ayat (12), ayat (13), Pasal 113 ayat (2), Pasal 119 ayat (4), Pasal 120 ayat (4), dan Pasal 121 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (27/3/2013).
Ramdansyah menilai, DKPP bukan lembaga pelaku kekuasaan kehakiman, sehingga tidak dapat membuat putusan final mengikat melainkan hanya dapat memberikan rekomendasi.
Menurutnya, norma dalam UU No. 15 Tahun 2011 yang menyatakan DKPP menetapkan putusan merupakan norma yang bertentangan dengan pengaturan kekuasaan kehakiman.
Ia menjelaskan keputusan kode etik seperti DKPP seharusnya tidaklah bersifat final. Keputusan itu perlu persetujuan lebih lanjut dari Bawaslu dan KPU untuk mengeluarkan keputusan yang bersifat final.
Baca juga: Banyak Diadukan ke DKPP, Lolly Suhenti Sadar Jajaran Bawaslu Daerah Tak Cakap Jelaskan Masalah
Keputusan DKPP yang bersifat final dan mengikat menyebakan dirinya tidak dapat mengajukan upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan DKPP.
“Saya kesulitan untuk menjadi penyelenggara Pemilu baik sebagai tim seleksi maupun bawaslu terkait dengan pemberhentian DKPP,” ujar Ramdansyah.
Menurutnya, keputusan DKPP yang melampaui kewenangan bukan dikarenakan permasalahan penerapan terhadap norma, melainkan dikarenakan norma Pasal 112 ayat (12) yang menyatakan putusan DKPP bersifat final.
"Sifat putusan yang bersifat final tersebut sudah menciptakan kondisi tidak adanya mekanisme saling kontrol antara DKPP dengan KPU dan Bawaslu," ujarnya.
Selain pasal 112 ayat 12 UU No 15 tahun 2011 yang diuji materikan, ia meminta MK membatalkan beberapa pasal terkait putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat, yakni pasal 28 ayat (3) dan (4), Pasal 100 ayat (1) dan (4), Pasal 112 ayat (9), (10), (12) dan (13), serta Pasal 113 ayat (2).
Menurutnya, jika pasal-pasal ini dibiarkan Pemilu akan berjalan timpang.
Sebab penyelenggara Pemilu akan bekerja dalam kekhawatiran. DKPP akan menjadi bom waktu bagi penyelenggara Pemilu.