Koordinator FMCG Insights: Soal Pelabelan BPA, Akademisi Jangan Ditunggangi Industri
Koordinator riset dan teknologi FMCG Insights, Muhammad Hasan, mendesak kalangan akademisi untuk lebih kritis
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator riset dan teknologi FMCG Insights, Muhammad Hasan, mendesak kalangan akademisi untuk lebih kritis dan tidak mengekor sikap industri air kemasan yang meremehkan potensi bahaya Bisfenol A atau BPA pada galon keras polikarbonat.
"Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara terbuka dan berulang kali menekankan perlunya mengantisipasi dampak peredaran luas galon polikarbonat yang mengandung BPA pada kesehatan masyarakat di masa datang, tapi ironisnya sebagian akademisi masih menganggapnya sebagai hal biasa dan malah membawa-bawa analogi yang rancu," kata Hasan.
Ia merespon pernyataan sejumlah akademisi di media yang mengurangi efek paparan sinar matahari pada galon guna ulang. "Ini sangat kita sayangkan, apalagi sebagian akademisi sampai membawa-bawa permisalan efek paparan sinar matahari pada kursi plastik,” ujar Hasan.
Menurut Hasan, analogi tersebut adalah bentuk sofistikasi (canggih) masalah yang justru menutup celah bagi publik untuk memahami risiko BPA secara utuh.
"Pengandaian itu mengecoh dan memberi angin pada industri yang sedari awal menentang inisiatif BPOM terkait pengendalian dampak BPA," katanya. "Faktanya, efek paparan sinar matahari pada kursi plastik bisa jelas terlihat mata, sementara peluluhan BPA hanya bisa dikenali dari uji laboratorium,” tambahnya.
Belum lagi, ujar Hasan, kursi plastik bukanlah bahan kontak pangan sehingga produksinya tidak menuntut standar mutu dan keamanan yang tinggi, seperti dalam produksi galon polikarbonat untuk air kemasan.
Hasan juga mengkritik akademisi yang seperti ingin menyudahi wacana pelabelan risiko BPA dengan dalih untuk meredam kegaduhan masyarakat.
“Jauh lebih bijak bila akademisi menggelar riset membantu BPOM,” katanya. Dia mencontohkan minimnya riset terkait level peluluhan BPA pada galon guna ulang yang usianya sudah di atas lima tahun, namun masih beredar di pasar, atau keamanan galon yang pengangkutannya menggunakan truk terbuka, atau mutu galon yang kerap dicuci dan disikat berulang.
Plastik polikarbonat, yang produksinya mengandalkan bahan kimia BPA, telah lama dianggap sebagai darling (kesayangan) dunia industri. Namun seiring perkembangan riset dan sains mutakhir, otoritas keamanan pangan di berbagai negara mengkhawatirkan residu BPA pada kemasan polikarbonat dan efeknya pada kesehatan manusia.
Di Perancis dan Kanada, misalnya, pemerintah di kedua negara melarang peredaran semua kemasan pangan yang mengandung BPA, setelah sebelumnya sebatas melarang penggunaannya pada kemasan botol bayi.
Di Indonesia, BPOM mengharuskan produsen pangan yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat menaati ambang batas migrasi BPA yang ditetapkan sebesar 0,6 mg/kg. BPOM mengecek kepatuhan industri atas aturan yang sifatnya self-regulatory tersebut dengan menggelar audit secara rutin.
Hasil pemantauan BPOM per Februari 2022 menyebut level migrasi BPA pada galon guna ulang yang beredar luas di masyarakat "menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan", baik pada sarana produksi maupun distribusi.
Menurut Hasan, ini peringatan pertama dari BPOM setelah dalam rentang enam tahun sebelumnya lembaga menyatakan level migrasi BPA pada galon guna ulang masih di bawah ambang batas berbahaya.
Sekaitan itu, BPOM telah merancang sebuah kebijakan pelabelan risiko BPA pada galon polikarbonat untuk mengantisipasi apa yang digambarkan oleh pejabat lembaga sebagai "masalah-masalah kesehatan publik" yang mungkin muncul di masa datang.
Dalam rancangan peraturan BPOM, saat ini memasuki fase pengesahan, produsen galon air minum yang menggunakan galon polikarbonat wajib mulai mencantumkan label "Berpotensi Mengandung BPA" dalam kurun tiga tahun sejak peraturan disahkan.
Sementara produsen yang menggunakan kemasan selain polikarbonat diperbolehkan mencantumkan label "Bebas BPA".
Menurut Kepala BPOM, Penny K. Lukito, rencana pelabelan itu bertujuan melindungi industri air kemasan dari tanggung jawab (liability) di masa datang sekaligus memberikan perlindungan kesehatan ke khalayak luas.
Hasan berharap pemerintah menyegerakan pengesahan rancangan peraturan pelabelan BPA agar konsumen terbantu dalam memilih produk yang aman.
Dia juga berharap pemerintah menerbitkan pedoman pengangkutan dan penjualan air galon untuk memastikan produk tetap terjaga mutunya, aman dan layak dikonsumsi saat sampai ke tangan konsumen.
Hasil riset Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada Maret 2022 membeberkan keteledoran industri dalam distribusi dan penjualan air galon di Jakarta Raya.
YLKI mendapati mayoritas pengangkutan air galon menggunakan kendaraan terbuka. Observasi juga menunjukkan galon kerap dipajang serampangan, termasuk diletakkan di tempat yang kotor, terpapar sinar matahari dan benda tajam atau yang berbau menyebut.
Teorinya, perlakuan galon yang tak semestinya itu bisa memperbesar risiko peluluhan BPA.
"Industri air kemasan sering sesumbar kalau mereka beroperasi di bawah pengaturan yang sangat ketat, tapi nyatanya, aturan yang ada sejauh ini, termasuk SNI Air Mineral dan Good Manufacturing Practices, tidak memuat pedoman pengangkutan, penyimpanan dan penyajian produk air kemasan," katanya.
Tak heran, Hasan bilang, bila industri leluasa mendistribusikan galon dengan truk terbuka, galon beredar tanpa kejelasan usia pakai dan masih banyak lagi persoalan yang terkait dengan ketiadaan acuan resmi.
"Ironis sebenarnya mengingat untuk penjualan kolang-kaling dan cendol di pasar tradisional, pemerintah sudah menerbitkan pedoman detilnya, sementara industri air kemasan yang perputaran bisnisnya triliun rupiah belum punya acuan terkait distribusi dan penjualan air kemasan," tutupnya.