Kata Komnas HAM Soal Vonis Mati Herry Wirawan Hingga Pentingnya Restitusi Bagi Korban dan Anak
pandangan Komnas HAM terkait vonis hukuman mati terhadap Herry Wirawan hingga restitusi bagi korban dan anak-anak mereka.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik menyampaikan pandangan Komnas HAM terkait vonis hukuman mati terhadap Herry Wirawan hingga restitusi bagi korban dan anak-anak mereka.
Majelis hakim Pengadilan Tinggi Bandung menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap Herry Wirawan setelah menerima permohonan banding dari jaksa Kejati Jabar.
Dalam putusannya, Pengadilan Tinggi Bandung menerima permintaan banding Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan menghukum Herry Wirawan dengan hukuman mati pada Senin (4/4/2022).
Hakim dalam putusannya juga memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Bandung yang sebelumnya menghukum Herry Wirawan hukuman seumur hidup.
Taufan mengatakan sebagai lembaga negara, Komnas HAM menghormati vonis di tingkat banding tersebut juga menghormati keputusan-keputusan lain yang terkait.
Namun demikian, kata Taufan, pihaknya berharap kepada hakim kasasi untuk mempertimbangkan tren global penghapusan hukuman mati secara bertahap apabila nantinya Herry mengajukan kasasi terhadap vonis mati tersebut.
Selain itu, kata dia, dalam konteks di Indonesia meski dalam RKUHP hukuman mati masih ada, namun hukuman tersebut bukan hukuman yang serta merta.
Hukuman mati dalam RKUHP, kata Taufan, masih memberikan kesempatan kepada terpidana mati untuk dinilai dan dievaluasi dalam satu periode tertentu.
Apabila, terpidana mati itu melakukan perubahan-perubahan sikap misalnya, lanjut dia, maka hukuman mati terhadap terpidana mati tersebut masih dimungkinkan untuk diturunkan kepada hukuman yang lebih ringan.
Taufan menjelaskan tren global penghapusan hukuman mati tersebut juga selaras dengan nilai-nilai hak asasi manusia yang universal.
Penghapusan hukuman mati, kata Taufan, juga selaras dengan UUD 1945 pasal 28 i ayat 1 yang menyatakan bahwa hak hidup adalah hak yang tidak bisa dikurangi atau dibatasi dalam kondisi apapun.
Taufan juga menjelaskan berdasarkan sejumlah kajian terkait penerapan hukuman mati menyatakan tidak ditemukan korelasi antara penerapan hukuman mati dengan efek jera atau pengurangan tindak pidana baik itu tindak pidana kekerasan seksual, terorisme, atau narkoba, dan sebagainya.
"Karena itu sekali lagi kita menginginkan ada satu peninjauan yang sebaik-baiknya dari hakim kasasi nanti manakala misalnya terpidana mati ini Herry Wirawan maupun pengacaranya mengajukan kasasi," kata Taufan dalam keterangan video yang diterima Tribunnews.com pada Selasa (5/4/2022).
Taufan juga menegaskan dalam konteks kasus tersebut Komnas HAM sangat berempati kepada korban.
Bagi Komnas HAM, kata Taufan, korban adalah pihak yang paling utama untuk diperhatikan.
Karena itu, kata dia, Komnas HAM juga mendorong agar ada proses restitusi, rehabilitasi, dan perhatian yang lebih serius terhadap korban dalam kasus Herry Wirawan maupun kasus-kasus kekerasan seksual dan perkosaan lainnya.
Dengan demikian, kata dia, apa yang korban alami baik penderitaan fisik, psikologis, maupun masa depan yang ditenggut bisa dipulihkan secara bertahap dengan bantuan dan dukungan pemerintah serta seluruh institusi sosial yang ada.
"Meskipun kami tentu saja misalnya kaitannya dengan restitusi, kami sangat berharap restitusi itu tidak saja diambil dari harta milik Herry Wirawan tetapi juga menjadi tanggung jawab negara," kata Taufan.
Ia juga mengapresiasi pemerintah daerah yang turut terlibat dalam upaya pemulihan korban.
Namun demikian, kata dia, pemerintah daerah juga perlu memperhatikan anak-anak korban perkosaan tersebut.
"Sehingga kemudian masa depan mereka bisa dijamin ke depannya nanti," kata dia.
Kasus Herry Wirawan, lanjut dia, bukan satu-satunya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.
Menurutnya ada beberapa kasus lain yang terjadi juga pada institusi agama baik institusi agama Islam maupun institusi agama lainnya.
Dalam kasus-kasus tersebut, kata Taufan, kekerasan, perkosaan, pelecehan seksual, dilakukan justru oleh orang dipercaya untuk mengelola institusi pendidikan agama kepada murid-muridnya atau kepada orang-orang di sekitarnya.
Untuk itu, kata Taufan, Komnas HAM sangat mendukung adanya langkah-langkah yang diambil Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi khususnya dengan keluarnya Peraturan Menteri terkait hal tersebut.
Menurutnya, hal itu merupakan satu langkah yang sistemik dan sistematik dalam rangka mencegah terjadinya tidak saja kekerasan tetapi juga praktik-praktik perundungan seksual yang dialami banyak pihak di perguruan tinggi.
Menurutnya, penghormatan kepada hak asasi manusia dan perlindungan serta rehabilitasi terhadap korban juga perlu dibenahi dalam sistem pendidikan saat ini.
"Terutama dalam sistem pendidikan keagamaan yang seringkali dengan menggunakan jargon-jargon keagamaan tetapi sebetulnya ada praktik-praktik kejahatan yang terselubung," kata Taufan.(*)