PISPI Gelar Buka Puasa Bersama Dirangkaikan dengan Diskusi 'Stop Ekspor Minyak Goreng'
Kebijakan stop ekspor minyak goreng dan CPO diambil dalam keadaan panik dan lebih berorientasi politik, bukan untuk menyelesaikan masalah.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) menyelenggarakan buka puasa bersama pada Sabtu (24/4/2022) di Jakarta.
Acara ini dirangkaikan dengan refleksi kebijakan pangan nasional dengan tema "Menyoal Kebijakan Stop Ekspor Minyak Goreng; Menyelesaikan atau Menambah Masalah".
Turut hadir sekaligus menjadi pemantik diskusi Koordinator Presidium Badan Pengurus Pusat PISPI Agus Ambo Djiwa.
Agus menyampaikan pandangan bahwa kebijakan penghentian ekspor hanya sekadar untuk menyenangkan masyarakat tanpa kajian dan pertimbangan yang memadai dari pakar-pakar terkait.
"Tidak menyelesaikan persoalan secara tuntas dan seksama. Tidak memikirkan dampaknya bagi petani," kata Agus.
Menurut dia dari total produksi kita sekitar 50 juta, hanya 10 persen yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
"Sisanya mau dikemanakan kalau keran ekspor ditutup? Ujung-ujungnya pasti petani yang jadi korban karena tandan buah sawit pasti jatuh harganya," ujarnya.
Baca juga: Jokowi Larang Ekspor CPO, LaNyalla Dukung Sebagai Terapi Kejut: Tetapi Bukan Itu Jurusnya
Senada dengan itu, Sekjen BPP PISPI Kamhar Lakumani menyampaikan kritik yang sama terhadap kebijakan yang telah disampaikan Presiden Jokowi.
Menurut Kamhar, kebijakan stop ekspor minyak goreng dan bahan bakunya atau CPO ini diambil dalam keadaan panik dan lebih berorientasi politik, bukan untuk menyelesaikan persoalan.
"Semestinya sebagai negara penghasil CPO terbesar dan minyak goreng berbahan baku sawit terbesar di dunia, petani dan pelaku usaha kita ikut menikmati keuntungan dari kenaikan harga komoditi ini di pasar dunia," kata Kamhar.
"Harga TBS yang juga ikut naik menjadi berkah bagi petani. Pelarangan ini juga akan berimplikasi pada defisit neraca perdagangan pertanian, serta kehilangan potensi devisa milyaran dollar," ujar Kamhar menambahkan.
Pengurus Pusat ICMI ini mengatakan Tahun 2021 yang lalu Indonesia mencatat penerimaan sebesar USD 36,21 milyar.
"Jadi sebenarnya jika kebijakan pemerintah tepat, CPO dan minyak goreng ini semestinya menjadi “berkah” bagi perekonomian Indonesia di tengah perekonomian dunia yang masih belum sepenuhnya pulih akibat pandemi Covid-19," katanya.
Dikatakan bahwa terjadinya kelangkaan dan kemahalan minyak goreng akibat pemerintah tak mampu menjalankan dengan sungguh-sungguh kebijakan alokasi 20 persen untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dari para produsen, dan serta gagalnya pemerintah menerapkan kebijakan harga.
"Semestinya membereskan ini mudah, apalagi struktur pasarnya oligopoli dan pemerintah memiliki instrumen yang memadai serta posisi tawar yang sangat kuat untuk mengintervensi para oligopolis yang lahan kebunnya jutaan hektar berupa HGU," ujarnya.
Kamhar mengatakan kegagalan ini kemudian perlahan mulai terungkap, disebabkan “perselingkuhan” antara pengusaha dan penguasa yang meninggalkan rakyat.
"Rakyat dipertontonkan drama bisik-bisik Dirjen Perdagangan Luar Negeri kepada Menterinya bahwa akan ada tersangka dengan diksi “Mafia Minyak Goreng” namun tak kunjung diumumkan oleh Pak Menteri sampai pada waktu yang dijanjikan, yang kemudian tak lama berselang malah si pembisik yang ditetapkan sebagai tersangaka," katanya.
"Jadi kita tunggu episode selanjutnya apakah yang dibisikin juga ternyata adalah bagian dari “mafia minyak goreng” atau tidak?" ujar Kamhar.
Dia mengatakan akan membuat publik penasaran, apalagi makin ke sini semakin terungkap bahwa aliran dana dari minyak goreng ini sudah kemana-mana, termasuk dugaan hubungan “mafia minyak goreng” dengan klub sepak bola milik putra Presiden Jokowi.
"Kita menghargai kerja aparat penegak hukum saat ini, dan meminta agar persoalan ini diusut setuntas-tuntasnya. Jangan takut memeriksa dan memproses mereka-mereka yang terlibat atau mendapatkan keuntungan dari permainan mafia minyak goreng," kata Kamhar.
Sementara itu Anggota Dewan Pakar PISPI Ninuk Mardiana Pambudy menyampaikan bahwa kita mesti belajar dari persoalan beras.
"Meskipun setiap tahunnya beras masih impor, namun tak pernah terjadi kelangkaan seperti minyak goreng saat ini, karena penggilingan beras ada dimana-mana," katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, petani-petani sawit mestinya didorong dan diberi kemudahan untuk membuat pabrik mini kelapa sawit.
"Ini bisa menggunakan dana BPD PKS yang selama ini hanya dinikmati pengusaha besar pelaku industri bio diesel," katanya.
Termasuk, lanjut dia, juga bantuan sertifikasi lahan kepada petani PIR untuk memudahkan akses permodalan.
"Jika pabrik-pabrik kelapa sawit mini milik petani atau kelompok tani ini terwujud, maka kejadian kelangkaan minyak goreng ini tak akan terulang lagi," katanya.