Catatan 24 Tahun Reformasi, SMRC: Kebebasan Sipil di Indonesia Memburuk
SMRC memaparkan hasil survei selama 5 tahun terakhir menyangkut peringatan 24 tahun reformasi Dalam temuannya, kebebasan sipil Indonesia memburuk.
Penulis: Reza Deni
Editor: Theresia Felisiani
Sebaliknya, yang merasa sekarang warga sering atau selalu takut bicara masalah politik mengalami kenaikan dari 16 persen pada 2014 menjadi 43 persen pada 2019. Ini konsisten dengan data sebelumnya.
Baca juga: 24 Tahun Reformasi, Demokrasi Indonesia Dinilai Ada di Situasi Rentan
Saiful menyebut beberapa contoh yang terkait dengan penurunan indikator demokrasi ini antara lain peristiwa pembunuhan anggota laskar FPI, sebuah partai yang hendak diambil alih oleh aparat negara, pembubaran FPI dan HTI.
“Saya tidak setuju dengan cita-cita HTI, juga perjuangan FPI, tapi membubarkan dan melarang mereka, secara norma demokrasi itu tidak benar,” kata Saiful.
Soal persepsi apakah sekarang masyarakat takut terhadap penangkapan semena-mena oleh aparat hukum, yang mengatakan selalu atau sering mengalami kenaikan, dari 24 persen pada Juli 2014 menjadi 38 persen pada Mei 2019 dan 43 persen pada survei Maret 2022.
Sementara itu, dikatakan Saiful, tren masyarakat takut ikut berorganisasi juga memburuk walaupun tidak setajam indikator-indikator sebelumnya. Indikator ini memburuk dari 81 persen yang menyatakan jarang atau tidak pernah pada 2009 menjadi 64 persen pada Maret 2022. Menurut Saiful, seharusnya ini tidak boleh terjadi.
“Kalau tidak naik, minimal stabil di angka 80-an,” kata dia.
Sementara yang menyatakan masyarakat sering atau selalu takut ikut organisasi mengalami kenaikan dari 14 persen pada 2014 menjadi 25 persen pada 2022.
Soal indikator melaksanakan ajaran agama, data SMRC menunjukkan bahwa pada survei April 2009, 95 persen warga pernah merasa bahwa masyarakat jarang atau tidak pernah takut melaksanakan ajaran agama.
Walaupun masih tinggi, angka ini menurun menjadi 76 persen pada Maret 2022.
“Ini agama yang diyakini oleh orang sangat kuat, sangat penting, yang oleh karena itu mestinya dilindungi. Namun, kenyataannya mungkin hanya kelompok agama tertentu yang merasa seperti itu. Kelompok agama lain tidak merasakan adanya kebebasan untuk menjalankan agamanya,” kata Saiful.
Baca juga: Polisi Sediakan Kantong Parkir Bagi Peserta Demo 21 Mei di Lapangan IRTI Monas
Selain kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama sepertinya yang dialami kelompok Syiah, Ahmadiyah, Komunitas Eden, dan lain-lain, Saiful juga melihat bahwa secara sistematik dalam struktur kekuasaan, ada hukum yang melanggar kebebasan sipil, yaitu undang-undang tentang penodaan agama.
“Itu yang menjadi masalah. Kita tidak akan mengalami pendewasaan dalan civil liberties, kebebasan dan demokrasi, selama dalam struktur kekuasaan masih ada kaidah-kaidah yang membenarkan menjebloskan orang ke penjara hanya karena beda pendapat,” tegasnya.
Menurut Saiful, Konstitusi Indonesia tidak melarang agama apa pun. Akan tetapi, kemudian dibuat undang-undang bahwa yang diakui hanya agama tertentu saja. Karena itu, ada hal-hal yang mendasar yang menjadi turunan konstitusi yang tidak konsisten.
“Konstitusi sudah melindungi (kebebasan beragama), dan itu bagus. Tapi undang-undang turunannya yang buruk,” kata Saiful.