Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Catatan 24 Tahun Reformasi, SMRC: Kebebasan Sipil di Indonesia Memburuk

SMRC memaparkan hasil survei selama 5 tahun terakhir menyangkut peringatan 24 tahun reformasi Dalam temuannya, kebebasan sipil Indonesia memburuk.

Penulis: Reza Deni
Editor: Theresia Felisiani
zoom-in Catatan 24 Tahun Reformasi, SMRC: Kebebasan Sipil di Indonesia Memburuk
capture video
Pendiri SMRC Saiful Mujani dalam dialog bertajuk 'Masyarakat Kita Makin Intoleran?' yang disiarkan kanal YouTube SMRC TV, Kamis (14/4/2022). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) memaparkan hasil survei selama 5 tahun terakhir menyangkut peringatan 24 tahun reformasi.

Dalam temuannya, kebebasan sipil Indonesia memburuk.

Pendiri SMRC Prof. Saiful Mujani menunjukkan beberapa indikator kebebasan sipil mengalami pelemahan.

Data dari September 2017 sampai Maret 2022 (5 tahun), bahwa sampai pada April 2019, presentase warga yang mengaku puas atau cukup puas terhadap kondisi kebebasan berpendapat relatif tinggi, sekitar 79 persen.

"Namun setelah Pemilu 2019, mengalami penurunan yang cukup tajam, dari 79 persen pada April 2019 menjadi 56 persen pada Juni 2020, dan 63 persen pada Maret 2022. Sebaliknya, yang menyatakan kurang atau tidak puas mengalami kenaikan, dari 18 persen pada April 2019 menjadi 33 persen pada Maret 2022," kata Saiful dalam kanal Youtube SMRC TV, Sabtu (21/5/2022).

Baca juga: Massa Aksi Demo 21 Mei di Patung Kuda: Reformasi Hari Ini Mati

Menurut Saiful, data temuan SMRC ini konsisten dengan data dari Freedom House tentang menurunnya kualitas demokrasi Indonesia. 

“Jadi penilaian masyarakat biasa dari Aceh sampai Papua dengan penilaian panel ahli dari Freedom House kurang lebih sama,” ujarnya..

Berita Rekomendasi

Saiful menjelaskan bahwa dalam demokrasi, lepas dari level pengetahuan warga, pandangan mereka tentang kinerja pemerintah, politik, termasuk dengan demokrasi, biasa dipakai untuk melakukan evaluasi terhadap demokrasi di suatu negara.

Dalam studi-studi opini publik di dunia, kinerja demokrasi diukur salah satunya dengan pertanyaan seberapa puas atau tidak puas publik dengan pelaksanaan demokrasi kita sejauh ini.

Baca juga: Demo 21 Mei: Omnimbus Law Bentuk Penderitaan Nyata bagi Rakyat

Dia menyebut indikator kebebasan berkumpul atau berserikat, datanya kurang lebih sama, menurun sejak setelah Pemilu 2019, dari 86 persen pada survei April 2019 menjadi 59 persen pada September 2020 dan 68 persen pada Maret 2022.

Sementara yang menyatakan sebaliknya, kurang atau tidak puas, mengalami lonjakan dari 9 persen pada April 2019 menjadi 37 persen setahun setelahnya dan sekarang (Maret 2022) 27 persen

“Penurunan ini belum menunjukkan gejala normal atau membaik kembali,” kata Saiful

Saiful menambahkan, data yang dimiliki oleh SMRC tentang kebebasan bicara masalah politik sudah ada sejak tahun 2004.

Sebelum 2019, di atas 60 persen warga merasa jarang atau tidak pernah merasa takut bicara masalah politik. Namun setelah itu mengalami penurunan.

Sebaliknya, yang merasa sekarang warga sering atau selalu takut bicara masalah politik mengalami kenaikan dari 16 persen pada 2014 menjadi 43 persen pada 2019. Ini konsisten dengan data sebelumnya.

Baca juga: 24 Tahun Reformasi, Demokrasi Indonesia Dinilai Ada di Situasi Rentan

Saiful menyebut beberapa contoh yang terkait dengan penurunan indikator demokrasi ini antara lain peristiwa pembunuhan anggota laskar FPI, sebuah partai yang hendak diambil alih oleh aparat negara, pembubaran FPI dan HTI.

“Saya tidak setuju dengan cita-cita HTI, juga perjuangan FPI, tapi membubarkan dan melarang mereka, secara norma demokrasi itu tidak benar,” kata Saiful.

Soal persepsi apakah sekarang masyarakat takut terhadap penangkapan semena-mena oleh aparat hukum, yang mengatakan selalu atau sering mengalami kenaikan, dari 24 persen pada Juli 2014 menjadi 38 persen pada Mei 2019 dan 43 persen pada survei Maret 2022. 

Sementara itu, dikatakan Saiful, tren masyarakat takut ikut berorganisasi juga memburuk walaupun tidak setajam indikator-indikator sebelumnya. Indikator ini memburuk dari 81 persen yang menyatakan jarang atau tidak pernah pada 2009 menjadi 64 persen pada Maret 2022.  Menurut Saiful, seharusnya ini tidak boleh terjadi.

“Kalau tidak naik, minimal stabil di angka 80-an,” kata dia.

Sementara yang menyatakan masyarakat sering atau selalu takut ikut organisasi mengalami kenaikan dari 14 persen pada 2014 menjadi 25 persen pada 2022. 

Soal indikator melaksanakan ajaran agama, data SMRC menunjukkan bahwa pada survei April 2009, 95 persen warga pernah merasa bahwa masyarakat jarang atau tidak pernah takut melaksanakan ajaran agama.

Walaupun masih tinggi, angka ini menurun menjadi 76 persen pada Maret 2022.

“Ini agama yang diyakini oleh orang sangat kuat, sangat penting, yang oleh karena itu mestinya dilindungi. Namun, kenyataannya mungkin hanya kelompok agama tertentu yang merasa seperti itu. Kelompok agama lain tidak merasakan adanya kebebasan untuk menjalankan agamanya,” kata Saiful.

Baca juga: Polisi Sediakan Kantong Parkir Bagi Peserta Demo 21 Mei di Lapangan IRTI Monas

Selain kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama sepertinya yang dialami kelompok Syiah, Ahmadiyah, Komunitas Eden, dan lain-lain, Saiful juga melihat bahwa secara sistematik dalam struktur kekuasaan, ada hukum yang melanggar kebebasan sipil, yaitu undang-undang tentang penodaan agama.

“Itu yang menjadi masalah. Kita tidak akan mengalami pendewasaan dalan civil liberties, kebebasan dan demokrasi, selama dalam struktur kekuasaan masih ada kaidah-kaidah yang membenarkan menjebloskan orang ke penjara hanya karena beda pendapat,” tegasnya.

Menurut Saiful, Konstitusi Indonesia tidak melarang agama apa pun. Akan tetapi, kemudian dibuat undang-undang bahwa yang diakui hanya agama tertentu saja. Karena itu, ada hal-hal yang mendasar yang menjadi turunan konstitusi yang tidak konsisten.

“Konstitusi sudah melindungi (kebebasan beragama), dan itu bagus. Tapi undang-undang turunannya yang buruk,” kata Saiful.

Hal tersebut, dikatakan Saiful, seharusnya bisa direview di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun berdasarkan pengalaman selama ini, menurut dia, MK tidak cukup memberi pencerahan untuk mengembangkan kebebasan sipil dalam masyarakat kita. 

“Hal ini menjadi satu tantangan kita ke depan karena demokrasi banyak bertumpu pada persoalan penegakan hukum. Kalau aspek ini buruk, kita tidak bisa berharap banyak pada demokrasi kita ke depan,” imbuhnya. 

Baca juga: Ditanya Soal Opsi Jadi Gubernur DKI Jakarta atau Jateng, Wali Kota Solo Gibran Angkat Bicara 

Saiful menyimpulkan dilihat dari indikator-indikator ini, kualitas demokrasi atau kebebasan sipil Indonesia memburuk. 

Hal ini sejalan dengan data dari Freedom House yang menggunakan metode panel ahli. 

Menurut Freedom House, dikatakan Saiful, semua pejabat publik yang memiliki wewenang untuk membuat keputusan-keputusan strategis itu harus punya mandat dari rakyat.

Dua tahun ke depan, Indonesia akan memiliki pejabat-pejabat publik yang tidak punya mandat dari rakyat. Sejumlah gubernur akan diangkat oleh Presiden karena ada pilkada serempak.

Dia khawatir fakta ini akan dinila Freedom House bahwa kekuasaan di daerah-daerah tidak memiliki mandat dari rakyat. Ini akan mengurangi nilai demokrasi Indonesia. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas