Sejarah 21 Mei 1998, Demo Besar-besaran hingga Presiden Soeharto Mundur setelah Berkuasa 32 Tahun
Hari ini, tepat 24 tahun silam, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya setelah 32 tahun berkuasa sebagai pemimpin negara Indonesia.
Penulis: Suci Bangun Dwi Setyaningsih
Editor: Nuryanti
TRIBUNNEWS.COM – Hari ini tepat 24 tahun silam, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya setelah 32 tahun berkuasa.
Soeharto menyatakan mundur pada 21 Mei 1998 dan ini adalah hari dimulainya era reformasi.
Diketahui, Soeharto mendapat desakan mundur dari berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa.
Sebelum Soeharto memutuskan mundur, terjadi demo besar-besaran dan kerusuhan di berbagai titik di Indonesia.
Hingga akhirnya, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998.
Baca juga: Aksi Demo 21 Mei Bubar, Sebagian Massa Buruh Bakar Flare Diiringi Lagu Buruh Internasionale
Dikutip dari Kompas.com, Soeharto mengambil langkah pengunduran diri setelah melihat perkembangan situasi nasional kala itu.
Pidato pengunduran diri Soeharto pun dibacakan di Istana Merdeka sekitar pukul 09.00 WIB.
"Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998," kata Soeharto dalam buku Detik-detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006) yang ditulis Bacharuddin Jusuf Habibie.
Setelah Soeharto mundur, ia menyerahkan kekuasaan kepresidenan kepada Wakil Presiden kala itu, yakni BJ Habibie.
"Sesuai dengan Pasal 8 UUD ’45, maka Wakil Presiden Republik Indonesia Prof H BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998-2003," ucap Soeharto.
Detik-detik Soeharto Mundur dari Jabatannya sebagai Presiden, Terjadi Demo Besar-besaran
Masih mengutip Kompas.com, pengumuman mundurnya Soeharto menjadi penanda berakhirnya kekuasaan rezim Orde Baru pada waktu itu.
Selama Soeharto berkuasa, muncul sejumlah catatan hitam berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Termasuk, pembungkaman sebagai upaya Orde Baru mempertahankan kekuasaan.
Pelanggaran HAM yang tercatat, seperti pembungkaman demonstrasi mahasiswa dengan aksi represif sejak 1970-an hingga penculikan aktivis demokrasi.
Ketidakpuasan terhadap pemerintahan juga semakin diperkuat setelah MPR mengangkat Soeharto sebagai mandataris dalam Sidang Umum MPR pada Maret 1998.
Dalam hasil sidang itu, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden hingga 2003.
Namun, pada waktu itu, penolakan hasil Sidang Umum MPR mulai muncul.
Baca juga: Polisi Pastikan Demo 21 Mei Berjalan Tertib: Tidak Ada Penyusup
Mahasiswa berdemonstrasi menolak terpilihnya Soeharto sebagai presiden.
Selanjutnya, suasana semakin diperparah dengan kondisi ekonomi yang memburuk.
Aksi demonstrasi pun semakin besar dan para mahasiswa mulai turun ke jalan.
Mahasiswa semakin berani berdemonstrasi setelah Soeharto terpilih sebagai presiden untuk periode ketujuh dalam Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1998.
Ketika mahasiswa tutun ke jalan, aksi aparat keamanan justru menyebabkan munculnya korban jiwa.
Berdasarkan dokumentasi Kompas, aksi mahasiswa di Yogyakarta yang ditangani aparat keamanan secara represif pada 8 Mei 1998 mengakibatkan meninggalnya Moses Gatutkaca.
Moses Gatutkaca merupakan mahasiswa Universitas Sanata Dharma itu meninggal akibat pukulan benda tumpul.
Hal tersebut, memicu demonstrasi mahasiswa yang semakin masif.
Namun, aparat keamanan kembali mengatasi demonstrasi mahasiswa dengan kekerasan pada 12 Mei 1998.
Sehingga, menimbulkan korban, yakni empat mahasiswa Universitas Trisakti meninggal.
Empat mahasiswa itu ditembak peluru tajam milik aparat keamanan.
Ketua DPR/MPR Harmoko Minta Presiden Soeharto Mundur
Setelah Tragedi Trisakti, terjadi kerusuhan bernuansa rasial di Jakarta dan sejumlah kota besar.
Kejadian itu, semakin membuat kekuasaan Soeharto di ujung tanduk.
Hingga akhirnya, mahasiswa berhasil menguasai Gedung MPR pada 18 Mei 1998.
Pimpinan DPR/MPR pun kemudian meminta Presiden Soeharto untuk mundur.
Permintaan itu disampaikan Ketua DPR/MPR Harmoko yang didampingi pimpinan lain, yakni Ismail Hasan Metareum, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan Syarwan Hamid pada 18 Mei 1998.
Namun, Soeharto berusaha melakukan perlawanan melalui cara menawarkan pembentukan Komite Reformasi sebagai pemerintahan transisi hingga dilakukannya pemilu berikutnya.
Soeharto pun menawarkannya kepada sejumlah tokoh, seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid untuk bergabung.
Namun, sejumlah tokoh yang ditemui Soeharto pada 19 Mei 1998 ternyata menolak.
Selain itu, empat belas menteri yang ditunjuk Soeharto untuk masuk ke dalam Kabinet Reformasi juga menolak bergabung.
Lantas, pada 21 Mei 1998, Soeharto mengambil keputusan besar.
Ia memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai presiden setelah melalui berbagai pertimbangan.
(Tribunnews.com/Suci Bangun DS, Kompas.com/Bayu Galih/Akbar Bhayu Tamtomo, Kompas.tv/Laura Elvina)
Simak berita lainnya terkait Soeharto