Komnas HAM Ungkap Perjalanan Tragedi Paniai Bisa Naik ke Persidangan, Sempat Ditolak Jampidsus
Komnas HAM mengungkap sejumlah upaya yang dilakukan hingga akhirnya tragedi Paniai, Papua pada 2014 silam bisa masuk ke tahap persidangan.
Editor: Adi Suhendi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkap sejumlah upaya yang dilakukan hingga akhirnya tragedi Paniai, Papua pada 2014 silam bisa masuk ke tahap persidangan.
Sebagaimana diketahui, berkas penyidikan kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Berat (HAM) berat peristiwa Paniai di Provinsi Papua tahun 2014 dengan tersangka berinisial IS, dinyatakan lengkap atau P-21 pada 6 April 2022 lalu.
Padahal sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) sempat mengembalikan berkas tersebut pada 19 Maret 2020 karena dinilai belum memenuhi syarat formil dan materiil.
Berkas kemudian dilengkapi dan dikirim kembali oleh Komnas HAM kepada Kejagung pada 14 April 2020.
Kejagung mengembalikan berkas untuk kedua kalinya ke Komnas HAM pada 20 Mei 2020, atau 36 hari setelahnya.
Kejagung beranggapan Komnas HAM tidak melengkapi petunjuk yang diberikan.
Baca juga: Komnas HAM: Penuntasan Tragedi Paniai Jadi Modal Pemerintah Bangun Kepercayaan Masyarakat Papua
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan pihaknya sejak awal sudah tidak sepakat dengan anggapan Kejagung perihal kurangnya saksi dan bukti terkait Tragedi Paniai.
“Kesimpulan Komnas HAM di periode kami ini, kami selalu tidak sependapat, argumentasi mengatakan bahwa saksi, bukti kurang, kita tidak yakin,” kata Ahmad Taufan Damanik kepada wartawan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (30/5/2022).
“Argumentasi Jampidsus (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus) yang sebelumnya mengatakan ini tidak bisa dan sebagainya, kan dibantah sendiri, karena bisa ternyata penyidikan dan dalam waktu dekat akan ada penuntutan untuk dilakukan sidang di Makassar," lanjut dia.
Taufan menilai naiknya perkara Tragedi Pangiai ke persidangan menjadi alasan bahwa yang selama ini diselidiki Komnas HAM punya latar belakang yang kuat untuk diusut.
Dia menambahkan, dalam menindaklanjuti kasus pelanggaran HAM berat juga dibutuhkan dukungan politik yang kuat.
Baca juga: Tragedi Paniai Segera Disidangkan, Komnas HAM Berharap Pengadilan Ambil Keputusan Seadil-adilnya
"Karena semata-mata memang kemauan politik dari pemerintah. Dan pemerintahan itu ternyata terbukti,” katanya.
Sehingga, sambung Taufan, Komnas HAM sukses meyakinkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk berani menindaklanjuti.
Upaya tersebut pun dilakukan setelah berkali-kali melakulan diskusi dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Menteri Sekretariat Negara (Mensesneg) dan Jaksa Agung.
“Kemudian ada ketegasan lagi oleh Pak Jokowi yang saya katakan memang karena Komnas HAM berhasil menyakinkan," ujarnya.
Meski telah naik ke meja hijau, Taufan juga menberikan catatan khusus.
Dia tidak ingin kasus Paniai ini tidak sama nasibnya dengan tiga perkara pelanggaran HAM Berat sebelumnya yang hasilnya tidak memuaskan.
Dalam artian, para pelaku mendapat hak impunitas (pembebasan dari hukuman).
Tercatat selama 20 tahun adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang disahkan pada 23 November 2000, hanya tiga kasus yang disidangkan.
Adapun yang disidangkan antara lain peristiwa Tanjung Priok 1984, peristiwa Timor Timur, dan peristiwa Abepura 2000.
"Di mana terduga pelakunya kemudian semuanya tidak ada. Atas hak impunitas kepada pelaku," katanya.
Taufan pun berharap nantinya pengadilan bisa independen dan profesional dalam mengadili pelaku kasus Paniai jika persidangan telah dimulai.
"Nantinya tergantung pengadilan. Itu otonomi pengadilan, kami tidak bisa mengintervensi. Tapi pengadilan harus betul-betul mengadili sehingga ada keadilan agar pelanggaran HAM tidak terulang," ucapnya.
Ia beranggapan kasus Paniai ini bisa menjadi pijakan dalam memberi kepastian hukum atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Termasuk memberikan pelajaran, agar seluruh pihak harus memperhatikan HAM dalam setiap menjalankan tugas.
"Sehingga orang harus betul-betul harus hati-hati dalam menjalankan tugas kenegaraannya, ketika dia menjalankan tugas. Supaya tidak melakukan tugas pelanggaran HAM berat," ucapnya.