Legislator PDIP Deddy Yevri Sitorus: Omongan Luhut Binsar Gertak Sambal
Deddy Yevri Sitorus menyatakan pihaknya mempertanyakan logika dan regulasi terkait pernyataan Menteri Koordinator Marinvest Luhut Binsar Panjaitan (LB
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Sitorus menyatakan pihaknya mempertanyakan logika dan regulasi terkait pernyataan Menteri Koordinator Marinvest Luhut Binsar Panjaitan (LBP).
Dimana, Luhut menyebut bahwa kantor pusat perusahaan sawit harus berada di Indonesia.
Bagi Deddy, pernyataan LBP itu terkesan hanya berusaha menaikkan popularitas di tengah kritikan publik dan hanya terkesan gertak sambal semata.
“Saya sih senang dengan pernyataan Pak Luhut itu, tetapi apa memang ada regulasinya? Apakah memang ada UU atau aturan pemerintah yang menyatakan dan mengharuskan semua investor yang berinvestasi harus berkantor pusat di Indonesia?" Atau kah itu hanya berlaku untuk perusahaan perkebunan sawit saja, tidak untuk perusahaan smelter, pembangkit listrik, tambang, migas, konsultan, lawyer, rumah sakit, telekomunikasi dan sebagainya?” kata Deddy Yevri dalam keterangannya, Senin (30/5/2022).
“Saya mengakui pernyataan dan niat Pak Luhut itu sangat populis, progressif dan heroik. Tetapi tanpa landasan hukum, kesannya jadi sekedar gertak sambal belaka,” tambahnya.
Deddy Yevri melanjutkan, dirinya pribadi akan mendukung bila kebijakan itu serius mau dilakukan. Tetapi perlu dipikirkan apakah hal itu tidak akan berdampak kepada iklim investasi di Indonesia.
“Apakah dulu Exxon dan Freeport kantor pusatnya ada di Indonesia atau apakah sekarang PWC, McKenzie, Huadian, Newmont, Chingsan, Huawei, Virtue Dragon, Obsidian, Silk Road dan sebagainya itu juga harus berkantor pusat di Indonesia?" tanya Deddy.
"Menurut saya LBP harusnya tidak menerapkan standar ganda, sehingga tersirat ada agenda tersembunyi dan merusak iklim berinvestasi di Indonesia,” katanya.
Menurut Anggota Fraksi PDI Perjuangan dari Dapil Kalimantan Utara tersebut, ada banyak persoalan hulu dalam industri sawit yang seharusnya diurusi oleh LBP sebagai orang yang ditugasi membereskan sengkarut minyak goreng.
Baca juga: Pedagang Menaruh Harapan ke Luhut untuk Tuntaskan Persoalan Minyak Goreng
Ambil contoh yang paling hulu adalah soal Domestic Price Obligation (DPO) meliputi penetapan harga Tandan Buah Sawit (TBS) hingga CPO, serta produk minyak goreng yang masih mengacu pada harga internasional.
Belum lagi soal mekanisme pemungutan dan kontrol CPO hasil DMO, kemampuan pemerintah menyiapkan fasilitas cadangan nasional hingga distribusi, ujar Deddy.
Masalah hulu lain yang jauh lebih penting adalah soal jangka waktu Hak Guna Usaha (HGU) dan pengembalian aset itu kepada negara.
Lalu, soal plasma dan luasan HGU yang merugikan bahkan mengorbankan petani kecil pemilik lahan dan masyarakat adat, hingga sering menimbulkan konflik dimana-mana.
Lalu permasalahan terkait banyaknya perkebunan sawit yang belum memberikan upah buruh sesuai ketentuan.
“Kenapa soal-soal hulu yang fundamental seperti itu tidak dipikirkan oleh LBP?” ujarnya.
“Kalau itu yang dia ingin selesaikan, saya angkat topi dan bangga,” terangnya.
Lebih lanjut, Deddy mengatakan, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak sekali masalah dalam perkebunan sawit terkait luasan lahan.
Hal itu merugikan keuangan negara dari sektor penerimaan pajak, termasuk dugaan manipulasi pajak juga.
Menurutnya, kalau kelebihan lahan hasil caplokan perusahaan itu diberikan kepada masyarakat lokal atau masyarakat adat, akan memberikan kesejahteraan.
“Tapi kok Luhut tidak berpikir membereskan masalah lahan ini yang sudah merupakan konflik bersifat manifes dan sering memakan korban jiwa rakyat kecil. Saya ajak Pak Luhut ke Dapil daya di Kalimantan Utara bertemu dengan ribuan rakyat yang dirugikan oleh perusahaan sawit dengan sistem plasma, melihat barak-barak buruh sawit yang diperlakukan seperti budak. Itu semua persoalan bulu,” papar Deddy.
Deddy mengaku pihaknya merasa aneh jika yang dipersoalkan LBP adalah perusahaan besar yang berkantor di kuar negeri.
“Kan beliau itu Menko Marimvest, apa gak ngerti tentang bisnis dan investasi? Kalau semua investor harus berkantor pusat di Indonesia, saya jamin tidak ada investor yang mau datang ke Indonesia. Saya mau tanya, ada kepentingan apa Luhut sehingga memilih mengurusi hal yang tidak penting?” ungkap Deddy.
“Saya tidak berniat membela pengusaha sawit, bisa dikatakan saya anti perkebunan monokultur skala besar yang merusak lingkungan. Tapi sebagai Anggota DPR RI, saya mengatakan bahwa Pak Luhut itu salah fokus atau punya agenda lain,” pungkasnya.
Diketahui, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan akan mewajibkan seluruh kantor pusat perusahaan sawit untuk berada di Indonesia.
Langkah ini agar proses pengawasan bisa dilakukan dengan baik dan perusahaan tersebut juga membayar pajak ke Indonesia.