Survei Litbang Kompas Sebut Elektabilitas Partai Islam Cenderung Turun, Peneliti Ungkap Penyebabnya
Dari semua partai politik, partai berbasis Islam tidak menunjukkan kenaikan bahkan ada kecenderungan stagnan dan menurun.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hasil terbaru Survei Litbang Kompas menyoroti elektabilitas partai peserta pemilu.
Dari semua partai politik, partai berbasis Islam tidak menunjukkan kenaikan bahkan ada kecenderungan stagnan dan menurun.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya, menunjukkan angka elektabilitas 5,4 persen.
Bahkan PKS, jika dibandingkan dengan hasil survei pada Januari lalu, yakni 6,8 persen, elektabilitas PKS menunjukkan penurunan.
Hal yang sama juga berlaku bagi PKB yang cenderung turun meski kecil, dengan 5,5 persen (Januari), dan 5,4 persen (Juni).
Baca juga: Survei Litbang Kompas: Elektabilitas PDIP Tetap Teratas, Gerindra-Demokrat-Golkar Terus Bersaing
Penurunan elektabilitas juga terjadi pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dari 2,8 persen pada survei Januari lalu, menjadi 2,0 persen pada Juni 2022.
Hanya Partai Amanat Nasional (pan) yang naik dari 2,5 persen (Januari) menjadi 3,6 persen (Juni).
Meski pun tingkat kenaikannya terbilang kecil.
Dua Penyebabnya
Peneliti Politik Islam dari The Political Literacy, Muhammad Hanifuddin, menilai ada dua faktor penyebab partai Islam menurun belakangan ini.
“Dalam perspektif ilmu politik, semisal menurut Anthony Downs (1998), ada dua faktor mengapa elektabilitas partai politik rendah. Pertama, ketiadaan konsistensi visi misi dan program partai yang dirasakan masyarakat,” ujarnya kepada Kompas.TV pada Selasa (21/6/2022).
Hanif lantas menyebut visi dan misi ini krusial.
Apalagi, menurutnya, saat ini masyarakat justru cenderung rasional ketika melihat partai.
“Secara rasional, masyarakat akan memilih partai yang terbukti atau dinilai memberikan manfaat dan keuntungan,” ujarnya.
Faktor kedua, menurut Hanif terkait dengan citra yang ditampilkan para partai Islam.
Baca juga: Gerindra Soroti Turunnya Tingkat Kepuasan Publik terhadap Jokowi-Maruf dalam Survei Litbang Kompas
Apalagi, menurut Hanif, jika partai Islam justru tersandung masalah korupsi maka itu akan menurunkan nilai mereka di hadapan publik.
“Faktor Kedua, ketiadaan figur dan citra partai yang baik dan kredibel. Masyarakat mulai tidak respek pada partai Islam ketika ada kader partai Islam terjerat kasus korupsi,” tuturnya.
Dalam kasus korupsi ini, lanjut Hanif, tidak ada perbedaan mencolok antara partai Islam dengan partai biasa.
“Tidak ada kosistensi dan distingsi antara partai Islam ataupun partai lain,” terangnya.
Hanif juga menyebut soal ideologi dari partai-partai Islam yang dianggap telah membaur.
Jadi, secara isu, menurutnya, bahkan tidak jauh berbeda antara partai-partai Islam ini dengan partai yang bukan partai Islam, bahkan relatif serupa.
“Selain itu, dalam perkembangan politik Indonesia kontemporer, ideologi partai sudah menjadi membaur bahkan kabur antara partai religius nasionalis dan nasionalis religius,” kata dia.
Partai Islam itu, menurut Hanif, adalah PPP, PKS, PAN, PKB, PBB, serta partai baru seperti Gelora, Partai Ummat, PBB, serta Partai Pelita.
Partai-partai itu disebut Hanif harus berjuang ekstra agar nanti bisa berbicara banyak di Pemilu 2024 di tengah tren yang justru menurun.
Sementara itu, peneliti utama pusat riset politik BRIN, Firman Noor, yang hadir menjadi narasumber dalam dialog politik nasional dalam rangkaian agenda Rapimnas PKS, pada Senin (20/6/2022) menyebut, dengan melihat kondisi perpolitikan saat ini, sebenarnya PKS bisa muncul menjadi kekuatan yang bisa membawa arah demokrasi Indonesia ke arah yang lebih substansial.
"Saya ingin menggaris bawahi statemen Presiden PKS bahwa pemilu 2024 nanti akan menjadi momentum apakah Indonesia akan mengalami perubahan, setengah perubahan atau tidak ada perubahan sama sekali," ucap Firman dikutip dari situs PKS.
Apalagi saat ini, ada fenomena konsolidasi antara partai politik yang kian gencar dengan mulai menjalin kerjasama lintas ideologis.
"Ada kecenderungan kerjasama lintas ideologis antara nasionalis dan religius, dan ini bukan sesuatu yang baru, karena ini menyadarkan kita bahwa Indonesia melahirkan dua anak kandung yakni kalangan kebangsaan dan religius," pungkas Firman.
Sumber: Kompas.TV/Tribunnews.com