Ahyudin Bantah Terlibat Program CSR Boeing: Saya Ketua Dewan Pembina, Bukan Presiden ACT
Eks Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin mengaku tak tahu secara pasti terkait program CSR Boeing.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eks Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin mengaku tak tahu secara pasti terkait program CSR Boeing.
Ahyudin beralasan dirinya bukanlah Presiden ACT maupun pengurus yayasan yang terlibat langsung dalam program tersebut.
"Saya adalah ketua dewan pembina (ACT) yang tidak langsung terlibat secara oprasional program," kata Ahyudin usai pemeriksaan di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (11/7/2022) malam
Diketahui, Polri kini tengah melakukan penyelidikan soal dugaan penyelewengan dana sosial keluarga korban Lion Air JT-610 yang diberikan Boeing kepada ACT.
Pasalnya, Boeing disebut memberikan dana sosial atau CSR sebesar Rp 138 miliar kepada ACT untuk menjalankan program bagi para keluarga korban Lion Air JT-610.
Baca juga: Bantah Polisi, Eks Presiden ACT Ahyudin Klaim Realisasi Dana CSR Korban Lion Air Sudah 75 Persen
Ahyudin menyebut, sejak 11 Januari 2022 lalu, dirinya sudah tak lagi menjabat sebagai ketua dewan pembina ACT.
Sehingga, tak mengetahui pasti sudah sejauh mana program tersebut berjalan.
"Dan progres program dari Januari sampai Juli 2022 ini saya juga tidak tahu. 6 bulan dalam arti progresnya," jelasnya.
Meski demikian, ia menyebut bahwa progres program CSR Boeing itu telah berjalan 75 persen sejak dirinya hengkang dari lembaga filatropi tersebut.
Baca juga: Kasus Penyelewengan Dana Korban Lion Air, Polisi akan Gelar Perkara Tentukan Nasib Dua Petinggi ACT
"Tebakan saya sih, di atas 75 persen, saya yakin. Sampai Januari, kalau tidak salah sampai 11 Januari, kalau tidak salah itu sudah 75 persen," katanya.
Sebelumnya, Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengungkapkan ACT mengelola dana sosial dari pihak Boeing untuk disalurkan kepada ahli waris para korban kecelakaan pesawat Lion Air Boeing JT610 pada tanggal 29 Oktober 2018 lalu.
"Dimana total dana sosial atau CSR sebesar Rp. 138.000.000.000," kata Ramadhan dalam keterangannya, Sabtu (9/7/2022).
Dijelaskan Ramadhan, dugaan penyimpangan itu terjadi era kepemimpinan mantan Presiden ACT Ahyudin dan Ibnu Khajar yang saat ini masih menjabat sebagai pengurus. Mereka diduga memakai sebagian dana CSR untuk kepentingan pribadi.
"Pengurus Yayasan ACT dalam hal ini Ahyudin selaku pendiri merangkap ketua, pengurus dan pembina serta saudara Ibnu Khajar selaku ketua pengurus melakukan dugaan penyimpangan sebagian dana social/CSR dari pihak Boeing tersebut untuk kepentingan pribadi masing-masing berupa pembayaran gaji dan fasilitas pribadi," jelas Ramadhan.
Baca juga: Kuasa Hukum Bantah Ahyudin Selewengkan Dana Korban Lion Air JT-610 dan Alirkan Dana ACT ke Al-Qaeda
Ramadhan menjelaskan bahwa kepentingan pribadi yang dimaksudkan memakai dana sosial untuk kepentingan pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina hingga staff di yayasan ACT.
"Pihak yayasan ACT tidak merealisasikan/menggunakan seluruh dana sosial/CSR yang diperoleh dari pihak Boeing, melainkan sebagian dana sosial/CSR tersebut dimanfaatkan untuk pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina, serta staff pada Yayasan ACT dan juga digunakan untuk mendukung fasilitas serta kegiatan/kepentingan pribadi Ketua Pengurus/presiden Ahyudin dan wakil Ketua Pengurus/vice presiden," beber Ramadhan.
Ia menjelaskan ACT tak pernah mengikutisertakan ahli waris dalam penyusunan rencana maupun pelaksanaan penggunaan dana sosial atau CSR yang disalurkan oleh Boeing.
"Pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) tidak memberitahu kepada pihak ahli waris terhadap besaran dana sosial/CSR yang mereka dapatkan dari pihak Boeing serta pengunaan dana sosial/CSR tersebut," pungkas Ramadhan.
Dalam kasus ini, polisi mendalami Pasal 372 jo 372 KUHP dan/atau Pasal 45A ayat (1) jo Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 5 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan/atau Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.