Hari Ini Dua Petinggi ACT Kembali Diperiksa untuk Keempat Kalinya, Bakal Jadi Tersangka?
Untuk keempat kalinya, dua petinggi Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin dan Ibnu Khajar kembali diperiksa penyidik Bareskrim.
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua petinggi Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin dan Ibnu Khajar kembali diperiksa keempat kalinya dalam dugaan penyelewengan dana sosial keluarga korban Lion Air JT-610 pada hari ini, Rabu (13/7/2022).
Pemeriksaan dua petinggi ACT tersebut dibenarkan oleh Kasubdit IV Dittipideksus Bareskrim Kombes Pol Andri Sudarmaji.
Kedua petinggi ACT juga telah menyatakan kesediaan untuk hadir pemeriksaan.
"Ahyudin jam 1, ibnu khajar jam 3 sudah confirm," kata Andri Sudarmaji saat dikonfirmasi, Rabu (13/7/2022).
Selain mereka, kata Andri, pihaknya juga bakal memeriksa bagian program ACT sebagai saksi.
Namun, dia belum memberikan konfirmasi bakal hadir pemeriksaan.
"Rencana ada dari bagian program ACT, tapi belum confirm," jelasnya.
Kendati demikian, Andri masih enggan apakah akan ada tersangka dalam kasus tersebut dalam waktu dekat. Apalagi, dua petinggi ACT itu telah diperiksa sebanyak 4 kali.
"Ditunggu sajalah," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, kasus dugaan penyelewengan dana di lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) mulai menemukan titik terang.
Satu di antaranya ACT diduga menyelewengkan dana sosial keluarga korban Lion Air JT-610.
Adapun kasus ini pun telah ditingkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan.
Namun begitu, belum ada pihak yang ditetapkan tersangka dalam kasus tersebut.
Diketahui, Lion Air JT-610 merupakan penerbangan pesawat dari Jakarta menuju Pangkal Minang.
Namun, pesawat tersebut jatuh di Tanjung Pakis, Karawang pada 29 Oktober 2018 lalu.
Baca juga: Eks Presiden ACT Ahyudin Respons Santai Kasus Penyelewengan Dana: Tidak Ada Komplain dari Boeing
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengungkapkan ACT mengelola dana sosial dari pihak Boeing untuk disalurkan kepada ahli waris para korban kecelakaan pesawat Lion Air Boeing JT610 pada tanggal 29 Oktober 2018 lalu.
"Dimana total dana sosial atau CSR sebesar Rp. 138.000.000.000," kata Ramadhan dalam keterangannya, Sabtu (9/7/2022).
Dijelaskan Ramadhan, dugaan penyimpangan itu terjadi era kepemimpinan mantan Presiden ACT Ahyudin dan Ibnu Khajar yang saat ini masih menjabat sebagai pengurus.
Mereka diduga memakai sebagian dana CSR untuk kepentingan pribadi.
"Pengurus Yayasan ACT dalam hal ini Ahyudin selaku pendiri merangkap ketua, pengurus dan pembina serta saudara Ibnu Khajar selaku ketua pengurus melakukan dugaan penyimpangan sebagian dana social/CSR dari pihak Boeing tersebut untuk kepentingan pribadi masing-masing berupa pembayaran gaji dan fasilitas pribadi," jelas Ramadhan.
Ramadhan menjelaskan bahwa kepentingan pribadi yang dimaksudkan memakai dana sosial untuk kepentingan pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina hingga staff di yayasan ACT.
"Pihak yayasan ACT tidak merealisasikan/menggunakan seluruh dana sosial/CSR yang diperoleh dari pihak Boeing, melainkan sebagian dana sosial/CSR tersebut dimanfaatkan untuk pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina, serta staff pada Yayasan ACT dan juga digunakan untuk mendukung fasilitas serta kegiatan/kepentingan pribadi Ketua Pengurus/presiden Ahyudin dan wakil Ketua Pengurus/vice presiden," beber Ramadhan.
Baca juga: Dicecar Soal Legalitas & Struktur ACT, Ibnu Khajar Baru Selesai Diperiksa Bareskrim Selasa Dini Hari
Ia menjelaskan ACT tak pernah mengikutisertakan ahli waris dalam penyusunan rencana maupun pelaksanaan penggunaan dana sosial atau CSR yang disalurkan oleh Boeing.
"Pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) tidak memberitahu kepada pihak ahli waris terhadap besaran dana sosial/CSR yang mereka dapatkan dari pihak Boeing serta pengunaan dana sosial/CSR tersebut," pungkas Ramadhan.
Dalam kasus ini, polisi mendalami Pasal 372 jo 372 KUHP dan/atau Pasal 45A ayat (1) jo Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 5 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan/atau Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.