Pengamat Minta Publik Waspadai Tsunami Informasi Media Sosial di Kasus Brigadir J
Pengamat sosial menilai informasi di media sosial bergerak bagaikan tsunami dalam kasus Brigadir J. Publik harus mewaspadai hal itu.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
“Tetapi sering juga kita temui informasi yang tidak bermanfaat, bahkan opini tidak berimbang. Gulungan informasi viral menjadi alat untuk menjustifikasi sebuah pembenaran yang terus disebarkan, dan justru mengaburkan kebenaran,” katanya.
Baca juga: Rekam Jejak Bharada E yang Disebut Sebagai Penembak Brigadir J, Keberadaannya Ditanyakan Komnas HAM
Pada hakikatnya, lanjutnya, media sosial menciptakan ruang tanpa tuan dan tanpa batas, yang memungkinkan setiap pengguna beraksi bebas kadang hingga kebablasan.
Apalagi, praktik anonimitas yang memungkinkan pengguna bersembunyi dalam identitas yang berbeda, memampukan pengguna untuk menjustifikasi informasi sesuai keinginannya.
“Dari beberapa kasus viral di media sosial, tak jarang tuduhan-tuduhan yang berujung kesalahan. Jari-jari netizen yang pada awal kasus viral pun tidak terkena pertanggungjawaban,” katanya.
Di universe digital, Devie mengatakan watak manusia Indonesia yang dulu ramah bahkan berubah menjadi marah dan dikenal sebagai masyarakat yang berang, bukan yang tenang.
Dimana, watak baru manusia Indonesia di ruang digital ini sering kemudian bertemu dengan fenomena cancel culture.
“Sehingga, aksi pemboikotan berbasis praduga tanpa data ini berujung menjadikan cancel culture sebagai cancer culture dalam masyarakat, yang bisa membunuh hidup dan penghidupan seseorang. Cancel culture adalah fenomena menafikan atau mengasingkan sosok, kelompok, atau produk tertentu,” pungkasnya. (*)