Ketua Badan Anggaran DPR RI Beberkan Estimasi Desain APBN 2023
Dalam anggaran belanja harus memperbesar alokasi belanja subsidi dan kompensasi energi yakni BBM, LPG dan listrik
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Belum usai persoalan pandemi covid-19, awal tahun 2022 kita dihadapkan pada perang di Ukraina antara Rusia dan Ukraina. Sontak saja, perang tersebut menyebabkan supply shock bahan pangan dan energi.
Dampaknya, inflasi mebumbung tinggi yang menjalar di banyak kawasan.
Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah mengatakan situasi ini tentu ada untung ruginya buat ekonomi Indonesia.
"Efek kenaikan harga komoditas global di Kuartal IV tahun 2021 berdampak penerimaan perpajakan kita melampaui target, setelah dua belas tahun berturut turut kita mengalami short fall pajak," ujar Said Abdullah di Jakarta, Selasa (2/8/2022).
Naiknya harga komoditas juga menjaga surplus perdagangan sejak Mei 2020.
Baca juga: Said Abdullah Sampaikan 6 Poin Penting Sikapi Kasus Kematian Brigadir J dan Penonaktifan Ferdy Sambo
Namun di lain hal, menurut Said, kita harus memperbesar alokasi belanja subsidi dan kompensasi energi yakni BBM, LPG dan listrik.
"Membengkaknya alokasi subsidi dan kompensasi energi ini dikarenakan kita telah lama menjadi importir minyak bumi," katanya.
Menurut dia, biaya tambahan juga kita butuhkan untuk menjaga daya beli, khususnya rumah tangga miskin terhadap kenaikan inflasi yang mulai kita rasakan disejumlah bahan pangan impor.
Dia mengatakan bila pada sejumlah serial meeting tingkat Menteri G20 dan puncaknya pada KTT G20 pada November 2022 nanti tidak membuahkan hasil nyata untuk mengatasi supply shock pangan dan energi dunia, maka pada tahun depan kita masih akan menghadapi situasi ekonomi yang kurang lebih sama seperti tahun ini.
"Bila KTT G20 bisa menganulir berbagai pelarangan produk pangan dan energi Rusia ke pasar global, langkah itu akan membuka pasokan logistik global pulih secara perlahan," ujarnya.
Pada tahun 2023, Indonesia perlu mewaspadai kesiapan fiskal mengingat tahun depan harus kembali pada defisit pembiayaan APBN dibawah 3 persen PDB.
"Kita tidak bisa lagi membuka pembiayaan utang seperti tiga tahun terakhir untuk melebarkan ruang fiskal," ujarnya.
Oleh sebab itu, menurut Said, senjata utama pemerintah agar memiliki dompet lebih tebal yakni dengan menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi, menjaga surplus perdagangan yang di topang dari ekspor baru dan manufaktur, penerimaan perpajakan yang baik, dan inflasi yang terkendali, serta meningkatkan investasi, khususnya pada sektor primer.
"Pertumbuhan ekonomi optimis bisa kita raih ke level lima persenan jika kita mampu mengelola inflasi dengan baik. Dengan inflasi terkendali dengan baik, maka permintaan domestik (konsumsi rumah tangga) sebagai pilar penting pertumbuhan ekonomi kita selama ini akan terjaga," katanya.
Baca juga: Ekonom Ingatkan Pemerintah Waspada Laju Inflasi Dalam Negeri di Tengah Berbagai Tantangan Eksternal
"Kita masih peluang besar seiring masih relative tingginya harga komoditas ekspor," ujar dia.
Oleh sebab itu porsi ekspor dalam mendorong permintaan perlu terus ditingkatkan, agar tidak semata mata mengandalkan permintaan domestik.
"Inilah saatnya kita melakukan transformasi ekonomi untuk lebih outward looking," katanya.
Said mengatakan kita tidak boleh mengandalkan ekspor hanya bertumpu pada komoditas. Program hilirisasi harus mulai tampak kontribusinya pada produk ekspor baru.
Selama rentang 2014-2019 kita hanya menghasilkan 17 produk ekspor baru, sementara Vietnam 48, Thailand 30, dan Malaysia 30 produk ekspor baru.
"Dari sisi investasi kita perlu lebih giat mendorong investasi pada mesin mesin dan peralatan serta hak kekayaan intelektual. Pengeluaran untuk barang modal atau PMTB kita selama ini lebih dari 70 persen di dominasi oleh bangunan, kontribusi mesin, peralatan dan hak kekayaan intelektual masih rendah," ujarnya.
Menurut Said, karena konsentrasi investasi masih pada sektor bangunan, akibatnya daya dukung produksi barang belum memadai, ditambah sumber daya manusia yang belum mempuni, dan tingginya biaya logistik, hal ini menjawab persoalan mengenai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) kita masih tinggi di level 6,24 pada tahun lalu.
Lebih dari 30 persen belanja negara tertransfer ke daerah dan desa. DPR telah memberikan dukungan kepada pemerintah pusat dan daerah melalui Undang Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD).
"Melalui undang-undang ini pemda diberikan kewenangan fiskal yang lebih besar, seiring dengan kewajiban untuk efisiensi belanja rutinnya.
Dengan menjalankan undang undang ini dengan baik, kontribusi pembangunan didaerah akan jauh lebih besar effortnya. Sehingga tumpuan pembangunan tidak hanya mengandalkan belanja pusat," paparnya.
Baca juga: Akademisi: RI Perlu Genjot Ekspor Sawit untuk Dorong Kesejahteraan Petani Swadaya
Jika kita mampu disiplin dalam mengelola target, serta cepat melakukan mitigasi atas berbagai dinamika sosial, ekonomi, politik dan keamanan, serta berkaca dari kemampuan kita cepat melakukan recovery ditahun 2021, maka selaku Ketua Banggar DPR Said Abdullah memperkirakan postur APBN kita pada tahun 2023 antara lain:
1. Asumsi ekonomi makro; (1) Pertumbuhan ekonomi 5,2-5,5 persen, (2) Inflasi ±4%, (3) Kurs (Rp/USD) 14.400-14.700, (4) Suku Bunga SUN 10 tahun 7,3 – 9%, (5) Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP); 90-100 USD/barel, (6) Lifting Minyak Bumi 650-680 ribu barel/hari (7) Lifting Gas Bumi 1.040-1.150. setara minyak, ribu barel/hari
2.Target Indikator Kesejahteraan: (1) Tingkat kemiskinan 7,5-8,5%, (2) Tingkat Pengangguran Terbuka 5,3 – 6%, (3) Rasio Gini 0,375-0,378, (4) Indeks Pembangunan Manusia 73,3-73,4, (5) Nilai Tukar Petani 105-107, (6) Nilai Tukar Nelayan 107-108.
3. Pendapatan Negara berkisar Rp. 2.296,64 – 2.507,8 triliun, yang terdiri dari penerimaan (1) Penerimaan Perpajakan berkisar Rp. 1.936,14 – 2.050,58 triliun, (2) Penerimaan Negara Bukan Pajak Rp. 385,5 – 455,22 triliun, (3) Penerimaan Hibah Rp. 2 triliun.
4. Belanja Negara berkisar Rp. 2.829,8 – 3.116,88 triliun yang terdiri dari; (1) Belanja Pusat Rp.2.019,9 – 2.276,6 triliun, (2) Transfer ke Daerah dan Desa Rp. 809,9 – 840,73 triliun
5. Defisit berkisar; (2,85% PDB)
6. Pembiayaan:
a. SBN Netto : Rp. 600,8- 902,2 triliun
b. Investasi Netto : Rp. 65,6 – 205,0 triliun
c. Rasio Utang terhadap PDB: 40,58-42,35 % PDB