Soal Gugatan UU Pemilu, Formappi: Menteri Wajib Mundur jika Maju Capres
UU Pemilu sudah dengan jelas membuat pengaturan soal klasifikasi pejabat negara yang harus mengundurkan diri jika menjadi calon peserta pemilu.
Penulis: Reza Deni
Editor: Wahyu Aji
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus angkat bicara terkait gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang dilayangkan Partai Garuda, yakni menguji Pasal 170 ayat (1) terkait frasa "pejabat negara".
Dia menerangkan, UU Pemilu sudah dengan jelas membuat pengaturan soal klasifikasi pejabat negara yang harus mengundurkan diri jika menjadi calon peserta pemilu.
Umumnya pejabat yang diharuskan mengundurkan diri adalah pejabat negara yang ditunjuk atau tidak dipilih langsung oleh rakyat.
“Karena tidak dipilih langsung oleh rakyat, maka jabatan mereka memang harus diputuskan jika mereka memilih untuk bertarung di gelanggang Pemilu,” kata Lucius kepada wartawan, Selasa (2/8/2022).
Lucius mengatakan, idealnya memang semua pejabat negara harus mengundurkan diri jika mengikuti Pemilu demi keadilan bagi semua peserta pemilu.
Akan tetapi, jabatan tertentu seperti Presiden dan Wakil Presiden tak bisa begitu saja dilepas seketika.
“Ada konsekuensi-konskuensi ketatanegaraan yang membuatnya tak bisa diatur mengundurkan diri karena menjadi peserta pemilu. Beda dengan menteri kabinet yang kursinya menjadi hak prerogatif presiden. Mereka bisa diganti setiap waktu,” terangnya.
Maka, untuk kepentingan pemilu, dia menegaskan, menteri memang harus mundur jika menjadi kandidat presiden/wapres, karena hirarki kementeriannya sangat mungkin disalahgunakan untuk kepentingan pemenangan pemilu.
Lucius menduga, ada kepentingan yang tengah diperjuangkan oleh Partai Garuda. Sebab, partai yang belum lolos parlemen tersebut tidak memiliki kader sebagai menteri di Kabinet Indonesia Maju.
“Walau Partai Garuda merupakan partai baru, tetapi siapa tahu ada relasi dengan salah satu atau dua menteri di istana,” tutupnya.
Untuk diketahui, Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu tersebut berbunyi; "Pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota."
Baca juga: Hari Pertama Pendaftaran Peserta Pemilu 2024: 9 Partai Politik Daftar, 6 Dinyatakan Berkas Lengkap
Penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, "Yang dimaksud dengan "pejabat negara" dalam ketentuan ini adalah: a. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung; b. Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua badan peradilan kecuali Hakim ad hoc; c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Mahkamah Konstitusi; d. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan; e. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi Yudisial; f. Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; g. Menteri dan pejabat setingkat Menteri; h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia diluar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkauasa penuh; dan i. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang."
Kuasa hukum Partai Garuda, Munathsir Mustaman, mengatakan, untuk pemberdayaan partai politik (parpol) pada era reformasi dan sesuai keinginan para penyusun perubahan terhadap UUD 1945, salah satu sarana demokrasi dalam pemilu presiden ditentukan melalui parpol.
Hal itu sebagaimana ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan; “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
“Melalui partai politik, rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan dan masa depannya dalam bermasyarakat dan bernegara. Parpol dapat mengambil peran penting dalam memberikan kebebasan, kesetaraan, kebersamaan sebagai upaya untuk membentuk bangsa dan negara yang padu,” ujarnya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara nomor 68/PUU-XX/2022 pada Kamis (7/7/2022) lalu.
Munathsir menyampaikan, dalil para pemohon bahwa menteri adalah pejabat negara yang tidak dikecualikan untuk mengundurkan diri dalam jabatannya apabila dicalonkan sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden.
Menteri yang saat ini tengah menjabat dalam Kabinet Indonesia Maju, juga pemohon yang mengusung menteri untuk menjadi calon presiden atau wakil presiden, potensial mengalami kerugian konstitusional menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Berbeda halnya dengan gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, wali kota atau wakil wali kota, apabila dicalonkan sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden hanya memerlukan izin kepada presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 171 ayat (1) UU Pemilu.
"Perlakuan berbeda antara menteri dengan dengan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota apabila dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden oleh Pemohon, juga telah mencederai dan menimbulkan ketidakadilan bagi Pemohon, sebagaimana yang dijamin dan dilindungi berdasarkan ketentuan Pasal 22E Undang‑Undang Dasar Tahun 1945," kata Munathsir.