Kontras, ICW, dan Perludem Minta Mendagri Tito Karnavian Jalankan Tindakan Korektif Ombudsman
Kontras, ICW, dan Perludem minta Mendagri Tito Karnavian tindaklanjuti tindakan korektif Ombudsman RI.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
![Kontras, ICW, dan Perludem Minta Mendagri Tito Karnavian Jalankan Tindakan Korektif Ombudsman](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/menteri-dalam-negeri-mendagri-muhammad-tito-karnavian1.jpg)
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengecam pembangkangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang mengabaikan serta tidak menindaklanjuti tindakan korektif yang telah diberikan Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
Sebelumnya pada 19 Juli 2022, ORI berdasarkan laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) atas laporan dugaan maladministrasi dengan Nomor Registrasi: 0583/LM/VI/2022/JKT yang dilaporkan KontraS, ICW, dan Perludem, menyatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia telah terbukti melakukan maladministrasi dalam prosedur pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah dan mengabaikan kewajiban hukum atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan hal tersebut, Ombudsman memberikan tiga tindakan korektif kepada Mendagri Tito.
Pertama, menindaklanjuti surat pengaduan dan substansi keberatan pihak pelapor.
Kedua, meninjau kembali pengangkatan Pj kepala daerah dari unsur TNI aktif.
Baca juga: Mendagri Telah Surati DPRD DKI soal Nama-nama Pj Gubernur Pengganti Anies
Ketiga, menyiapkan naskah usulan pembentukan peraturan pemerintah (PP) terkait proses pengangkatan, lingkup kewenangan, evaluasi kinerja hingga pemberhentian Penjabat Kepala Daerah.
Mendagri Tito diberi tenggat dalam kurun waktu 30 hari untuk melaksanakan tindakan korektif tersebut.
"Namun hingga hari ini, Mendagri tidak melaksanakan rekomendasi sementara Ombudsman dalam LAHP dan tidak menunjukan itikad baik hingga habisnya tenggat waktu tersebut. Padahal, tindakan korektif yang dikeluarkan ORI penting untuk mendorong proses perbaikan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, bersih, dan terbuka sesuai dengan prinsip Good Governance and Smart Government," kata Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti dalam keterangan tertulis, Jumat (2/9/2022).
Baca juga: Komisi II DPR Gelar Raker Bersama Mendagri Bahas Persiapan Pemilu 2024 di DOB Papua
Selain itu, Fatia mengingatkan bahwa pemberian tindakan korektif ORI bersifat mengikat secara hukum dan wajib dijalankan dalam rentang waktu 30 hari berdasarkan Pasal 16 Peraturan ORI Nomor 38 Tahun 2019 tentang Tata Cara Investigasi atas Prakarsa Sendiri.
Sehingga, tidak taatnya Mendagri atas hal tersebut menunjukan bahwa Mendagri melakukan pembangkangan, tidak memahami peraturan perundang-undangan, etika antar lembaga negara, dan mencerminkan sikap penyelenggara negara yang amat tidak patut.
Terlebih, kedudukan Menteri Dalam Negeri, secara eksplisit disebut dalam nomenklatur Undang-Undang Dasar 1945 dan memiliki peranan vital dalam penyelenggaraan negara.
![Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti saat penyampaian catatan Hari HAM Internasional 2021 di Kantor KontraS, Kwitang, Jakarta Pusat, Jumat (10/12/2021).](https://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/fatia-maulidiyanti.jpg)
Tak hanya itu, dalam Pasal 8 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menegaskan bahwa kementerian yang membidangi urusan dalam negeri sebagaimana disebut dalam Pasal 5 ayat (1) menyelenggarakan fungsi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakannya di bidangnya.
"Dalam konteks ini, telah terjadi kekosongan hukum mengenai peraturan pengangkatan hingga pemberhentian Penjabat Kepala Daerah yang merupakan urusan pemerintahan yang fungsinya berada di bawah kewenangan Kementerian Dalam Negeri. Sehingga tidak ada alasan apapun bagi Mendagri selain melaksanakan tindakan korektif ORI," kata Fatia.
Baca juga: Tak Nampak di Istana Merdeka, Mendagri Tito Pimpin Upacara HUT RI ke-77 di Pulau Rote
Berdasarkan catatan KontraS, ICW, dan Perludem pada periode Mei-Juli 2022 setidaknya terdapat delapan penunjukan sementara Pj kepala daerah yang dilakukan Mendagri mulai dari Gubernur hingga Bupati/Wali Kota yang habis masa jabatannya.
Salah satunya adalah perwira tinggi aktif dari unsur Tentara Nasional Indonesia (TNI).
"Hal itu tentunya sangat kontraproduktif dengan semangat reformasi untuk memisahkan ABRI dari urusan sipil," kata Fatia.
Di sisi lain, seluruh rangkaian proses penunjukan yang dilakukan oleh Mendagri tersebut dilakukan tanpa dasar aturan pelaksana yang telah diperintahkan oleh MK, sehingga menyebabkan minimnya akuntabilitas serta sarat akan potensi konflik kepentingan.
Tak cukup sampai di situ, lanjut Fatia, minimnya pelibatan masyarakat dalam prosesnya merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap Hak Atas Partisipasi masyarakat yang dijamin Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
"Secara tegas Pasal 86 ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sudah menyebutkan bahwa pengaturan teknis berkaitan dengan Penjabat kepala daerah harus diatur menggunakan Peraturan Pemerintah," jelas Fatia.
Alih-alih dijalankan, menurut Fatia, Kemendagri justru bersikukuh untuk menolak mandat peraturan perundang-undangan tersebut dengan menggunakan payung hukum berupa Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Pihak Kementerian Dalam Negeri kerap menyatakan bahwa seluruh proses penunjukkan Penjabat Kepala Daerah diselenggarakan secara transparan.
"Namun demikian, hingga saat ini, surat permohonan informasi publik yang dilayangkan oleh KontraS dan ICW kepada Kementerian Dalam Negeri terkait salah satunya dokumen berisikan pertimbangan-pertimbangan dalam memilih Penjabat Kepala Daerah belum juga mendapatkan jawaban," katanya.
"Ini tentu memperlihatkan adanya suatu hal yang disembunyikan oleh pemerintah," imbuh Fatia.
Mengingat banyaknya gubernur, bupati, wali kota yang masa jabatannya akan segera habis di berbagai wilayah di Indonesia, dikatakan Fatia, kekosongan hukum yang padu padan dengan akibat potensi terlanggarnya hak asasi warga negara sudah seharusnya tidak dipandang sebelah mata oleh Mendagri.
Atas hal tersebut sebagaimana telah dijabarkan di atas, KontraS, ICW, dan Perludem mendesak:
Pertama, pemerintah untuk segera menyiapkan Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksana dalam pengangkatan Penjabat Kepala Daerah.
Hal ini menjadi penting sebagai bagian dari mandat Mahkamah Konstitusi dan Rekomendasi Ombudsman RI.
Kedua, Pemerintah dalam hal ini Presiden menegur, bahkan tidak menutup kemungkinan mencopot Menteri Dalam Negeri karena tidak patuh terhadap peraturan perundang-undangan dan mengabaikan kesempatan untuk memperbaiki tata kelola penunjukan Penjabat Kepala Daerah sebagaimana disampaikan Ombudsman RI.
Ketiga, Mendagri untuk melakukan evaluasi penempatan anggota TNI-Polri aktif sebagai Penjabat Kepala Daerah. Langkah ini selain bertentangan dengan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, juga hanya akan membangkitkan hantu dwi fungsi TNI-Polri sebagaimana terjadi pada era Orde Baru.