Eks KSAU Bantah Tak Kooperatif, KPK: Silakan Jelaskan di Hadapan Penyidik
KPK mempersilakan Agus Supriatna untuk menyampaikan hal tersebut di hadapan tim penyidik, jika merasa pemanggilan terhadap dirinya dirasa kurang tepat
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons pernyataan kuasa hukum Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Agus Supriatna, Pahrozi, yang menyebut kliennya tidak kooperatif.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mempersilakan Agus Supriatna untuk menyampaikan hal tersebut di hadapan tim penyidik, jika merasa pemanggilan terhadap dirinya dirasa kurang tepat.
"Silahkan nanti jelaskan di hadapan tim penyidik jika merasa tidak dapat diperiksa atau tidak sesuai ketentuan UU," kata Ali dalam keterangan tertulis, Senin (12/9/2022).
Agus Supriatna sebelumnya dipanggil KPK pada Kamis (8/9/2022) untuk bersaksi dalam penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut AgustaWestland (AW) 101 di TNI Angkatan Udara tahun 2016-2017. Namun, Agus memilih tidak datang ke KPK.
Ali mengatakan, tim penyidik akan segera mengirimkan surat panggilan kedua kepada Agus Supriatna.
"Kami berharap saksi kooperatif hadir memenuhi panggilan KPK sebagai bentuk ketaatan pada hukum. Kami segera kirimkan surat panggilan kedua untuk saksi dimaksud," katanya.
Sebelumnya, Pahrozi selaku kuasa hukum Agus Supriatna menyebut surat panggilan KPK itu bertentangan dengan hukum.
Ia menyebut Agus Supriatna tidak semestinya hadir dalam panggilan tersebut.
"Jawaban kami singkat saja. Tidak benar klien kami tidak koperatif. Yang benar surat panggilan KPK terhadap saksi dimaksud bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, sehingga klien kami tidak dapat memenuhi panggilan tersebut," kata Pahrozi, Senin (12/9/2022).
Dia juga menjelaskan bahwa saat hari pemanggilan Agus Supriatna, yakni Kamis (8/9/2022), pihaknya telah bersurat ke KPK.
Baca juga: KPK Imbau Eks KSAU Agus Supriatna Kooperatif di Kasus Korupsi Helikopter AW-101
Bahkan, dia mengaku telah berkomunikasi dengan Kasatgas yang menangani perkara AW-101.
"Selanjutnya, Tidak koperatif itu tidak benar, karena pada hari pemanggilan kami sudah bersurat kepada KPK dan komunikasi dengan Kasatgas perkara ini," ujarnya.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan tersangka Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway.
KPK resmi menahan Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway pada 24 Mei 2022.
Sebelumnya, ia sempat mengajukan praperadilan, namun ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Irfan adalah Direktur PT Diratama Jaya Mandiri sekaligus pengendali PT Karsa Cipta Gemilang.
Kasus ini bermula pada Mei 2015 ketika Irfan dan pegawai perusahaan AgustaWestland Lorenzo Pariani bertemu Mohammad Syafei yang saat itu menjabat Asisten Perencanaan dan Anggaran TNI AU di wilayah Cilangkap, Jakarta Timur.
Pertemuan itu membahas akan dilaksanakannya pengadaan helikopter AW-101 VIP atau VVIP TNI AU.
Irfan selaku agen AW diduga memberikan proposal harga pada Syafei dengan mematok harga satu unit heli 56,4 juta dolar AS.
Sementara antara Irfan dengan pihak AW, harga yang disepakati adalah 39,3 juta dolar AS atau Rp514 miliar.
Pada November 2015, panitia pengadaan helikopter AW 101 VIP mengundang Irfan dalam tahap prakualifikasi dengan menunjuk langsung PT Diratama Jaya Mandiri sebagai pemenang proyek.
Namun, hal ini tertunda karena adanya arahan pemerintah menunda pengadaan helikopter.
Ketua KPK Firli Bahuri saat konferensi pers penahanan mengatakan rencana pengadaan ini berlanjut pada 2016 dengan nilai kontrak Rp738,9 miliar dan metode lelang yang hanya diikuti dua perusahaan.
“Dalam tahapan lelang ini, panitia lelang diduga tetap melibatkan dan mempercayakan IKS dalam menghitung nilai Harga Perkiraan Sendiri kontrak pekerjaan,” kata Firli.
Harga penawaran yang diajukan Irfan masih sama dengan harga penawaran di tahun 2015 senilai 56,4 juta dolar AS dan disetujui oleh PPK.
KPK menduga Irfan aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan PPK Fachri Adamy.
Proses lelang ini diduga diakali sehingga hanya perusahaan Irfan yang akan menang.
KPK menduga Irfan sudah mendapatkan bayaran 100 persen.
Ada beberapa item pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi, seperti tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda.
Akibat perbuatannya, KPK menengarai Irfan merugikan negara sejumlah Rp224 miliar.
Saat digelandang ke mobil tahanan, Irfan irit bicara.
“Saya masih lama di sini, nanti saja bertanyanya,” kata dia.