Aturan Pengibaran Bendera Setengah Tiang 30 September, Ini Sejarah Pemberontakan G30S
Penjelasan mengenai aturan pengibaran bendera setengah tiang pada 30 September di Indonesia untuk peringatan peristiwa G30S.
Penulis: Lanny Latifah
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Simak inilah aturan pengibaran bendera setengah tiang pada 30 September di Indonesia.
Diketahui, pengibaran bendera setengah tiang biasanya dilakukan sebagai tanda berkabung.
Setiap tanggal 30 September, pengibaran bendera setengah tiang dilakukan untuk peringatan peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S.
Adapun untuk aturan pengibaran bendera setengah tiang terdapat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Dalam Pasal 12 ayat (4) dijelaskan bahwa Bendera Negara digunakan sebagai tanda berkabung sebagaimana dimaksud apabila Presiden atau Wakil Presiden, mantan Presiden atau mantan Wakil Presiden, pimpinan atau anggota lembaga negara, menteri atau pejabat setingkat menteri, kepala daerah, dan/atau pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah meninggal dunia.
Baca juga: Profil 10 Pahlawan Revolusi yang Menjadi Korban Peristiwa G30S
Selanjutnya, pada Pasal 12 ayat (7):
"Apabila pimpinan lembaga negara dan menteri atau pejabat setingkat menteri sebagaimana dimaksud meninggal dunia, pengibaran Bendera Negara setengah tiang dilakukan selama dua hari berturut-turut terbatas pada gedung atau kantor pejabat negara yang bersangkutan."
Lebih lanjut, Pasal 14 ayat (2) menjelaskan mengenai pengibaran bendera setengah tiang yakni:
"Bendera Negara yang dikibarkan setengah tiang, dinaikkan hingga ke ujung tiang, dihentikan sebentar dan diturunkan tepat setengah tiang."
Kemudian pada Pasal 14 ayat (3) dijelaskan mengenai aturan menurunkan bendera, sebagai berikut:
"Dalam hal Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hendak diturunkan, dinaikkan terlebih dahulu hingga ujung tiang, dihentikan sebentar, kemudian diturunkan."
Sejarah Peristiwa Pemberontakan 30 September 1965 atau G30S
Dikutip dari kemdikbud.go.id, Peristiwa Gerakan 30 September 1965 adalah tragedi nasional yang diduga dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menimbulkan korban dikalangan petinggi militer.
Latar belakang terjadinya peristiwa ini adalah karena adanya persaingan politik.
PKI sebagai kekuatan politik merasa khawatir dengan kondsi kesehatan Presiden Soekarno yang memburuk.
Berbagai kebijakan yang diusulkan PKI diterima dan diterapkan, seperti berikut:
- Mempersenjatakan Angkatan V (Buruh Tani) untuk menghadapi konfrontasi dengan Malaysia;
- Pembubaran Masyumi karena dianggap bertanggung jawab atas peristiwa PRRI/Persemesta.
Baca juga: Tujuan G30S 1965, Upaya Kudeta dan Gugurnya 10 Pahlawan Revolusi di Jakarta dan Yogyakarta
Pada awal Agustus 1965, ketika Presiden Soekarno tiba-tiba pingsan setelah berpidato, banyak pihak yang beranggapan bahwa usia beliau tidak akan lama lagi.
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, siapa pengganti Presiden Soekarno nantinya?
Pertanyaan tersebut yang menyebabkan persaingan semakin tajam antara PKI dengan TNI.
Peristiwa gerakan 30 September 1965, pada dasarnya berlangsung selama dua hari.
Hari pertama tanggal 30 September berupa kegiatan kordinasi dan persiapan, kemudian tanggal 1 Oktober 1965 dinihari kegiatan pelaksanaan penculikkan dan pembunuhan.
Kronologi terjadinya pemberontakan:
1. Gerakan 30 September 1965 berada dibawah kendali Letkol. Untung dari Komando Balation I resimen Cakrabirawa.
2. Letkol Untung menunjuk Lettu Dul Arief menjadi ketua pelaksanaan penculikkan.
3. Pasukan bergerak mulai pukul 03.00, enam Jendral menjadi korban penculikkan dan pembunuhan yakni Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. R. Soeprapto, Mayjen. Harjono, Mayjen. S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan dan Brigjen Sutoyo dan satu perwira yakni Lettu Pirre Tandean. Keseluruhannya dimasukan kedalam lubang dikasawan Pondok Gede, Jakarta.
4. Satu Jenderal selamat dalam penculikkan ini yakni Jendral A.H. Nasution, namun putrinya menjadi korban yakni Ade Irma Suryani serta ajudannya Lettu. Pierre Tandean.
5. Korban lain ialah, Brigadir Polisi K.S. Tubun wafat ketika mengawal rumah Dr. J. Leimana.
6. Gerakan ini menyebar juga di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta, Kolonel Katamso dan Letkol. Sugiono menjadi korban karena tidak mendukung gerakan ini.
7. Setelah berhasil menculik dan membunuh petinggi AD, PKI menguasai gedung Radio Republik Indonesia. Dan mengumumkan sebuah Dekrit yang diberi nama Dekrit no.1, yakni pernyataan bahwa gerakan G30S adalah upaya penyelematan negara dari Dewan Jendral yang ingin mengambil alih negara.
Penumpasan Pemberontakan
Gerakan 30 September 1965 menyebabkan kebingungan terhadap masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta.
Pada saat itu, kebingungan yang dirasa masyarakat Indonesia langsung direspon oleh pemerintah.
Setelah menerima laporan serta membuat perkiraan, Mayjen Soeharto sebagai Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) mengambil kesimpulan bahwa para perwira tinggi itu telah diculik dan dibunuh.
Mayjen Soeharto langsung mengambil alih pimpinan Angkatan Darat guna menindak-lanjuti persitiwa yang terjadi di tanggal 30 September tersebut.
Langkah penumpasan dimulai pada tanggal 1 Oktober 1965, TNI berusaha menetralisasi pasukan-pasukan yang menduduki Lapangan Merdeka.
Selanjutnya, Mayjen Soeharto menugaskan kepada Kolonel Sarwo Edhi Wibowo untuk merebut kembali gedung RRI dan Pusat Telekomunikasi, tugas tersebut selesai dalam waktu singkat dan tanpa pertumpahan darah.
Dengan dikuasainya RRI dan Telekomunikasi, pada jam 20.00 WIB Soeharto mengumumkan bahwa telah terjadi perebutan kekuasaan oleh gerakan 30 September.
Soeharto juga mengumumkan bahwa Presiden Soekarno dan Menko Hankam/KASAB Jenderal A.H. Nasution dalam keadaan selamat.
Operasi penumpasan berlanjut ke kawasan Halim Perdanakusuma pada 2 Oktober 1965, tempat pasukan G30S mengundurkan diri dari kawasan Monas Kawasan.
Pada tanggal yang sama, atas petunjuk Polisi Sukitman yang berhasil lolos dari penculikan PKI, pasukan pemerintah menemukan lokasi Jenazah para perwira.
Lokasi Jenazah tersebut berada di lubang sumur tua, diatasnya ditanami pohon pisang di kawasan yang dekat juga dengan Halim yakni Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Pada tanggal 4 Oktober dilakukan pengangkatan Jenazah dan keesokan harinya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.
Para perwira yang gugur akibat pemberontakan ini diberi penghargaan sebagai Pahlawan Revolusi.
Upaya penumpasan terus dilakukan, rakyat Indonesia turut membantu dan mendukung penumpasan tersebut.
Demonstrasi anti-PKI pun berlangsung di Jakarta.
Operasi penumpasan berlanjut dengan menangkap orang-orang yang dianggap bertanggung jawab pada peristiwa itu.
Pada 9 Oktober 1965, Kolonel A. Latief berhasil ditangkap di Jakarta.
Kemudian, pada 11 Oktober 1965, Letkol Untung pemimpin dewan revolusi berhasil ditangkap di Tegal ketika ingin melarikan diri ke Jawa Tengah.
Selain itu para petinggi PKI seperti D.N Aidit, Sudisman, Sjam dll juga ditangkap oleh TNI pada 22 November 1965.
Selanjutnya pada 14 Februari 1966 beberapa tokoh PKI dibawa kehadapan sidang Mahkamah Luar Biasa (Mahmilub).
Rakyat menuntut agar PKI dibubarkan.
Puncaknya pada saat Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966, Soeharto langsung mengeluarkan larangan terhadap PKI dan ormas-ormas dibawahnya.
(Tribunnews.com/Latifah)