Komunitas Pasien Cuci Darah Dorong Transformasi Kesehatan di Indonesia
Ada tiga transformasi kesehatan yang diharapkan komunitas pasien cuci darah, yakni layanan rujukan, pembiayaan, dan teknologi kesehatan.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Tony Samosir mengapresiasi sistem transformasi kesehatan di Indonesia.
Ia berharap ke depan pelayanan dan keselamatan untuk pasien akan makin baik di Indonesia.
Tony Samosir mengemukakan pandangannya dalam diskusi publik World Patient Safety Day 2022 bertajuk “Dampak Kebijakan Kelas Standart BPJS Kesehatan terhadap Pelayanan Pasien Gagal Ginjal”, di Jakarta, Rabu (28/09/2022).
Tony Samosir yang juga pasien ginjal kronik dan transplantasi ginjal menyebutkan tiga transformasi kesehatan di Indonesia.
Pertama, transformasi layanan rujukan.
Baca juga: KPCDI dan Klikdialisis Teken MoU, Pasien Cuci Darah Bisa Dapat Akses Lebih Seputar Layanan Dialisis
Menurutnya, sistem rujukan untuk pasien ginjal dengan modalitas hemodialisis yang dapat diimplementasikan untuk pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan transplantasi ginjal.
Kedua, transformasi pembiayaan kesehatan.
Tony menegaskan pentingnya sistem pembiayaan yang adil dan meniadakan kesenjangan biaya dan alokasi biaya pada masing-masing komponen yang dibutuhkan dalam penyakit ginjal kronik.
Ketiga, transformasi teknologi kesehatan.
Tony bilang perlunya pengembangan dan pemanfaatan teknologi kesehatan dalam menjembatani akses ketersediaan informasi kesehatan ginjal dan layanan dialisis untuk pelayanan dan keselamatan untuk pasien.
“Beberapa pasien yang kami temukan, ada pelayanan kesehatan malah lebih suka menutup akses vaskular (cimino) daripada memperbaikinya. Selain tindakan cuci darah, kami juga membutuhkan obat-obatan rutin,” terang dia.
KPCDI berharap adanya aturan skema tarif yang berkeadilan sehingga menemukan win win solution sehingga pasien bisa mengakses apa yang mereka butuhkan.
“Kami berharap semoga pasien gagal ginjal ini lebih berkualitas lagi hidupnya agar bisa berkarya demi Indonesia yang lebih baik,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena yang hadir secara daring menaruh perhatian pada pasien ginjal.
Dia mengatakan, dalam diskusi dengan Kemenkes RI dan BPJS Kesehatan, Komisi IX DPR RI ingin melakukan peningkatan promotif preventif untuk meminimalisir terjadinya peningkatan penyakit ginjal.
“Diantaranya melalui roadmap yang didalamnya mengandung unsur penguatan Undang Undang, pengembangan jaminan sosial, penguatan kelembagaan jaminan sosial, dan monitoring evaluasi,” kata dia.
Politisi Partai Golkar yang akrab disapa Melki ini menegaskan, gagal ginjal termasuk penyakit tidak menular yang berbiaya tinggi.
Ia menambahkan, cuci darah dan transplantasi ginjal memang memerlukan biaya besar.
Pihaknya bersama anggota Komisi IX mendukung berbagai pihak untuk bisa memberi perhatian khusus pada penderita gagal ginjal.
“Kami mencari pola untuk mendukung pasien dengan baik serta menyusun konsepnya,” ujarnya.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Vaskular dan Endovaskular Indonesia (Pesbevi), dr. Dedy Pratama mengatakan, kualitas hidup Pasien Ginjal Kronis (PGK) harus diperbaiki, salah satunya dengan hemodialisa.
“PGK memiliki prognosis buruk dan biaya tinggi. Komplikasinya juga harus ditangani dan memerlukan biaya tinggi,” katanya.
Menurutnya, hemodialisa modalitas yang paling banyak digunakan, dan sangat bergantung pada akses vaskular.
Vaskular akses idealnya reliabel, bebas dari infeksi dan sesuai dengan kebutuhan pasien.
“Pasien seharusnya sudah menggunakan akses vaskular permanen pada saat hemodialisa karena perlu waktu untuk maturasi sehingga vaskular siap pakai. Biasanya sekitar 6 minggu untuk menyiapkan akses vaskular,” terangnya.
Pihaknya mewanti-wanti didalam menangani pasien gagal ginjal perlu kerja sama yang baik dari semua stakeholder.
Kata dia, idealnya akses vaskular permanen untuk hemodialisa sudah disiapkan sebelum dilakukan hemodialisis.
“Selain itu, efektifitas tindakan dan efisiensi biaya dalam kasus hemodialisis dan akses vaskular harus seimbang,” katanya.
Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), dr. Aida Lydia memberikan lima solusi dalam mencegah dan mengobati PGK. Pertama, meningkatkan pencegahan.
“Terapkan strategi pengelolaan PGK sesuai tahapan progresifitas,” katanya.
Kedua, meningkatkan pemerataan layanan dan jumlah SDM diantaranya melalui mapping kebutuhan layanan, lokasi layanan dan SDM.
Ketiga, meningkatkan rujukan tepat waktu, dengan memastikan program pencegahan dapat berjalan baik, pasien yang membutuhkan terapi pengganti ginjal dapat disiapkan dengan baik, pemasangan kateter dialisis dapat dicegah, serta lama perawatan singkat sehingga menghemat biaya.
Keempat, mengidentifikasi dan terapi komplikasi PGK, seperti anemia, gangguan mineral dan tulang.
Kelima, meningkatkan edukasi kepada masyarakat mengenai kesehatan ginjal melalui gerakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kesehatan ginjal.