Mahasiswa Tanya soal Pasangan Belum Menikah Check-In di Hotel dalam RKUHP, Ini Jawaban Wamenkumham
Mahasiswa yang bertanya mengaku membaca terkait hak tersebut dari sebuah artikel yang merujuk aturan tersebut pada pasal 415 draf RKUHP.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, PALANGKARAYA - Dua dari 15 mahasiswa yang bertanya dalam kegiatan Kumham Goes To Campus di Universitas Palangka Raya Kalimantan Tengah pada Rabu (26/10/2022), menanyakan mengenai pidana bagi pasangan belum menikah yang menginap (check in) di hotel dalam RKUHP.
Mahasiswa yang bertanya mengaku membaca terkait hak tersebut dari sebuah artikel yang merujuk aturan tersebut pada pasal 415 draf RKUHP.
Baca juga: Wamenkumham Ungkap 3 Tantangan Berat Dalam Menyusun RKUHP Kepada Mahasiswa di Palangkaraya
Begini bunyi pasal 415 dalam Bagian Keempat tentang Perzinaan draf final RKUHP:
Ayat (1) Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
Ayat (2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. Suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Ayat (3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
Mahasiswa tersebut pada pokoknya bertanya mengenai kebenaran artikel yang ia baca terkait pasal tersebut dan dampaknya bagi pemasukan negara pada sektor pariwisata.
Seorang mahasiswa lainnya, kemudian menanyakan terkait hal yang sama dalam kaitannya dengan tindak pidana kekerasan seksual.
Pertanyaan tersebut pada pokoknya, terkait perihal bagaimana jika salah satu dari pasangan tersebut merupakan korban kekerasan seksual.
Menjawab hal tersebut, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharief Hiariej mengatakan persoalan kohabitasi adalah hal yang repot di Indonesia.
"Jangankan masyarakat, ini saya harus mengakui secara jujur, di antara tim saja kita memang berdebat panjang untuk itu. Tapi itulah, menyusun KUHP dalam satu negara yang multietnis, multireligi, dan multiculture itu tidak mudah," kata pria yang akrab disapa Eddy tersebut.
Eddy kemudian memberikan ilustrasi terkait proses sosialisasi RKUHP di beberapa daerah di Indonesia.
Ketika proses sosialisasi RKUHP di Sulawesi Utara, lanjut dia, sebagian besar mempertanyakan mengapa negara harus mengatur hal-hal yang bersifat privat seperti itu.
Menurut masyarakat, kata Eddy, hal tersebut adalah persoalan kamar tidur orang dan mereka meminta pasal tersebut dihapus.
Namun, ketika proses sosialisasi dilakukan di Sumatera Barat, masyarakat justru meminta pasal tersebut harus lebih tegas lagi dan tidak perlu delik aduan sehingga siapapun boleh melapor.
"Jadi kalau sekarang Anda menjadi pemerintah dan DPR, anda mau ikut mana? Anda mau ikut Sulawesi Utara sama Sumatera Barat dibilang tidak aspiratif, anda mau ikut Sumatera Barat sama Sulawesi Utara dibilang tidak aspiratif," kata Eddy.
"Coba, kalau anda sekarang menjadi pembentuk Undang-Undang anda mau pilih yang mana?" tanya Eddy kepada mahasiswa.
Ia kemudian menjelaskan bahwa substansi dari persoalan tersebut hanya ada dua yakni apabila diatur dianggap salah, dan apabila tidak diatur juga dianggap salah.
"Jadi tidak mudah. Tidak semudah membalikan telapak tangan itu soal delik-delik kesusilaan. Setiap isu, pasti kontroversi. Itu mengapa kita mengambil win-win solution. Ada cara-cara kita mengambil," lanjut Eddy.