KPK Tetapkan Kepala BPN Riau dan Pemegang Saham PT Adimulia Agrolestari Sebagai Tersangka Suap HGU
KPK menetapkan Kakanwil BPN Riau M Syahrir dan pemegang saham PT Adimulia Agrolestari (AA) Frank Wijaya sebagai tersangka.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau M Syahrir dan pemegang saham PT Adimulia Agrolestari (AA) Frank Wijaya sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan dan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) di Kanwil BPN Provinsi Riau.
Selain mereka, lembaga antirasuah juga turut menjerat General Manager PT Adimulia Agrolestari Sudarso.
"Dengan telah dikumpulkannya berbagai informasi maupun data termasuk fakta persidangan dalam perkara terdakwa Andi Putra (Bupati Kuantan Singingi) yang kemudian ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup," kata Ketua KPK Firli Bahuri saat jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (27/10/2022).
Untuk kepentingan penyidikan, kata Firli, maka tim penyidik melakukan penahanan pada tersangka Frank Wijaya untuk 20 hari pertama, terhitung mulai 27 Oktober 2022 hingga 15 November 2022 di Rutan Polres Jakarta Selatan.
Baca juga: Periksa Kepala BPN Riau, KPK Dalami Pengondisian Pengurusan HGU
KPK, lanjut Firli, sedianya turut akan menahan M Syahrir pada hari ini.
Namun, Syahrir mangkir dari panggilan tim penyidik.
"KPK memerintahkan saudara MS (M Syahrir) untuk memenuhi panggilan tim penyidik dan tim penyidik akan melakukan penjadwalan pemanggilan dan mengimbau agar yang bersangkutan kooperatif hadir," katanya.
Baca juga: Kasus Suap BPN Riau, KPK Dalami Perintah Percepat Urusan HGU dari Pihak Swasta Pemberi Uang
"Sedangkan SDR (Sudarso) saat ini sedang menjalani masa pemidanaan di Lapas Sukamiskin, Bandung," sambung Firli.
Konstruksi Perkara
Frank Wijaya sebagai pemegang saham PT AA memerintahkan dan menugaskan Sudarso untuk melakukan pengurusan dan perpanjangan sertifikat HGU PT AA yang akan berakhir masa berlakunya pada tahun 2024.
Dari awal proses pengurusan HGU tersebut, Sudarso selalu diminta untuk aktif menyampaikan setiap perkembangannya pada Frank Wijaya.
"Selanjutnya SDR menghubungi dan melakukan beberapa pertemuan dengan MS yang menjabat selaku Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau yang membahas antara lain terkait perpanjangan HGU PT AA," kata Firli.
Baca juga: KPK Cegah 2 Orang Bepergian ke Luar Negeri dalam Kasus Suap HGU Kanwil BPN Riau
Sekira Agustus 2021, Sudarso menyiapkan seluruh dokumen administrasi untuk pengurusan HGU PT AA seluas 3.300 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), yang salah satunya ditujukan juga ke Kanwil BPN Provinsi Riau.
Sudarso lantas menemui M Syahrir di rumah dinas jabatannya, dan dalam pertemuan tersebut kemudian diduga ada permintaan uang oleh M Syahrir sekira Rp3,5 miliar dalam bentuk dolar singapura dengan pembagian 40 persen hingga 60 persen sebagai uang muka, dan M Syahrir menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT AA.
"Dari pertemuan tersebut, SDR lalu melaporkan permintaan MS kepada FW (Frank Wijaya) dan SDR kemudian mengajukan permintaan uang 120.000 dolar Singapura (setara dengan Rp1,2 miliar) ke kas PT AA dan disetujui oleh FW," ucap Firli.
Sekira September 2021, atas permintaan M Syahrir, penyerahan uang 120.000 dolar Singapura dari Sudarso dilakukan di rumah dinas Syahrir dan Syahrir juga mensyaratkan agar Sudarso tidak membawa alat komunikasi apapun.
Setelah menerima uang tersebut, M Syahrir kemudian memimpin ekspose permohonan perpanjangan HGU PT AA dan menyatakan usulan perpanjangan dimaksud bisa ditindaklanjuti dengan adanya surat rekomendasi dari Andi Putra selaku Bupati Kuansing yang menyatakan tidak keberatan adanya kebun masyarakat dibangun di Kabupaten Kampar.
Atas rekomendasi M Syahrir tersebut, Frank Wijaya kemudian memerintahkan dan kembali menugaskan Sudarso untuk mengajukan surat permohonan ke Andi Putra dan meminta supaya kebun kemitraan PT AA di Kampar dapat disetujui menjadi kebun kemitraan.
"Dilakukan pertemuan antara SDR dan AP (Andi Putra) dan dalam pertemuan tersebut Andi Putra menyampaikan bahwa kebiasaan dalam mengurus surat persetujuan dan pernyataan tidak keberatan atas 20 persen Kredit Koperasi Prima Anggota (KKPA) untuk perpanjangan HGU yang seharusnya di bangun di Kabupaten Kuantan Singingi dibutuhan minimal uang Rp2 miliar," ungkap Firli.
KPK menduga telah terjadi kesepakatan antara Andi Putra dengan Sudarso, dan hal ini juga atas sepengetahuan Frank Wijaya terkait adanya pemberian uang dengan jumlah tersebut.
Sebagai tanda kesepakatan, sekira bulan September 2021, KPK turut menduga telah dilakukan pemberian pertama oleh Sudarso kepada Andi Putra sebesar Rp500 juta.
"Berikutnya pada 18 Oktober 2021, SDR diduga kembali menyerahkan kesanggupannya tersebut kepada AP dengan menyerahkan uang sekitar Rp200 juta," ujar Firli.
Atas perbuatannya, Frank Wijaya dan Sudarso sebagai pemberi melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan, M Syahrir selaku penerima melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.