TB Hasanuddin: Permintaan Maaf Belanda Tak Spesifik ke Indonesia dan hanya Peryataan Politis
Belanda secara resmi permintaan maaf atas tindakan perbudakan selama 250 tahun kepada negara sejumlah negara.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perdana Menteri Belanda Mark Rutte mengutarakan, secara resmi permintaan maaf atas tindakan perbudakan selama 250 tahun kepada negara sejumlah negara.
Mark Rutte menyebut hal itu sebagai kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Melansir Channel News Asia, permintaan maaf itu datang hampir 150 tahun setelah berakhirnya perbudakan di luar negara Eropa, termasuk Indonesia, Suriname dan pulau-pulau seperti Curacao dan Aruba di Karibia.
"Hari ini atas nama pemerintah Belanda, saya meminta maaf atas tindakan negara Belanda di masa lalu," kata Rutte dalam pidatonya dan mengulanginya permintaan maaf dalam bahasa Inggris, Papiamento dan Sranan Tongo atau bahasa yang digunakan di kepulauan Karibia dan di Suriname.
"Negara Belanda di Belanda ... memikul tanggung jawab atas penderitaan besar yang menimpa orang-orang yang diperbudak dan keturunan mereka," kata Rutte kepada audiensi di Arsip Nasional di Den Haag.
Baca juga: Sudah Tiga Kali Belanda Minta Maaf kepada Indonesia
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin punya pandangan berbeda dari apa yang disampaikan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte tersebut.
TB Hasanuddin yang telah berkomunikasi dengan dengan staf di Kementerian Luar Negari (Kemlu) RI menilai, apa yang disampaikan Mark Rutte tak spesifik ditunjukan kepada Indonesia.
Dia menyebut, bahwa peryataan Mark Rutte disampaikan hanya kepada negara-negara di Karibia, yang salah satunya adalah Suriname.
Sehingga, pihaknya bersama Kemlu RI menilai bahwa Mark Rutte hanya menyampaikan peryataan secara politis demi kepentingan dalam negerinya.
Hal itu disampaikan TB Hasanuddin saat diskusi bertajuk 'Kolonialisme, Perbudakan & Kapitalisme: Setelah Permintaan Maaf Belanda kepada Indonesia' yang digelar Megawati Institute secara virtual, Rabu (21/12).
"Jadi saya barangkali perlu sedikit meluruskan bahwa dalam peninjauan kami, dan saya juga sudah berbicara dengan staf Kementerian Luar Negeri bahwa peryataan Mark Rutte, perdana menteri Belanda pada tanggal 19 Desember, itu tidak secara khusus atau spesifik menyebut Indonesia dalam tulisan yang berbahasa Inggris maupun berbahasa Belanda. Ternyata hanya menyebutkan negara Karibia termasuk di dalamnya Suriname," kata TB Hasanuddin.
"Sehingga dalam pandangan Kementerian Luar Negeri juga kami sepakat dengan komisi I DPR itu lebih banyak pernyataan politis. Dan ini tentu untuk keperluan politik dalam negeri perdana menteri Mark Rutte," sambungnya.
Politisi PDI Perjuangan ini juga meminta kepada pemerintah agar berbicara dan merespons peryataan Mark Rutte secara hati-hati. Pasalnya, hal ini baru pernyataan politik di lingkungan pemerintahan.
Bahkan, kata TB, Mark Muttr hanya berbicara di lingkungan pemerintahan Belanda.
"Tidak langsung menjurus ke Indonesia dan yang kedua baru pernyataan," ucapnya.
Menurut TB, mungkin pemerintah Indonesia harus bereaksi jika Perdana Menteri Mark mengirim surat resmi pernyataan dan surat diplomat resmi bukan hanya sebuah pernyataan.
Politisi asal Banten itu menilai, langkah itu sangat perlu karena perdana menteri Mark hanya menyangkut beberapa hal antara lain, misalnya menyayangkan kekejaman tentaranya, kemudian membiarkan perdagangan manusia atau mungkin masalah perbudakan, kemudian masalah tindakan rasis dan lain sebagainya.
Terlebih, terutama dalam kurun waktu kalau menyangkut ke Indonesia sekitar tahun 1945 sampai dengan 1949.
"Di sini kata kuncinya Belanda belum mengakui kemerdekaan yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda hanya menyatakan bahwa ada penyerahan kedaulatan pada tahun 1949. Itu barangkali yang perlu kita garis bawahi bawa secara resmi secara diplomat Belanda belum pernah menyatakan permohonan maaf," tegas TB Hasanuddin.
Lalu, apa yang kita harapkan dari pemerintah Belanda, saat ini?
TB Hasanuddin menilai perlunya sebuah pengakuan bahwa masa lalu Belanda pernah menjajah Indonesia, mungkin 300 tahun atau 350 tahun.
Pengakuan ini perlu, lanjut TB, untuk diakui oleh dunia internasional dan perlu untuk meluruskan sejarah wabilkhusus sejarah Indonesia dan menumbuhkan rasa kecintaan rasa kebangsaan di generasi muda. Bahwa bangsa Indonesia bukan bangsa yang diberi kemerdekaan, tetapi harus berjuang dengan berdarah-darah dengan nyawa untuk merebut kemerdekaan itu.
"Dan yang terakhir barangkali dengan pengakuan itu kita membutuhkan dikembalikannya misalnya benda-benda bersejarah atau barangkali ada semacam imbalan selama secara ekonomis maupun juga secara historis kita telah dirugikan," ujar TB Hasanuddin.
"Ini mungkin yang perlu mendapatkan perhatian dari kita semua dan sekarang apa tindakan kita yang perlu kedepannya. Agar pemerintah Belanda mengakui bahwa mereka pernah menjajah Indonesia atau Indonesia pernah menjadi koloni mereka maka perlu dan kita semua sebuah perjuangan, upaya diplomasi agar ada pengakuan itu," jelasnya.