Saiful Mujani: Politik Identitas Belum Mampu Ubah Identitas Sosial ke Identitas Politik
Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Prof. Saiful Mujani bicara soal politik identitas yang muncul dan kerap digaungkan oleh publik.
Penulis: Reza Deni
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Prof. Saiful Mujani bicara soal politik identitas yang muncul dan kerap digaungkan oleh publik.
Menurutnya, kemunculan politik identitas belum mampu mengubah identitas sosial ke identitas politik.
Demikian disampaikan Prof. Saiful Mujani, PhD dalam Diskusi Publik bertajuk, 'Bahaya dan Antisipasi menghadapi Politik Identitas Jelang Pemilu 2024' di Sekretariat TMP Jalan Muh Yamin No. 1 Menteng Jakarta Pusat, Jumat (23/12/2022).
“Sangat relevan dan semacam keharusan menghadapi politik identitas yang berkembang. Sumbernya, kita belum mampu merubah identitas sosial ke identitas politik. Saya sebagai orang Banten itu identitas sosial, kalau saya Golkar atau PdIP itu identitas politik,” ujarnya.
Artinya identitas politik kita masih lemah, subordinasi ke dalam identitas sosial.
Menurutnya hal itu menjadi sebabnya, kita belum berhasil bertransformasi dari identitas sosial ke identitas politik.
Dirinya memberikan contoh, kalau Donald Trump dulu banyak menggunakan identitas sosial untuk memenangkan jabatan Presiden Amerika Serikat, dan hanya menjabat 4 tahun.
Ini berhubungan di sana identitas politik sudah jauh lebih besar.
Hal itu juga terjadi pada Joe Biden dan Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak.
“Jadi kalau Ara jadi calon presiden memang susah. Sangat beda Obama di Amerika meski berasal minoritas bisa, karena identitas sosial sudah melebur identitas politik. Di Indonesia identitas sosial masih ditonjolkan. Saya juga belum tentu bisa maju gubernur DKI,” kata Guru Besar UIN mencontohkan bagaimana identitas sosial masih lebih kuat di Indonesia.
Dirinya lalu mencontohkan yang terjadi di DKI Jakarta, warga tidak memilih pasangan Djarot dan Ahok karena identitas berbeda.
Dalam kasus Pilpres memang lebih sedikit, kalau ada orang identitas sosial relatif tidak berhasil karena identitas calon presiden masih sama. Karena itu, terlalu jauh kita membayangkan seperti politik di Amerika.
Baca juga: Djarot Curhat Alami Politik Identitas di Pilgub DKI 2017, Ajak Masyarakat Tebar Toleransi
“Politik identitas tidak terjadi pada agama tertentu saja, tetapi sama di semua agama. Baik identitas Islam maupun non Islam. Itu kondisi kita belum mampu merubuah identitas sosial ke identitas politik. Yang bisa merubah ya seperti Taruna Merah Putih ini,” kata Saiful Mujadi.
Saiful menambahkan, masyarakat harus tahu kapan dan dimana berperilaku sebagai agama dan anak bangsa dalam berpolitik.
Dia mengakui sejatinya membutuhkan proses menuju ke sana. Politik yang benar itu yang pluralis seperti dipraktekkan PDIP atau Golkar.
“Lama kelamaan, saya melihat partai kurang dalam hal ini. Yang nasionalis mengambil agenda yang tidak nasionalis. Ini sangat mengkuatirkan ke depan. Paling kelihatan di 2019. Apakah ke depan, bisa mempertahankan. Melihat kekuatan elite partai politik ya masih optimis.”
Bahwa ada dinamika tertentu kita antisipasi, selama tidak ada perbedaan secara rasional antara calon, dalam arti platform.
Menanggapi hal itu, 11 ketua umum Cipayung Plus yang hadir memberikan pandangannya.
Ketum Umum HMI Raihan Ariatama mengatakan pemilihan harus dikaitkan dengan pelayanan publik.
“Saya asal Sumbar dan kuliah Yogyakarta tidak bisa beli motor karena KTP. Kita Indonesia seharusnya tidak agama dan etnik, diperlalukan sama,” ujarnya.
Untuk itu, Cipayung Plus membentuk rumah kebangsaan kita untuk semua Indonesia.
Baca juga: Djarot PDIP: Politik Identitas Itu Jahat, Mari Kita Hindari
"Kajian kami di HMI mengungkapkan agama cukup pegangan dalam menjalankan hidup. Karena itu, kita bisa menggemakan identitas Indonesia bukan agama dan etnik," kata Raihan.
Ketua Umum GMKI Jefry Gultom menyoroti Politik Identitas pada pemilu 2014-2019.
“Kalau di daerah mungkin masih oke-oke saja. Kalau kebangsaan harus tidak sebab founding fathers kita sudah sepakat dengan Bhinneka Tunggal Ika. Yang hebat yang telah menunjukkan karakter dan kualitas di akar rumput seperti Bang Ara dan Mindo bisa terpilih di daerah bukan asal dan bukan agamanya. Yang ditonjolkan kebersamaan. Kita bicara kebangsaan kita harus bergerak bersama turun ke daerah,” ujarnya.