Dituntut 4 Tahun Penjara, Jaksa Sebut Tiga Eks Petinggi ACT Rugikan dan Resahkan Masyarakat
Dalam sidang tuntutan, jaksa penuntut umum (JPU) membeberkan hal yang memberatkan dan meringankan hukuman ketiga terdakwa.
Penulis: Abdi Ryanda Shakti
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdi Ryanda Shakti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tiga eks petinggi yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) yakni Ahyudin, Ibnu Khajar dan Heriyana Hermain dituntut empat tahun penjaran dalam perkara penggelapan dana sosial Boeing untuk keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610.
Dalam sidang tuntutan, jaksa penuntut umum (JPU) membeberkan hal yang memberatkan dan meringankan hukuman ketiga terdakwa.
"Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa menimbulkan keresahan luas bagi masyarakat," kata jaksa di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (27/12/2022).
Baca juga: Tiga Eks Petinggi ACT Ahyudin Cs Dituntut 4 Tahun Penjara dalam Kasus Penggelapan Dana Boeing
Selain itu, jaksa menilai para terdakwa membuat kerugian kepada masyarakat khususnya ahli waris korban dan penerima manfaat dari dana sosial Boeing Community Investment Fund (BCIF).
"Terdakwa telah menikmati hasil tindak pidana," ungkap jaksa.
Kemudian hal yang meringankan ketiga terdakwa berperilaku sopan dan kooperatif saat persidangan.
Selain itu, para terdakwa juga belum pernah dihukum.
Dalam tuntutan, Ahyudin, Ibnu, dan Hariyana dinilai terbukti melanggar Pasal 374 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal itu merupakan dakwaan primer.
Dakwaan Jaksa
Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU), Ahyudin melakukan penggelapan dana donasi itu bersama Presiden ACT, Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain selaku Dewan Pembina ACT.
"Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan, dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, barang tersebut ada dalam kekuasaannya karena ada hubungan kerja atau karena pencahariannya atau karena mendapat upah untuk itu," kata Jaksa di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (15/11/2022).
Jaksa menyebut perkara ini bermula pada tanggal 29 Oktober 2018, maskapai Lion Air dengan nomor penerbangan 610, dengan pesawat Boeing 737 Max 8, telah jatuh setelah lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta, Indonesia.
Kejadian tersebut mengakibatkan 189 penumpang dan kru meninggal dunia.
"Atas peristiwa tersebut Boeing menyediakan dana sebesar USD 25.000.000 sebagai Boeing Financial Assistance Fund (BFAF) untuk memberikan bantuan finansial yang diterima langsung oleh para keluarga (ahli waris) dari para korban kecelakaan Lion Air 610," ucap Jaksa.
"Selain itu Boeing juga memberikan dana sebesar USD 25.000.000 sebagai Boeing Community Investment Fund (BCIF) yang merupakan bantuan filantropis kepada komunitas lokal yang terdampak dari kecelakaan," sambungnya.
Namun, uang donasi BCIF tersebut tidak langsung diterima oleh ahli waris, namun diterima oleh organisasi amal, atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh ahli waris korban.
ACT, sebagai pihak ketiga mengaku ditunjuk langsung oleh Boeing untuk menjadi lembaga pengelola dana donasi BCIF tersebut
Dalam perjalanannya, ACT meminta pihak keluarga korban menyetujui dana sosial BCIF sebesar USD 144.500 atau senilai Rp2 miliar per ahli waris dengan total dana sekitar Rp138 miliar dari Boeing.
Namun, uang donasi BCIF tersebut digunakan oleh terdakwa Ahyudin bersama Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain sebesar Rp117 miliar bukan untuk peruntukannya.
"Telah menggunakan dana BCIF sebesar Rp 117.982.530.997,diluar dari peruntukannya yaitu untuk kegiatan di luar implementasi Boeing adalah tanpa seizin dan sepengetahuan dari ahli waris korban kecelakaan Maskapai Lion Air pesawat Boeing 737 Max 8 maupun dari pihak Perusahaan Boeing sendiri," ucap jaksa.