Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Deretan Pasal Perppu Cipta Kerja yang Dinilai Bisa Rugikan Pekerja

Berikut deretan pasal pada Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang dinilai berpotensi merugikan pekerja dan buruh.

Penulis: Milani Resti Dilanggi
Editor: Wahyu Gilang Putranto
zoom-in Deretan Pasal Perppu Cipta Kerja yang Dinilai Bisa Rugikan Pekerja
Pixabay.com / succo
Berikut deretan pasal pada Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang dinilai berpotensi merugikan pekerja dan buruh. 

TRIBUNNEWS.COM -  Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, Jumat (30/12/2022). 

Penerbitan Perppu Cipta Kerja ini menuai pro dan kontra karena dinilai tidak mengakomodir kepentingan pekerja dan buruh. 

Presiden menyebut, penerbitan Perppu Cipta Kerja dikarenakan adanya kebutuhan mendesak.

Kebutuhan mendesak yang dimaksud yaitu terkait ekonomi global, inflasi, resesi, hingga konflik antara Rusia-Ukraina.

Perppu Cipta Kerja tersebut memuat sejumlah aturan yang telah diubah dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Dalam salinan isi lengkap, Perppu Ciptaker tersebut berisi 1.117 halaman dan 186 pasal.

Berikut deretan poin penting dalam Perppu Cipta kerja yang dinilai berpotensi merugikan pekerja: 

Berita Rekomendasi

1. Penetapan Upah Minimum Kabupaten dan Kota

Pasal 88C 

(1) Gubernur wajib menetapkan Upah minimum provinsi. 

(2) Gubernur dapat menetapkan Upah minimum kabupaten/kota. 

(3) Penetapan Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal hasil penghitungan Upah minimum kabupaten/kota lebih tinggi dari Upah minimum provinsi. 

Dalam pasal tersebut dikritik oleh Presiden Partai Buruh, Said Iqbal

Ia menyoroti upah minimum kabupaten atau kota yang menggunakan istilah 'dapat' ditetapkan oleh Gubernur atau kepala daerah.

Aturan itu menurunya sama dengan UU Cipta Kerja, sebab bahasa hukum 'dapat', berarti bisa ada bisa tidak, tergantung dari kepala daerahnya atau Gubernur. 

"Itu sama dengan UU Cipta Kerja. Kata-kata hukum ‘dapat’ artinya bisa ada, bisa tidak, tergantung gubernur. Ganti gubernur, ganti kebijakan."

"Usulan buruh adalah, redaksinya adalah Gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/kota," ucap Iqbal.

2. Penghitungan Upah Minimum

Pasal 88 D 

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula penghitungan Upah minimum. 

(2) Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu

Dalam kata "indeks tertentu" ini banyak orang menyebut tidak jelas definisinya.

Ini bisa berpotensi blunder untuk para pekerja di kemudian hari.

"Ini yang ditolak buruh. Sebab dalam hukum ketenagakerjaan tidak pernah dikenal indeks tertentu dalam menentukan upah minimum," kata Iqbal.

Pasal 88F

Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2)

Said Iqbal berpendapat, pasal tersbut bisa membuat pemerintah mengubah aturan dengan seenaknya. 

"Buruh berpendapat, ini seperti memberikan mandat kosong kepada pemerintah. Sehingga bisa seenaknya mengubah-ubah aturan," kata dia.

Iqbal juga menilai, pasal mengenai pengupahan dalam Perppu ini juga menegaskan hilangnyan upah minimum sekotoral. 

"Permasalahan lain terkait dengan pengupahan, Perppu juga menegaskan hilangnya upah minimum sektoral," tukas dia.

3. Libur Pekerja

Pasal 79 ayat (2)

(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada Pekerja/Buruh paling sedikit meliputi: 

a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus-menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan 

b. istirahat mingguan I (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. 

Aturan tersebut menandakan hak libur pekerja yang sebelumnya mengatur dua hari dalam seminggu dihapus, sebagaimana tertera dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Meski begitu, Perppu Cipta Kerja tetap memungkinkan pekerja mendapat libur dua hari, sebagaimana tertera dalam Pasal 77 mengenai waktu kerja, yakni 7 jam atau 8 jam sehari.

Akan tetapi, tak ada penjelasan lebih lanjut soal sektor usaha yang dimaksud, hanya menyebut bahwa hal ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 77 ayat (2)

(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi;

(a) tujuh jam satu hari dan 40 jam satu minggu untuk 6 hari kerja dalam satu minggu, atau

(b) delapan jam satu hari dan 40 jam satu minggu untuk 5 hari kerja dalam satu minggu," demikian bunyi Pasal 77 ayat (2).

Aturan tersebut memungkinkan pekerja bisa mendapat waktu libur dua hari dalam sepekan, tergantung jam kerjanya.

"Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja," tulis Pasal 77 ayat (1)."

Selanjutnya, Pasal 77 ayat (3) menjelaskan ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

Akan tetapi, tak ada penjelasan lebih lanjut soal sektor usaha yang dimaksud, hanya menyebut bahwa hal ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

4. Tentang Cuti

Pasal 79 ayat (5)

(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah

Perppu Cipta Kerja tidak tidak mengatur waktu istirahat atau cuti panjang. 

Sebagaimana Pasal 79 Perppu Cipta Kerja tersebut diatas, bahwa ketentuan istirahat panjang diperuntukkan hanya bagi pekerja atau buruh di perusahaan tertentu.

Waktu istirahat panjang akan diberikan dan diatur dalam Perjanjian Kerja hingga Perjanjian Kerja Bersama.

5. Tentang Outsourcing

Outsourcing diatur dalam Perppu Cipta Kerja Pasal 81 poin 19 sampai dengan 21. 

Dalam pasal tersebut, tidak dijelaskan pekerjaan dalam bidang apa saja yang bisa menggunakan tenaga outsourcing.

Padahal di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tertulis bahwa ada lima jenis pekerjaan yang boleh menggunakan outsourcing.

Kelima jenis pekerjaan tersebut yaitu, catering, security, driver, cleaning service, dan jasa penunjang perminyakan.

Dengan demikian, bisa dikatakan jika semua jenis pekerjaan bisa menggunakan tenaga outsourcing yang akan merugikan buruh dan pekerja.

Presiden Partai Buruh Said Iqbal saat ditemui awak media seusai penetapan nomor urut partai di KPU RI, Jakarta Pusat, Rabu (14/12/2022). (Tribunnews.com/Naufal Lanten).
Presiden Partai Buruh Said Iqbal saat ditemui awak media seusai penetapan nomor urut partai di KPU RI, Jakarta Pusat, Rabu (14/12/2022). Said Iqbal mengkritik sejumlah pasal dan pin dalam Perppu Cipta kerja. (Tribunnews.com/Naufal Lanten). (Tribunnews.com/Naufal Lanten)

"Cuma akan diatur di dalam peraturan pemerintah. Pemerintah nanti yang nentuin, mana outsourcing, mana enggak. Ya makin enggak jelas aja. Ukuranya apa? Seenak-enaknya dong," ujar Said iqbal. 

Berdasarkan argumen-argumen tersebut, Partai Buruh menyatakan ketidak setujuan dari penerapan outsourcing berdasarkan Perppu Ciptaker.

"Yang kita setuju outsourcing harus kembali ke Undang-Undang Nomor 13 (Tahun 2003). Tidak boleh kecuali lima jenis pekerjaan," kata Iqbal. 

6. Tentang Pesangon dan PHK

Poin di Perppu Cipta Kerja yang berkaitan dengan pesangon juga menimbulkan polemik tersendiri.

Dalam Perppu Cipta Kerja disebutkan, pemberian pesangon menjadi 9 kali ditanggung oleh pengusaha, sebagaimana bunyi ketentuan Pasal 156 ayat (1).

Namun sayangnya, karyawan yang terkena PHK baru bisa mendapat haknya tersebut sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati.

Pada aturan itu uang pesangon bisa diterima maksimal 9 kali dari upah bulanan untuk masa kerja 8 tahun.

Kemudian soal PHK, Perppu Cipta Kerja juga dinilai tidak memberi perlindungan pekerja dari PHK secara sepihak dari perusahaan. 

Perppu seolah memberi ruang subyektivitas untuk menilai pekerja dan memecat mereka jika perusahaan mau.

(Tribunnews.com/Milani Resti/Rizki Sandi Saputra/Reza Deni/Ashri Fadila)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas