Ahli Pidana Sebut SP3 Kasus Kekerasan Seksual Putri Candrawathi Perlu Dicermati
Pihak Putri Candrawathi menyinggung kasus kekerasan seksual yang telah dihentikan penyidikannya atau SP3.
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pihak Putri Candrawathi menyinggung kasus kekerasan seksual yang telah dihentikan penyidikannya atau SP3.
"Apakah ketika kasus itu di SP3 oleh penyidik di Polres kemudian itu bisa berarti kekerasan seksualnya tidak terjadi?" tanya pengacara Putri, Febrie Diansyah dalam sidang agenda pemeriksaan saksi a de charge atau meringankan bagi terdakwa pada Selasa (3/1/2023).
Dari pertanyaan itu, Ahli Hukum Pidana dari Universitas Hasanuddin, Said Karim menjelaskan perlunya penelaahan alasan penerbitan SP3 tersebut.
Sebab penghentian penyidikan dapat dilakukan karena kurang alat bukti atau terduga pelaku yang meninggal dunia.
"Berdasarkan pasal 77 dan 78 KUHP dikatakan bahwa dengan meninggalnya tersangka terdakwa, maka gugurlah hak untuk melakukan penuntutan," ujarnya di dalam persidangan.
Oleh sebab itu, dia menegaskan bahwa penghentian penyidikan bukan berarti peristiwa kekerasan seksual yang dimaksud tidak terjadi.
"Kata kuncinya bahwa dengan penerbitan SP3 itu hendaknya dibaca dan dipelajari apa yang menajadi dasar pertimbangan. Bukan dengan terbitnya SP3 itu kemudian menunjukkan bahwa peristiwa yang dilaporkan itu tidak terjadi."
Tak hanya SP3 perkara, tim penasehat hukum Putri juga mempertanyakan soal pentingnya visum dalam pembuktian kasus kekerasan seksual.
"Apa konsekuensi jika korban kekerasan seksual tdak melakukan visum? Atau ada bukti lain sebenarnya yang bisa membuktikan adanya kekerasan seksual?"
Menurut Said, tak adanya visum bukan berarti bahwa peristiwa kekerasan seksual tidak terjadi.
"Tidak berarti dengan tidak adanya visum, bahwa ini dianggap tidak benar terjadi," ujarnya di dalam persidangan.
Jika tak ada visum, maka menurutnya masih ada alat bukti lain yang dapat digunakan dalam perkara kekerasan seksual.
"Kalau misalnya visum tidak ada, maka mungkin ada alat bukti lain yang digunakan untuj memberi penguatan tentang pembuktian terjadinya tindak pidana kekerasan seksual," kata Said.
Baca juga: Kasus Pelecehan di SP3 dan Berstatus Tersangka, Putri Candrawathi Tetap Ngotot Dilecehkan Brigadir J
Dia pun menyinggung keterangan dari saksi korban yang dalam kasus ini boleh dipercaya atau tidak.
Sebab peristiwa kekerasan seksual hanya disaksikan oleh lihak korban dan pelaku.
"Orang yang mendengarkan kabar ini punya hak mau percaya atau tidak," ujarnya.
Selain keterangan saksi korban, Said juga menyebutkan adanya keterangan ahli yang juga dapat dijadikan alat bukti selain keterangan saksi korban.
Hal tersebut menurutnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
"Misalnya ada keterangan ahli yang membenarkan itu atau ada alat bukti lain yang tertera di dalam pasal 184 KUHAP, maka menurut ketentuan hukum ini, menurut Undang-Undang 12 tahun 2022 ini sudah dapat membuktikan terjadinya tindak pidana."
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.