Urgensi Memperluas BBM Satu Harga
Anggota Komisi VII DPR RI berharap pemerintah memperluas kebijakan BBM satu Harga dengan menjangkau kawasan pedesaan, pedalaman.
Penulis: Reza Deni
Editor: Dewi Agustina
Oleh Marwan Jafar
Anggota Komisi VII DPR-RI
TRIBUNNERS.COM - Sejauh ini kita mengapresiasi kebijakan pemerintah menetapkan satu harga bahan bakar minyak (BBM) di seluruh Indonesia.
Mengapa demikian? Sebab, perbedaan harga, adanya selisih harga, disparitas harga keekonomian atau apa pun namanya terkait harga eceran BBM di sebagian wilayah Indonesia yang disebut 3 T: Tertinggal, Terdepan dan Terluar--seperti di Kabupaten Puncak (Papua), Nunukan (Kalimantan Utara) serta Pegunungan Arfak (Papua Barat).
Dapat dipastikan membawa beberapa dampak maupun ekses ekonomi yang merugikan bagi warga masyarakat setempat. Mulai dari kurangnya mobilitas orang dan distribusi barang, mahalnya harga bahan-bahan pokok makanan, kurang mendapat perhatian dari pemerintah hingga munculnya rasa ketidakadilan secara psikologis.
Namun demikian, pencapaian atau realisasi dalam konteks percepatan pemberlakuan satu harga jenis BBM tertentu (JBT) maupun jenis bahan bakar khusus penugasan (JBKP) berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 Tahun 2016 tersebut, menurut hemat penulis sangat perlu serta harus terus diperluas cakupannya.
Maksudnya, memang sudah sangat semestinya, semua warga masyarakat di mana pun lokasinya dapat membeli BBM dengan harga yang sama. Juga sudah waktunya pula, semisal warga atau penduduk di Jawa dan Bali jangan lagi seperti dimanjakan terkait harga BBM yang selama ini sesungguhnya murah sekali.
Sebaliknya, jika selama ini harga BBM di Jawa dan Bali juga dikesankan mahal oleh sebagian kalangan, maka dapat dipastikan mereka memiliki agenda atau pesan tertentu yang bisa bermotif mencari perhatian dan simpati, beralasan memihak rakyat, melupakan faktor inflasi, mencari-cari pembanding harga di negara lain dan lain-lain.
Yang jelas, data dari Badan Pengaturan Hilir (BPH) Minyak dan Gas Bumi menunjukkan, dari target 92 lembaga penyalur jenis BBM tertentu yaitu minyak solar dan minyak tanah, sudah terealisasi pada 83 lembaga penyalur atau secara akumulatif hingga Desember 2022 telah terealisasi oleh sejumlah 414 lembaga penyalur di seluruh Indonesia.
Sedangkan pada rentang waktu 2017 sampai 2024, pihak BPH Migas menargetkan dapat melakukan jalan pemetaan (roadmap) sebanyak 583 lokasi yang akan diwujudkan sebagai lembaga penyalur BBM jenis BBM tertentu (minyak solar dan minyak tanah) maupun jenis bahan bakar khusus penugasan (Pertalite).
Sedangkan data oleh Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM mengungkapkan, sampai November 2022 program BBM Satu Harga telah terealisasi pada 412 lokasi atau lembaga penyalur.
Sementara target pada tahun 2022 terealisasi 92 lembaga penyalur, pada 2023 ditargetkan 89 lembaga penyalur dan pada 2024 menargetkan 71 lembaga penyalur. Dirjen Migas juga mematok, sampai 2024 akan terwujud lembaga penyalur BBM Satu Harga--baik BBM jenis minyak solar, minyak tanah serta Pertalite--pada 583 lokasi di seluruh Indonesia.
Fokusnya di 7 lokasi, dengan rincian antara lain di Sumatera dan Babel 24 lokasi, Kalimantan 24 lokasi, Sulawesi 15 lokasi, NTB dan NTT 33 lokasi, Maluku dan Papua 75 lokasi--sementara di Jawa hanya di 3 lokasi dan di Bali hanya di 2 lokasi lembaga penyalur yang sudah terealisasi.
Sebagai informasi, sejak 2017 program BBM Satu Harga dimunculkan, realisasi jumlah lembaga penyalur BBM cukup fluktuatif. Sedangkan yang dimaksud BBM Satu Harga adalah program pemerintah cq Kementerian ESDM dalam rangka upaya menekan harga BBM ysng dulu mahal menjadi murah, dengan memastikan harga jenis Pertalite Rp 10 ribu per liter dan Minyak Solar Rp 6. 800 per liter. Sebelumnya, harga kedua jenis BBM tersebut mencapai Rp 100 ribu, Rp 40 ribu dan Rp 30 ribu di Papua, Papua Barat dan Kalimantan Utara.
Sampai di sini cukup jelas betapa urgensi memperluas realisasi program BBM Satu Harga hingga ke kawasan pedesaan, pedalaman maupun kawasan pantai terluar amat relevan buat terus kita dorong.
Sekali lagi, penulis meyakini langkah kolaboratif program ini dengan sejumlah pihak semisal swasta, BUMD dan perkoperasian--termasuk dengan pemerintah kecamatan dan pemerintahan desa--akan lebih strategis serta tepat seperti di mana lokasi lembaga penyalur BBM Satu Harga yang mendesak untuk dibangun. Pada gilirannya, hal ini dipastikan membawa pula dampak positif ekonomi berganda daerah setempat, khususnya di sektor perdagagan serta sektor ekonomi produktif UKM di berbagai subsektornya.
Menurut penulis, program BBM Satu Harga boleh disebut sebagai salah satu upaya sungguh-sungguh pemerintah sekarang untuk mewujudkan keadilan sosial tanpa pandang bulu.
Karena itulah ada baiknya presiden serta pemerintahan mendatang tetap melanjutkan program tersebut dalam konteks mempermudah mendapatkan BBM, merata serta dengan tingkat harga yang terjangkau warga masyarakat di mana pun.
Penulis pernah membaca, seorang nelayan di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat akhir-akhir ini relatif tidak lagi kesulitan memperoleh BBM minyak solar buat melaut--menyusul adanya lokasi penjualan BBM Satu Harga. Hasil tangkapan ikan dan penghasilannya juga membaik.
Pernah juga penulis mendengar, seorang pelaku UMKM bernama Octvianus Alexander, warga Desa Roekore, Sabu Raijua, NTT, mengatakan hasil budidaya bawangnya lebih meningkat setelah ada BBM Satu Harga. Peningkatan produksinya pun berlipat dibandingkan sebelumnya, karena ongkos buat transport kendaraan bisa ditekan. Senada dengan kedua pelaku UMKM ini, seorang petani di Desa Krayan, Kalimantan Utara juga mengaku senang. Sebab sekitar tiga atau empat tahun belakangan ini, dia bisa membeli BBM dengan harga yang sama atau beda sedikit dengan saudaranya sewaktu membeli BBM di Pulau Jawa. (*)