Hakim: Kerugian Perekonomian Negara dalam Kasus Minyak Goreng Bersifat Asumsi
Kuasa hukum terdakwa bos PT Wilmar Group Master Parulian Tumanggor, Juniver Girsang, menyoroti putusan majelis hakim.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memutuskan tidak terpenuhinya unsur kerugian perekonomian negara dalam perkara ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya, termasuk minyak goreng, tahun 2021-2022.
Di mana sebelumnya, kerugian negara menjadi salah satu fokus utama dakwaan tim jaksa yang dituduhkan kepada pelaku usaha.
Sebab, kerugian negara tersebut menyebabkan pemerintah menggelontorkan dana untuk bantuan langsung tunai (BLT) sebagai akibat kenaikan harga migor.
"Setelah hakim meneliti ahli perhitungan perekonomian negara ternyata masih bersifat asumsi belum real atau nyata,” kata hakim saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (4/1/2023).
Kuasa hukum terdakwa bos PT Wilmar Group Master Parulian Tumanggor, Juniver Girsang, menyoroti putusan majelis hakim.
Utamanya, soal tidak terbuktinya unsur kerugian negara dalam perkara yang menjerat kliennya.
Jika menilik pertimbangan putusan hakim, kata Juniver, disebutkan bahwa kelangkaan minyak goreng bukan karena perbuatan pengusaha, tapi karena kebijakan pemerintah yang melawan pasar dengan menetapkan harga eceran tertinggi.
"Hakim sudah menyebutkan bahwa tidak ada kerugian negara. Kelangkaan minyak goreng terjadi sebagai akibat kebijakan pemerintah yang berubah-ubah. Pelaku usaha dipaksa menjual produknya di bawah harga produksi hal itu membuat pengusaha rugi," ujar Juniver di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Baca juga: Dijatuhi Vonis Penjara, 5 Terdakwa Kasus Korupsi Minyak Goreng Kompak Pertimbangkan Opsi Banding
Diketahui sebelumnya, dalam persidangan yang digelar pada 6 Desember 2022, lalu, ahli dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Rimawan Pradiptyo, mengatakan bahwa ia menggunakan metode Input-Output dalam penghitungan kerugian negara. Sebab, karena keterbatasan data.
Dia juga mengakui tak menghitung pemasukan negara yang didapat dari ekspor yang sudah dilakukan para terdakwa.
"Di dalam analisis, itu tidak saya perhitungkan, karena dilihat shortage nya," kata Rimawan.
Dosen UGM itu menjelaskan bahwa analisanya berfokus pada dampak dari yang dilakukan para terdakwa, terhadap krisis minyak goreng atau shortage yang terjadi di dalam negeri.
Sehingga, pemasukan negara yang didapat dari ekspor yang dilakukan seperti pajak dan bea cukai, tidak dipertimbangkan dalam penghitungan kerugian negara.
Kendati begitu, Rimawan menilai bahwa ekspor yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut juga telah memberikan manfaat kepada negara.
Jika dirinya diberikan data-data terkait manfaat yang didapat negara dari ekspor tersebut, dia mengaku bisa melakukan penghitungan lebih komprehensif.
Rimawan menyebut jika manfaat yang berupa pemasukan untuk negara ikut dipertimbangkan, maka nilai kerugian negara yang tercantum dalam tuntutan para terdakwa bisa berkurang.
"Kalau itu (variabel manfaat) dimasukkan, maka angka kerugiannya akan turun lagi,” kata Rimawan.
Untuk diketahui, majelis hakim menjatuhkan putusan lebih rendah dari tuntutan yang diajukan tim jaksa terhadap lima terdakwa perkara korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya, termasuk minyak goreng, tahun 2021-2022.
Dalam putusannya, hakim hanya mengabulkan sebagian tuntutan tim jaksa.
Adapun, kelima terdakwa tersebut yakni, mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan (Kemendag), Indrasari Wisnu Wardhana; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor.
Kemudian, Senior Manager Corporate Affair PT VAL, Stanley MA; General Manager (GM) Bagian General Affair PT MM, Pierre Togar Sitanggang; serta mantan Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.