Periksa Anggota DPRD Papua Yunus Wonda, KPK Telisik Pos Anggaran Operasional Lukas Enembe
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelisik pos alokasi untuk operasional Lukas Enembe sewaktu aktif menjabat Gubernur Papua.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelisik pos alokasi untuk operasional Lukas Enembe sewaktu aktif menjabat Gubernur Papua.
Hal itu didalami tim penyidik kala memeriksa Anggota DPRD Papua Yunus Wonda di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (20/1/2023).
Yunus diperiksa kapasitasnya sebagai saksi kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait proyek infrastruktur yang menjerat Lukas Enembe sebagai tersangka.
"Didalami mengenai pos alokasi anggaran untuk operasional tersangka LE sebagai Gubernur," ujar Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, Jumat (20/1/2023).
Selain itu, penyidik juga mencecar Yunus soal pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) termasuk dana otonomi khusus (DOK) di Provinsi Papua.
Baca juga: KPK Duga Istri dan Anak Lukas Enembe Turut Tentukan Pemenang Proyek di Papua
"Didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan pembahasan penganggaran untuk APBD termasuk dana otonomi khusus di Provinisi Papua," kata Ali.
Dalam kasusnya, Lukas Enembe ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek yang bersumber dari APBD Papua.
Ia beberapa kali mangkir dipanggil hingga kemudian berhasil diringkus di Jayapura pada Selasa (10/1/2023).
Baca juga: Respons KPK Diadukan ke Komnas HAM karena Tak Becus Tangani Kesehatan Lukas Enembe
Ia diringkus di Bandara Sentani. Saat itu ia diduga akan kabur ke luar negeri lewat Tolikara. Namun upayanya digagalkan KPK yang dibantu kepolisian dan TNI.
Lukas Enembe diduga menerima suap hingga Rp1 miliar dari Rijatono Lakka selaku Direktur PT Tabi Bangun Papua. Suap itu diduga diberikan karena Lukas menyetujui pengerjaan sejumlah proyek oleh perusahaan Rijatono.
Selain itu, ia juga diduga menerima gratifikasi yang nilainya lebih dari Rp10 miliar.
Rijatono Lakka dijerat dengan 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 UU Tipikor. Sementara Lukas Enembe dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 dan pasal 12B UU Tipikor.