Tiga Poin di Nota Pembelaan Jelang Vonis Hakim, Harapan Bharada E Agar Tidak Jadi 'Korban' Dua Kali
Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E akan menyampaikan nota pembelaan atau pledoi atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat akan menyampaikan nota pembelaan atau pledoi atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Ronny Talapessy, kuasa hukum Richard, mengatakan pledoi disusun berdasarkan pada harapan agar kliennya tidak menjadi ‘korban’ kasus itu untuk yang kedua kalinya.
Menurut Ronny, dalam kasus ini, Richard merupakan korban.
Karena ia menjalankan perintah dari Ferdy Sambo sebagai atasannya yang berpangkat Irjen.
”Kami tidak mau Richard, yang masih muda dan bahkan mau menjadi justice collaborator, ini menjadi 'korban' dua kali lantaran tuntutan yang tidak memberi rasa keadilan,” kata Ronny, Sabtu (21/1/2023), dikutip dari Kompas.id.
Ronny menambahkan, setidaknya ada tiga poin yang termuat dalam pledoi tersebut, di antaranya pandangan berbeda atas tuntutan jaksa yang dinilai tidak sesuai fakta persidangan.
Poin lain adalah pihaknya akan membahas mengenai penghapusan pidana yang sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
”Kami juga akan berbicara terkait keadilan untuk Richard, terutama karena statusnya sebagai justice collaborator (pelaku yang bekerja sama dengan penyidik untuk mengungkap perkara), dan rasa keadilan di masyarakarat.”
“Kami tahu, masyarakat sangat merindukan bertemunya keadilan hukum yang prosedural dengan keadilan subtantif yang ada di masyarakat,” ucap Ronny.
Dalam persidangan Rabu (18/1/2023) jaksa menuntut agar hakim menjatuhkan vonis terhadap Richard dengan hukuman 12 tahun penjara.
Baca juga: Kuasa Hukum Bharada E Beberkan Beberapa Poin Nota Pembelaan untuk Sidang Pekan Depan
Jaksa menilai Richard terbukti turut bekerja sama menghilangkan nyawa Nofriansyah dengan berperan sebagai eksekutor.
Statusnya sebagai justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar perkara dinilai jaksa menjadi hal yang meringankan.
Terdakwa lain kasus itu, Putri Candrawathi, yang menjalani sidang di hari bersamaan, dituntut dengan hukuman pidana penjara selama delapan tahun.
Tuntutan terhadap Putri sama dengan tuntutan untuk Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf yang menjalani sidang pada Senin (16/1/2023). Adapun Ferdy Sambo dituntut hukuman penjara seumur hidup dalam sidang Selasa (17/1/2023).
Sidang lanjutan kasus tersebut dengan agenda pembacaan pledoi akan dilaksanakan pada hari Rabu (25/1/2023) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
5 pernyataan Kejaksaan usai tuntut Bharada E 12 tahun penjara
Mengenai tuntutan JPU kepada Bharada E, Kejaksaan Agung (Kejagung) menyampaikan sejumlah pernyataan.
1. Bharada E Dinilai Jadi Pelaku Utama
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung), Ketut Sumedana mengatakan, Bharada E adalah pelaku utama dan menjadi eksekutor yang menghilangkan nyawa Brigadir J.
Sehingga, menurut Kejagung, status Justice Collaborator yang diberikan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) semestinya tak bisa didapatkan oleh Bharada E.
"Beliau adalah sebagai pelaku utama, sehingga tidak dapat dipertimbangkan juga sebagai yang harus mendapatkan Justice Collaborator," ujar Ketut Sumedana dalam konferensi pers, Kamis (19/1/2023).
Ketut menjelaskan, hal ini juga selaras dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 dan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
"Itu juga sesuai SEMA Nomor 4/2011 dan UU Perlindungan Saksi dan Korban," lanjut dia.
Baca juga: Tuntutan 12 Tahun Bharada E Trending di Twitter, Mahfud MD: Kawal Terus
2. Tuntutan Bharada E Disebut Sudah Tepat
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung, Fadil Zumhana, mengungkapkan pihaknya tidak akan merevisi soal tuntutan kepada Bharada E.
"Masalah meninjau merevisi, kami tahu kapan akan merevisi."
"Ini sudah benar ngapain direvisi," ungkapnya kepada wartawan, Kamis.
3. Soal Justice Collaborator Bharada E
Kejagung telah mempertimbangkan soal status Justice Collaborator Bharada E.
Fadil Zumhana mengklaim, pihaknya telah mengurangi tuntutan terhadap Bharada E karena pengajuan Justice Collaborator tersebut.
"Justru kami sudah pertimbangan rekomendasi JC dari LPSK itu."
"Kalau kami tidak pertimbangkan sikap LPSK, mungkin saja akan lebih tinggi, 12 tahun ini sudah kami ukur dengan parameter pidana yang jelas," jelasnya, Kamis.
Baca juga: Bantah Intervensi Tuntutan Bharada E, LPSK: Kami Hanya Menyampaikan Sesuai Undang-Undang
Namun, Fadil menyebut, sejatinya status Justice Collaborator tersebut belum ditetapkan secara resmi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Kami ingin beri penjelasan, JC ini rekomendasi LPSK."
"Tapi penetapan JC dari PN Jaksel belum ada."
"Kami sudah mempertimbangkan walaupun penetapan pengadilan belum ada."
"Kenapa, karena si Richard Eliezer inilah terungkap peristiwa pidana sesungguhnya. Itu kami hargai," beber Fadil.
4. LPSK Diminta Tak Intervensi Tuntutan Bharada E
Kejagung juga menanggapi pernyataan LPSK yang kecewa dengan tuntutan Bharada E.
Fadil Zumhana mengatakan, LPSK tidak boleh mengintervensi jaksa yang menuntut dalam perkara tersebut.
Kejagung pun berterima kasih atas peran LPSK yang melindungi terdakwa.
Meski begitu, kata Kejagung, LPSK tidak berhak ikut campur dan pengaruhi jaksa atas tuntutan Bharada E.
"Memang LPSK banyak komentar tapi tidak apa-apa itu tugas dia, dia melindungi korban benar itu dia, bahkan dia pelihara korban supaya selamat tidak diganggu orang."
"Saya terima kasih kepada LPSK sehingga perkara ini bisa selesai," ujar Fadil.
Baca juga: VIDEO Respon Pengacara Bharada E Soal Tuntutan 12 Tahun Penjara: Mengusik Rasa Keadilan Masyarakat
Selanjutnya, Kejagung merasa tidak ada yang salah dengan tuntutan terhadap Bharada E.
“Kami tahu apa yang harus kami lakukan, benar tahu benar, karena pengalaman pengetahuan dan ada aturan, tahu persis saya itu, kajati tahu persis, kajari tahu persis, jaksa tahu persis."
"Tapi kan kami sudah pertimbangkan sehingga menuntut (Bharada E) lebih rendah dari pelakunya, ini Pak Sambo," jelas Fadil.
5. Bharada E Bukan Pengungkap Fakta Hukum Pertama
Kejagung menyebut, Bharada E bukanlah orang pertama yang menguak fakta hukum kasus pembunuhan berencana Brigadir J.
Ketut Sumedana mengatakan, keluarga Brigadir J adalah pihak pertama yang menguak fakta kejadian pembunuhan berencana itu.
"Kemudian diktum, deliktum yang dilakukan tindak pidana Eliezer, RE, sebagai eksekutor yaitu pelaku utama bukanlah sebagai penguak fakta hukum," ujarnya, Kamis.
"Jadi, dia bukan penguak, mengungkap satu fakta hukum, yang pertama justru keluarga korban," jelas Ketut.
Baca juga: Suara Jaksa Paris Manalu Bergetar Saat Jatuhkan Tuntutan 12 Tahun Penjara Terhadap Bharada E
Sebagai informasi, Brigadir J menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022.
Brigadir J tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Bharada E disebut menembak Brigadir J atas perintah Ferdy Sambo yang kala itu masih menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri.
Peristiwa pembunuhan disebut terjadi lantaran adanya cerita sepihak dari Putri Candrawathi yang mengaku dilecehkan oleh Brigadir J di Magelang pada 7 Juli 2022.
Ferdy Sambo kemudian marah dan merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir J yang melibatkan Bharada E, Ricky Rizal, dan Kuat Maruf.