Pembelaan Brigjen Hendra Kurniawan: Skrining CCTV Hanya Untuk Kepentingan Penyidikan Kematian Yosua
Hendra Kurniawan menyatakan, skrining CCTV yang diperintahkannya kepada Kombes Agus Nurpatria diklaim hanya untuk kepentingan penyelidikan
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa kasus dugaan perintangan penyidikan atau obstruction of justice tewasnya Brigadir J, Brigjen Hendra Kurniawan menyatakan, skrining CCTV yang diperintahkannya kepada Kombes Agus Nurpatria diklaim hanya untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan saja.
Adapun skrining CCTV yang dimaksudkan terkait dengan kematian Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan pada 8 Juli 2022 lalu.
Dalam kasus ini, Brigjen Hendra memang sempat memerintahkan skrining CCTV kepada bawahannya, Kombes Agus Nurpatria atas perintah Ferdy Sambo.
Saat itu, Brigjen Hendra meminta agar bawahannya itu mengambil CCTV yang penting saja.
"Terbukti bahwa Kombes Agus Nurpatria melaporkan kepada terdakwa bahwa anak buah Acay melaporkan ada 20 CCTV dan terbukti bahwa terdakwa memerintahkan kepada Kombes Agus Nurpatria agar jangan semuanya, yang penting-penting saja," ujar Kuasa Hukum Brigjen Hendra Kurniawan saat membacakan pleidoi kliennya dalam persidangan di PN Jakarta Selatan, Jumat (3/2/2023).
Menurut kuasa hukum, fakta tersebut menunjukkan Brigjen Hendra Kurniawan diklaim memerintahkan mengambil dan mengganti DVR CCTV itu hanya untuk kepentingan penyidikan kasus kematian Brigadir J.
"Bahwa perintah terdakwa untuk melakukan skrining terhadap yang penting-penting saja harus dimaknai dalam kaitannya dengan pelaksanaan perintah dengan itikad baik untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan dengan sama sekali menaruh kecurigaan apa yang disampaikan Ferdy Sambo adalah suatu kebohongan," tukasnya.
Sebagai informasi, dalam perkara perintangan penyidikan tewasnya Brigadir J, jaksa penuntut umum sudah menuntut enam terdakwa dengan pidana penjara dan juga denda.
Tuntutan terhadap enam terdakwa OOJ dibacakan dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jumat (27/1/2023).
Keenam terdakwa itu merupakan mantan anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri), yaitu: Mantan Karo Paminal Divropam, Hendra Kurniawan; Mantan Kaden A Ropaminal Divpropam, Agus Nurpatria; Mantan Wakaden B Biro Paminal Propam Polri, Arif Rachman Arifin, Mantan Staf Pribadi (Spri) Ferdy Sambo, Chuck Putranto; Mantan Kasubbagriksa Baggak Etika Rowabprof Divpropam, Baiquni Wibowo; dan Mantan Kasubnit I Subdit III Dittipidum Bareskrim, Irfan Widyanto.
Mereka telah dituntut hukuman penjara dengan durasi kurungan yang berbeda. Untuk terdakwa Hendra Kurniawan dan Agus Nurpatria jaksa menuntut keduanya dengan tuntutan tertinggi dari terdakwa lain, yakni tiga tahun penjara.
Kemudian Chuck Putranto dan Baiquni Wibowo dituntut dua tahun penjara. Sementara Arif Rachman Arifin dan Irfan Widyanto telah dituntut dengan pidana penjara terendah di antara para terdakwa OOJ, yakni satu tahun penjara.
Tuntutan penjara itu belum termasuk pengurangan masa penahanan yang telah dijalani mereka sebagai tersangka.
Baca juga: Dituntut 3 Tahun, Loyalitas dan Berprestasi Jadi Penilaian Jaksa Ringankan Dakwaan Hendra Kurniawan
"Menjatuhkan kepada terdakwa dengan pidana penjara dikurangi masa tahanan dan perintah agar tetap ditahan," kata jaksa penuntut umum dalam persidangan, Jumat (27/1/2023).
Diketahui, para terdakwa telah menjadi tahanan sejak ditetapkan sebagai tersangka pada Agustus 2022 lalu.
Artinya, jika Majelis Hakim mengabulkan tuntutan JPU, maka hukuman penjara para terdakwa berkurang lima bulan.
Tak hanya hukuman penjara, para terdakwa OOJ juga dituntut untuk membayar denda puluhan juta rupiah.
Hendra Kurniawan dan Agus Nurpatria merupakan terdakwa yang dituntut membayar denda tertinggi, sebesar Rp 20 juta. Sementara empat lainnya dituntut membayar denda Rp 10 juta.
Kemudian para terdakwa juga dituntut membayar biaya administrasi perkara sebesar Rp 5 ribu.
Dalam tuntutannya, tim JPU menyebut bahwa para terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum yang menybabkan terganggunya sistem elektronik.
Oleh sebab itu, JPU memohon agar Majelis Hakim menetapkan bahwa para terdakwa bersalah dalam putusan nanti.
"Menuntut agar supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindak apapun yang berakibat terganggunya sistem elektronik," ujar jaksa penuntut umum.
JPU pun telah menuntut para terdakwa berdasarkan dakwaan primer, yaitu Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.