Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Fakta Menarik Kesimpulan Hakim di Sidang Vonis Ferdy Sambo: Tak Ada Pelecehan, Sambo Ikut Nembak

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengesampingkan alasan pelecehan seksual yang disebut dialami Putri Candrawathi oleh Brigadir J

Penulis: Muhammad Zulfikar
zoom-in Fakta Menarik Kesimpulan Hakim di Sidang Vonis Ferdy Sambo: Tak Ada Pelecehan, Sambo Ikut Nembak
Kolase Tribunnews
kolase foto Ferdy Sambo, ilustrasi vonis hakim dan Putri Candrawathi. Berikut Tribunnews.com rangkum fakta-fakta menarik di sidang vonis Ferdy Sambo seperti tak ada fakta pelecehan seksual hingga Ferdy Sambo ikut tembak Brigadir J pakai sarung tangan hitam. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak menemukan fakta pelecehan seksual yang dilakukan Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J terhadap istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi.

Hal tersebut diungkap Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Wahyu Iman Santoso saat membacakan poin-poin pertimbangan sebelum menjatuhkan vonis terhadap Fedy Sambo.

Majelis Hakim membacakan putusan untuk terdakwa eks Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo, dalam perkara pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023).

Baca juga: VIDEO Ironi Ferdy Sambo, Klaim Putri Candrawathi Korban Kekerasan Seksual Tapi Enggan Bawa Visum

Berikut Tribunnews.com rangkum fakta-fakta menarik di sidang vonis Ferdy Sambo:

Kesampingkan Alasan Putri Candrawathi Jadi Korban Pelecehan Seksual Brigadir J

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengesampingkan alasan pelecehan seksual yang disebut dialami Putri Candrawathi oleh Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Hal ini diungkap Hakim Ketua, Wahyu Iman Santoso dalam sidang putusan atas terdakwa Ferdy Sambo, Senin (13/2/2023).

Berita Rekomendasi

"Sehingga terhadap adanya alasan demikian (pelecehan seksual) patut dikesampingkan," kata Wahyu.

Wahyu menerangkan dalam kasus ini, pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi tidak bisa dibuktikan secara hukum.

"Dengan demikian motif adanya kekerasan seksual yang dilakukan oleh korban Nofriansyah Yosua Hutabarat terhadap Putri Candrawathi tidak dapat dibuktikan menurut hukum," ucapnya.

Baca juga: Majelis Hakim Sebut Pengakuan Ferdy Sambo Tak Niat Bunuh Yosua Hanyalah Bantahan Kosong Belaka

Wahyu meyakini motif dalam kasus ini karena adanya perasaan sakit hati Putri Candrawathi atas sikap atau perbuatan Brigadir J.

"Sehingga motif yang lebih tepat menurut majelis hakim adanya perbuatan atau sikap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat, di mana perbuatan atau sikap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat tersebut yang menimbulkan perasaan sakit hati yang begitu mendalam terhadap Putri Candrswathi," tuturnya.

Putri Candrawathi Terindikasi Bohong

Majelis hakim turut memasukkan hasil poligraf atau tes kebohongan dalam pertimbangan hukum vonis untuk terdakwa eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso mengatakan berdasarkan hasil tes poligraf terhadap Putri Candrawathi, yang bersangkutan mendapat hasil minus 25 atau terindikasi berbohong atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

"Hasil ahli poligraf Putri Candrawathi mendapat nilai minus 25 atau terindikasi berbohong terhadap pertanyaan yang diajukan kepadanya," kata hakim di persidangan.

Selain itu, hakim menyebut dalil telah terjadinya kekerasan seksual yang dilakukan Brigadir J terhadap istri Sambo, Putri Candrawathi juga tidak tercermin dari perilaku Putri.

Diketahui Sambo merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir J diawali dengan cerita Putri yang disebut mendapat kekerasan seksual dari Brigadir J di Magelang. Atas cerita Putri tersebut, Sambo naik pitam sehingga merencanakan pembunuhan.

Namun hakim mengatakan perilaku Putri selaku korban kekerasan seksual justru bertentangan dengan umumnya profil korban kekerasan seksual.

"Perilaku Putri Candrawathi yang mengaku sebagai korban justru bertentangan dengan profil korban menuju proses pemulihan," kata hakim.

Baca juga: Hakim: Sambo Punya Pengalaman Penyidik 20 Tahun Tapi Enggan Bawa Putri Candrawathi Visum

Perilaku tersebut yakni tindakan Putri yang memanggil dan menemui pelaku yang dituduh melakukan kekerasan seksual terhadapnya, yakni Brigadir J. Putri memanggil Brigadir J ke kamarnya dan berbicara secara empat mata.

Menurut hakim tindakan tersebut terlalu cepat bagi seorang korban kekerasan seksual bisa berdamai dengan pelaku, dan keadaan.

"Tindakan Putri memanggil dan menemui almarhum Nofriansyah Yosua Hutabarat di kamarnya adalah terlalu cepat untuk seorang korban kekerasan seksual terhadap pelaku kekerasan seksual tersebut," katanya.

Padahal lanjut hakim, trauma akibat tindak pidana kekerasan seksual membutuhkan waktu panjang untuk sembuh. Bahkan ada beberapa kasus kekerasan seksual yang korbannya menyerah sehingga mengakhiri hidupnya.

Profil dari korban kekerasan seksual ini berbanding terbalik dengan sikap yang ditunjukkan Putri menemui pelaku yang melakukan kekerasan seksual kepadanya.

"Trauma akibat tindak pidana kekerasan seksual membutuhkan waktu yang cukup panjang, tidak bisa sekejap mata, bahkan tidak jarang ada korban yang menyerah sehingga korban mengakhiri hidupnya," jelas hakim.

Ferdy Sambo Ikut Tembak Brigadir J Pakai Sarung Tangan Hitam

Majelis Hakim meyakini bahwa terdakwa Ferdy Sambo turut menembak Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dalam peristiwa naas tersebut.

Hal ini disampaikan Ketua Majelis Hakim Wahyu Imam Santoso dalam sidang vonis terdakwa Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023).

Hakim Wahyu menyampaikan bahwa Ferdy Sambo menembak ke arah dinding menggunakan senajata api jenis HS, kemudian turut menembak Brigadir J memakai sarung tangan berwarna hitam.

"Menimbang bahwa mengenai terdakwa membawa dan menembakkan ke dinding atau tembok menggunakan senjata api jenis HS milik korban Yosua, serta terdakwa melakukan penembakan terhadap korban Yosua menggunakan sarung tangan hitam," kata Hakim Wahyu, dalam sidang vonis terdakwa Ferdy Sambo.

Perasaaan Sakit Hati Putri Candrawathi Munculkan Meeting Of Mind Singkirkan Brigadir J

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyampaikan perasaan sakit hati Putri Candrawathi munculkan 'meeting of mind' para terdakwa menyingkirkan Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J hingga tewas.

Baca juga: Majelis Hakim Sebut Sejak Awal Tujuan Ferdy Sambo Menghilangkan Nyawa Brigadir J

Hal tersebut diungkap Majelis PN Jakarta Selatan dalam sidang pembacaan vonis atau putusan terhadap terdakwa Ferdy Sambo atas kasus pembunuhan berencana Brigadir J di PN Jakarta Selatan pada Senin (13/2/2023).

Awalnya, Hakim Ketua PN Jakarta Selatan, Wahyu Iman Santoso menyampaikan bahwa para terdakwa telah terpicu omongan Putri Candrawathi yang mengaku dilecehkan oleh Brigadir J.

"Mendengar cerita Putri Candrawathi yang seolah benar itu, kemudian para terdakwa meyakini telah terjadi kekerasan seksual atau bahkan lebih dari itu terhadap Putri Candrawathi oleh korban Yosua, sehingga membuat terdakwa sakit hati," ujar Hakim Wahyu saat membacakan amar putusan di PN Jaksel, Senin (13/2/2023).

Karena itu, Hakim Wahyu pun menyatakan para terdakwa melakukan meeting of mind untuk melakukan upaya penyingkiran terhadap Brigadir J.

"Menimbang bahwa karena perasaan sakit hati Putri Candrawathi tersebut terungkap adanya meeting of mind para terdakwa untuk menyingkirkan korban Nofriansyah Yosua Hutabarat," jelas Hakim Wahyu.

Sejak Awal Tujuan Ferdy Sambo Menghilangkan Nyawa Brigadir J

Majelis hakim mengatakan terdakwa Ferdy Sambo sejak awal sudah punya kehendak untuk menghilangkan nyawa Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Dalam pertimbangan hukum pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023), Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso menyampaikan bahwa jika terdakwa tidak menghendaki matinya Brigadir J maka permintaan penembakan dan backup cukup sampai di saksi Ricky Rizal.

Namun saat Ricky Rizal menolak, Ferdy Sambo justru mencari orang lain yang dapat melancarkan kehendaknya dengan memanggil saksi Richard Eliezer alias Bharada E.

"Karena tujuan terdakwa dari semula adalah matinya Nofriansyah Yosua Hutabarat maka saksi Richard dipanggil untuk mewujudkan kehendak terdakwa menghilangkan nyawa korban Yosua tersebut," kata hakim.

Baca juga: Gunakan Sarung Tangan Hitam, Hakim Meyakini Ferdy Sambo Lakukan Penembakan Kepada Brigadir J 

Majelis hakim menyebut bahwa klaim Sambo yang memerintahkan hajar bukan tembak kepada Richard Eliezer adalah keterangan atau bantahan kosong belaka.

Hakim meragukan keterangan Sambo tersebut lantaran sejak awal sudah diperlihatkan bahwa terdakwa memang berniat untuk menghabisi Brigadir J.

"Majelis hakim meragukan keterangan terdakwa yang hanya menyuruh saksi Richard untuk mem-backup atau mengatakan 'hajar card' pada saat itu. Karena menurut majelis hakim hal itu merupakan keterangan atau bantahan kosong belaka," kata hakim.

Sebagai informasi, dalam perkara ini jaksa penuntut umum (JPU) telah menuntut seluruh terdakwa.

Mantan Kadiv Propam Polri sekaligus otak dari rencana pembunuhan Brigadir J, Ferdy Sambo dituntut hukuman penjara seumur hidup. Sementara sang istri yakni Putri Candrawathi dituntut pidana 8 tahun penjara.

Kepada Ferdy Sambo, jaksa tidak menemukan adanya hal yang meringankan serta tidak adanya alasan pembenar dan pemaaf dalam diri mantan Kadiv Propam Polri itu.

"Bahwa dalam persidangan pada diri terdakwa Ferdy Sambo tidak ditemukan adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf yang dapat menghapus sifat melawan hukum serta kesalahan Terdakwa Ferdy Sambo," kata jaksa dalam tuntutannya yang dibacakan pada sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (17/1/2023).

Atas hal itu, terdakwa Ferdy Sambo harus diwajibkan menjalani pertanggungjawaban pidananya atas kasus tersebut.

Sehingga menurut jaksa, tidak ada dasar dari penuntut umum untuk membebaskan Ferdy Sambo dari jerat hukum.

"Bahwa Terdakwa Ferdy Sambo tersebut dalam kesehatan jasmani dan rohani serta tidak diketemukan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf yang membebaskan dari segala tuntutan hukum atas perbuatannya sebagaimana pasal 44 sampai 51 KUHP maka terhadap Terdakwa Ferdy Sambo SH, S.iK MH harus lah dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya," tukas jaksa.

Sementara kepada terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, jaksa menuntut pidana 12 tahun penjara.

Selanjutnya untuk kedua terdakwa lainnya yakni Bripka RR dan Kuat Ma'ruf sama-sama dituntut delapan tahun penjara.

Jaksa menyatakan, seluruh terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama yang membuat nyawa seseorang meninggal dunia sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 340 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Baca juga: Majelis Hakim Sebut Sejak Awal Tujuan Ferdy Sambo Menghilangkan Nyawa Brigadir J

Tuntutan-tuntutan itu kemudian disanggah oleh para terdakwa melalui sidang agenda pembacaan pleidoi.

Secara umum, pleidoi para terdakwa memuat bantahan-bantahan atas kesimpulan JPU yang tertuang di dalam materi tuntutan.

Mereka juga memohon agar Majelis Hakim membebaskannya dari tuntutan.

Terkait pleidoi itu, jaksa juga melayangkan bantahan dalam replik.

Secara garis besar, jaksa menolak pleidoi para terdakwa karena dianggap tidak memiliki dasar yuridis yang kuat.

"Uraian pledoi tersebut tidaklah memiliki dasar yuridis yang kuat yang dapat digunakan untuk menggugurkan surat tuntutan tim penuntut umum," kata jaksa dalam persidangan pada Jumat (27/1/2023).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas