Upaya Banding, KUHP Baru, Moratorium hingga Grasi akan Selamatkan Ferdy Sambo dari Eksekusi Mati?
Eksekusi mati pun terakhir kali terlaksana di Indonesia pada tahun 2016 atas nama Freddy Budiman, terpidana kasus narkoba
Penulis: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo telah divonis hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Selatan terkait pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Pihak Ferdy Sambo tentunya tidak akan tinggal diam dan tentunya akan mengambil langkah untuk mengajukan banding dengan harapan tidak divonis mati oleh hakim banding.
Kubu Ferdy Sambo menyatakan mempertimbangkan mengajukan banding atas putusan atau vonis hukuman mati yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Iya (ajukan banding)," kata Kuasa Hukum Ferdy Sambo, Arman Hanis sambil mengangguk di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023).
Arman Hanis mengaku pihaknya akan mempertimbangkan langkah hukum untuk membela kliennya dalam kasus pembunuhan terhadap Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J tersebut.
Meski begitu, Arman menekankan sedari awal dirinya tidak berharap banyak dalam persidangan tersebut.
Baca juga: KUHP Baru Bisa Bikin Hukuman Mati Ferdy jadi Penjara Seumur Hidup? Ini Penjelasannya
"Kan dari awal saya sudah ngomong juga, saya tidak berharap banyak kok di dalam persidangan ini. Mungkin bisa diputar dalam wawancara saya yang dulu," katanya.
Pakar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho mengatakan, meskipun mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo telah divonis hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Selatan terkait pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J tidak serta merta dieksekusi dalam waktu dekat.
Dalam pelaksanaan hukum mati pada kenyataannya masih jarang terjadi di Indonesia, termasuk ketika putusan telah inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
Kalaupun toh nantinya hukuman mati berkekuatan hukum tetap, pelaksanaan eksekusi mati pada kenyataannya masih jarang terjadi di Indonesia, termasuk ketika putusan telah inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
Nyatanya, masih banyak terpidana hukuman mati yang tak kunjung dieksekusi.
Hal tersebut karena adanya moratorium atau penangguhan.
"Kalau bisa lihat, di Indonesia ini ada ratusan yang menunggu pidana mati, tapi tidak mati-mati. Tampaknya, sampai detik ini politik eksekusi pidana mati ini masih moratorium," ujar Pakar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho saat dihubungi Tribunnews.com pada Senin (13/2/2023).
Baca juga: Hukuman Mati Ferdy Sambo Menurut Mahfud MD Sudah Tepat, Ini Alasannya
Eksekusi mati pun terakhir kali terlaksana di Indonesia pada tahun 2016 atas nama Freddy Budiman, terpidana kasus narkoba.
"Setelah itu tidak pernah terjadi lagi. Nah ini yang juga menjadi perhatian," kata Hibnu.
Kemudian hadirnya KUHP baru, dianggap Hibnu dapat semakin menjauhkan peluang eksekusi mati terlaksana bagi para terpidananya, termasuk Ferdy Sambo.
Sebab dalam Pasal 100 ayat 1 KUHP baru, termaktub bahwa pidana mati memiliki masa percobaan 10 tahun dengan syarat terpidana memiliki rasa penyesalan dan harapan untuk memperbaiki diri.
"KUHP baru, mati itu menjadi pidana bersyarat. Ketika syarat seseorang itu sudah baik dalam sekian tahun, menjadi tidak eksekusi mati," katanya.
Pandangan yang mirip juga disampaikan Juru Bicara Tim Sosialisasi KUHP, Albert Aries.
Ia menjelaskan bahwa bagi terpidana mati yang perkaranya telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah sebelum awal Januari 2026 dan belum dieksekusi, akan diberlakukan ketentuan Pasal 3.
"Bagi terpidana mati yang perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) sebelum awal Januari 2026 nanti (daya laku KUHP Nasional), tetapi masih belum dilaksanakan eksekusinya, maka berlakulah ketentuan Pasal 3 KUHP Nasional (lex favor reo)," kata Albert kepada Tribunnews.com melalui keterangan tertulis, Senin (13/2/2023).
Baca juga: Psikolog Forensik Minta Rutan Diminta Jaga Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, Ada Apa?
"Yang menyatakan dalam hal terjadinya perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan itu terjadi, diberlakukan peraturan yang baru, kecuali peraturan yang lama 'menguntungkan' bagi pelaku," jelasnya.
Kata Albert, hal ini didasarkan pada paradigma pidana mati dalam KUHP Nasional sebagai pidana yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif (Pasal 67 KUHP Nasional) untuk menjadi jalan tengah bagi kelompok yang pro (retentionis) dan kontra (abolitionis) terhadap pidana mati.
Oleh karena itu, lanjutnya, terhadap para terpidana mati yang belum dieksekusi saat berlakunya KUHP Nasional akan berlaku ketentuan “transisi” yang nanti akan diatur dalam Peraturan Pemerintah untuk menghitung “masa tunggu” yang sudah dijalani.
Juga asesmen yang dipergunakan untuk menilai adanya perubahan sikap dan perbuatan terpuji dari terpidana mati tersebut.
"Sehingga ketentuan ini, jangan dimaknai bahwa dengan berlakunya KUHP Nasional akan membuat pelaksanaan pidana mati menjadi hapus ya, karena segala sesuatunya tetap akan dinilai secara objektif melalui assesment yang diatur dalam Peraturan Pemerintah," ujar Albert.
Albert mengungkapkan bahwa saat KUHP Nasional berlaku nanti, maka akan membuka peluang bagi terpidana mati untuk mengajukan grasi kepada presiden.
"Jikalau permohonan grasi terpidana mati itu ditolak dan pelaksanaan eksekusinya belum juga dilaksanakan dalam waktu 10 tahun, maka dengan keputusan presiden, pidana mati tersebut dapat menjadi seumur hidup (Pasal 101)," terang Albert.
Keluarga Inginkan Ferdy Ajukan Banding
Perwakilan keluarga Ferdy Sambo berniat mengajukan banding terkait vonis mati yang diketok oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Kami berharap dipersilakan persidangan banding dan kasasi. Kita berharap bisa terkoreksi mudah-mudahan," ujar perwakilan keluarga Sambo yang enggan disebutkan namanya ditemui usai persidangan di PN Jakarta Selatan pada Senin (13/2/2023).
Ia menuturkan bahwa vonis hukuman mati nantinya tak hanya berimbas kepada Ferdy Sambo.
Akan tetapi, anak-anak Eks Kadiv Propam Polri itu yang akan kehilangan sosok sang ayah.
"Karena kan hukuman mati itu tidak hanya berimbas kepada tersangka anaknya pun juga kan kalaupun misalnya seumur hidup anaknya bisa berdiskusi dengan orang tuanya ketika menjenguk ditahanan masih bisa bertanya bagaimana saya menjalani hidup. Tapi kalau kondisi vonis mati kan kasihan juga," jelasnya.
Lebih lanjut, pihak keluarga Ferdy Sambo menyatakan bahwa sejatinya tuntutan yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yaitu penjara seumur hidup telah berat sehingga tak perlu vonis hukuman mati.
"Saya secara pribadi ya lebih banyak berpikir bagaimana anak-anaknya ke depan dan kita ini makhluk sosial bukan makhluk tambah satu tambah satu sama dengan dua. Kita ini makhluk sosial jadi kita selalu dihadapi dengan kondisi mudah-mudahan anaknya kuat saya pikir kalau Pak Ferdy dia siap tapi anaknya mudah-mudahan kuat hadapi keputusan ini," katanya.
Baca juga: Ferdy Sambo Sudah Siap Dapat Hukuman Paling Tinggi, Tapi Tidak Ikhlas Dihukum Mati
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis mati terhadap eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.
Baca juga: Divonis Hukuman Mati, Kubu Ferdy Sambo Masih Rahasiakan Langkah Hukum Selanjutnya
Ferdy Sambo dinilai hakim terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J di rumah dinasnya, Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, pada 8 Juli 2022 lalu.
Vonis mati terhadap Ferdy Sambo diketahui lebih berat dari tuntutan jaksa yang hanya menuntunya dengan penjara seumur hidup.
"Menyatakan, mengadili terdakwa Ferdy Sambo SH. SiK MH, dipidana mati," kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Jakarta Selatan Wahyu Iman Santoso dalam persidangan, Senin (13/2/2023).
Lebih lanjut, Hakim menyatakan perbuatan terdakwa Ferdy Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana turut serta merampas nyawa seseorang dengan perencanaan terlebih dahulu sebagaimana yang didakwakan.
"Menyatakan terdakwa Ferdy Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak merusak sistem informasi sehingga tidak bekerja semestinya," kata hakim Wahyu Iman santoso.
Dalam putusannya majelis hakim menyatakan, Ferdy Sambo bersalah melanggar Pasal 340 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan primer dari jaksa penuntut umum (JPU).
Tak hanya itu, Ferdy Sambo juga dinyatakan bersalah melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dalam kasus dugaan perintangan penyidikan atau obstraction of justice tewasnya Brigadir J.
Berikut sejumlah fakta hukum yang membuat Ferdy Sambo dijatuhi vonis mati:
1. Motif Pembunuhan Bukan Pelecehan, Tapi Sakit Hati
Dalam putusannya, hakim mengesampingkan alasan pelecehan seksual yang disebut sebelumnya disebut dilakukan Brigadir J terhadap Putri Candrawathi.
"Sehingga terhadap adanya alasan demikian (pelecehan seksual) patut dikesampingkan," kata hakim Wahyu.
Wahyu menerangkan dalam kasus ini, pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi tidak bisa dibuktikan secara hukum.
"Dengan demikian motif adanya kekerasan seksual yang dilakukan oleh korban Nofriansyah Yosua Hutabarat terhadap Putri Candrawathi tidak dapat dibuktikan menurut hukum," ucapnya.
Wahyu meyakini motif dalam kasus ini karena adanya perasaan sakit hati Putri Candrawathi atas sikap atau perbuatan Brigadir J.
"Sehingga motif yang lebih tepat menurut majelis hakim adanya perbuatan atau sikap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat, di mana perbuatan atau sikap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat tersebut yang menimbulkan perasaan sakit hati yang begitu mendalam terhadap Putri Candrswathi," tuturnya.
Hakim pun menilai ada upaya pembenaran terhadap pembunuhan Brigadir J lewat dalil kekerasan seksual terhadap Putri Candrawathi.
Hakim Wahyu Iman Santoso menyampaikan pembenaran tersebut dilakukan melalui rekomendasi hasil psikologis forensik terhadap Putri Candrawathi dan para terdakwa.
"Seolah-olah kekerasan seksual merupakan tindakan pembenaran atas perbuatan yang dilakukan oleh para terdakwa terhadap almarhum Nofriansyah Yosua Hutabarat," ujar Hakim Wahyu.
Padahal, kata Wahyu, tindak pidana kekerasan seksual itu sendiri tidak memiliki bukti fisik yang nyata seperti rekam medis.
Menurutnya, hasil rekomendasi psikologis forensik juga tak ada satu pun yang menunjukkan kondisi psikologis dari keluarga Brigadir J.
"Tidak ada satu pun rekomendasi kondisi psikologis terhadap keluarga korban. Padahal, mereka juga ikut diteliti dan diperiksa oleh psikologis forensik tersebut. Dan keluarga korban belum bisa meninggalkan kesedihan atas meninggalnya almarhum Nofriansyah Yosua Hutabarat," jelasnya.
Karena itu, Wahyu menyampaikan bahwa hasil psikologis forensik tersebut patut untuk dikesampingkan dalam persidangan pembunuhan Brigadir J.
"Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, maka hasil pemeriksaan psikologis forensik patut dikesampingkan," jelasnya.
Selain itu, Hakim pun mengatakan berdasarkan hasil tes poligraf terhadap Putri Candrawathi, yang bersangkutan mendapat hasil minus 25 atau terindikasi berbohong atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
"Hasil ahli poligraf Putri Candrawathi mendapat nilai minus 25 atau terindikasi berbohong terhadap pertanyaan yang diajukan kepadanya," kata hakim di persidangan.
Selain itu, hakim menyebut dalil telah terjadinya kekerasan seksual yang dilakukan korban terhadap istri Sambo, Putri Candrawathi juga tidak tercermin dari perilaku Putri Candrawathi juga tidak tercermin dari perilaku Putri.
2. Ferdy Sambo Persiapkan Lokasi dan Alat untuk Habisi Brigadir J
Majelis Hakim menyatakan bahwa Ferdy Sambo dalam eksekusi Brigadir sudah mempersiapkan lokasi hingga alat yang akan digunakan.
"Majelis hakim menyimpulkan bahwa terdakwa telah memikirkan bagaimana cara melakukannya pembunuhan tersebut terdakwa masih bisa memilih lokasi, alat yang akan digunakan dan terdakwa menggerakkan lain orang untuk membantunya," kata hakim di persidangan.
Majelis Hakim menilai Ferdy Sambo sudah memiliki niat dari awal untuk menghabisi nyawa Brigadir J.
Hal tersebut sesuai dengan sikap Ferdy Sambo yang memanggil Richard Eliezer setelah Ricky Rizal menyatakan tak siap menembak.
"Terdakwa dalam melakukan niatnya, saksi Ricky Rizal hingga perkataan tembak Joshua kalau melawan serta memanggil saksi Richard dengan mengatakan hal yang sama," lanjut hakim.
Majelis hakim melanjutkan lebih dari itu adanya skenario seakan-akan kejadian sebelum atau sesudah penembakan kekerasan menjadi tembak menembak menjadi bagian tindakan Putri Candrawathi dan membela diri.
Semuanya sudah dirancang dan dipikirkan baik dan tenang tidak tergesa-gesa atau tiba-tiba.
"Tidak pula dalam keadaan terpaksa atau emosional yang tinggi indikatornya adalah sebelum memutuskan kehendak membunuh itu sudah dipikirnya bahkan jalan keluar seperti susunan skenario sudah dirancangnya," sambungnya.
Majelis hakim menegaskan hasil dari proses pemikiran terdakwa tersebut kemudian dijalankan dengan tujuan diinginkan yaitu kematian Yoshua Hutabarat.
Majelis hakim pun menyatakan, pemikiran yang rapih itu diawali dengan upaya Ferdy Sambo mengisi amunisi peluru milik Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E.
"Menimbang bahwa kemudian terdakwa mengambil kotak peluru dan memberikan satu kotak peluru kepada saksi Richard karena senjata Richard pada saat itu masih ada 7 amunisi peluru," kata Hakim Wahyu dalam persidangan di PN Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023).
Lebih lanjut, Ferdy Sambo juga kata majelis hakim memerintahkan kepada Bharada E untuk mengambil senjata HS milik morban Nofriansyah Yoshua Hutabarat dalam dashboard mobil LM.
Keterangan itu juga dibenarkan oleh Ferdy Sambo yang menurut majelis hakim menjadi salah satu upaya dari mantan Kadiv Propam Polri itu untuk menanamkan keyakinan untuk membunuh Brigadir J.
"Sehingga tidak ada keraguan bagi saksi Richard Eliezer Pudihang Lumiu untuk tidak melaksanakan perintah Terdakwa," kata Hakim Wahyu.
Dengan adanya fakta tersebut, Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso meyakini kalau perbuatan Ferdy Sambo memang sudah direncanakan dan dipikirkan.
Bahkan, Ferdy Sambo disebut telah memikirkan rencana pembunuhan Brigadir J dengan rapih dan sistematis.
"Menimbang bahwa terlebih lagi saat Terdakwa menyuruh saksi Richard untuk menambahkan peluru dalam senjatanya serta mengambil senjata HS milik korban kepada terdakwa. Hal ini diartikan bahwa terdakwa telah memikirkan segala sesuatunya yang sangat rapih dan sistematis," tukas Hakim Wahyu.
3. Hakim Simpulkan Ferdy Sambo Ikut Tembak Brigadir J
Majelis Hakim pun menyatakan bahwa Ferdy Sambo menembak Brigadir Yosua dengan senjata api jenis glock.
"Berdasarkan barang bukti dan ahli Arif Sumirat, keterangan Rifaizal Samuel, serta keterangan saksi Richard Eliezer dapat disimpulkan fakta," kata Majelis Hakim di persidangan.
Majelis hakim melanjutkan terdakwa pada saat di tempat kejadian perkara diketahui membawa senjata api di pinggang kanannya.
Terdakwa memiliki satu pucuk senjata merk jenis Glock 17 Austria dengan seri numb 135 dan dalam magazen di antaranya 5 butir peluru tajam warna silver merek ruger 9 milimeter.
"Dalam senjata magazen glock 17 Richard Eliezer yang digunakan untuk menembak Nofriansyah Yosua Hutabarat menyisakan 12 butir peluru dan telah dilakukan pemeriksaan 6 butir peluru merek pin 9CA, 5 butir peluru merk SMB 9x19 dan satu butir peluru merk luger Z7 9 mm. Dan peluru merk luger 9 mm identik sama dengan senjata dengan peluru yang dimiliki terdakwa saat dilakukan penyitaan," sambungnya.
Kemudian majelis hakim melanjutkan berdasarkan keterangan terdakwa Eliezer, Rifaizal, dan Adzan Romer, ahli Farah, dan ahli Sumirat.
"Majelis hakim memperoleh keyakinan yang cukup terdakwa telah melakukan penembakan terhadap Yosua dengan senjata jenis Glock yang pada waktu itu dilakukan terdakwa dengan menggunakan sarung tangan hitam," katanya.
4. Bantahan Ferdy Sambo Bohong Belaka
Majelis Hakim dalam putusannya menyampaikan bahwa pengakuan Ferdy Sambo soal perintah terhadap Bharada Richard Eliezer alias Bharada E hanyalah 'hajar Chad' merupakan bantahan kosong belaka.
Adapun Ferdy Sambo dalam nota pembelaannya ngotot bahwa perintah terhadap Bharada E bukan tembak kepada Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Akan tetapi, Sambo mengaku perintah itu hanyalah 'hajar Chad'.
"Berdasarkan fakta tersebut di atas, majelis hakim meragukan keterangan terdakwa yang hanya menyuruh saksi Richard untuk memback up atau mengatakan hajar Chad pada saat itu," ujar Hakim Wahyu.
Menurutnya, keterangan Sambo yang menyatakan perintah terhadap Bharada E bukanlah tembak hanyalah bantahan kosong belaka lantaran tidak sesuai dengan keterangan pembuktian dalam persidangan.
"Karena menurut majelis hakim hal itu merupakan keterangan atau bantahan kosong yang belaka. Mengingat yang dimaksudkan atau kehendak terdakwa itu hanya membackup saja, maka instruksi itu hanya di Ricky Rizal Wibowo dan terdakwa tidak perlu memanggil saksi Richard Lumiu," ungkapnya.
Lebih lanjut, Wahyu menyatakan, jika Ferdy Sambo tak niat membunuh Yosua, maka seharusnya Eks Kadiv Propam Polri itu tak mencari orang pengganti saat Ricky Rizal Wibowo menolak menembak Brigadir J.
"Begitu saksi Ricky Rizal mengatakan tidak sanggup menembak korban Nofriansyah Yosua Hutabarat karena tidak kuat mental. Akan tetapi, karena tujuan terdakwa dari semula matinya Nofriansyah Yosua Hutabarat maka saksi Richard dipanggil untuk mewujudkan kehendak terdakwa yang menghilangkan nyawa korban Yosua tersebut," katanya.
5. Putri Candrawathi Tahu Rencana Sambo Eksekusi Brigadir J
Majelis Hakim pun menilai bahwa terdakwa Putri Candrawathi mengetahui rencana eksekusi Brigadir J bakal dilakukan di Duren Tiga.
"Menimbang bahwa jika benar Putri Candrawathi akan melakukan isolasi mandiri karena protokol kesehatan dan adanya balita di dalam rumah. Menjadi pertanyaan mengapa saksi Susi tidak sekalian diajak bersama padahal diketahui Susi juga ikut berangkat dari Magelang menuju Jakarta," kata Majelis Hakim di persidangan.
Majelis hakim mengatakan hal itu berdasar keterangan Richard Eliezer, Daden, Romer, Ricky Rizal dan terdakwa sendiri di persidangan bahwa setelah penembakan korban Joshua.
"Saksi Ricky Rizal diperintahkan oleh terdakwa untuk mengantarkan pulang Putri Candrawathi ke rumah Saguling dengan menggunakan mobil Lexus LM," sambungnya.
Majelis hakim menilai jika tetap pada alasan protokol kesehatan dan ada anak balita di dalam rumah sambil menunggu hasil tes PCR keluar, seharusnya Putri Candrawathi tetap melakukan isolasi mandiri di rumah terdakwa di Jalan Bangka
"Faktanya Putri Candrawathi tetap tinggal di Saguling dari delapan Juli hingga selanjutnya," jelas Majelis Hakim.
Atas fakta itu Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Putri Candrawathi mengetahui rencana pembunuhan terhadap korban Nofriansyah di Duren Tiga.
"Menimbang bahwa dari uraian di atas Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Putri Candrawathi mengetahui rencana pembunuhan terhadap korban Nofriansyah akan dilakukan di rumah jalan Duren Tiga 46," katanya.
Selain itu, dalam rekaman CCTV menunjukkan keberadaan Putri Candrawathi bersama dengan Kuat Maruf naik lift ke lantai 3 rumah Saguling menunjukkan bahwa keduanya hendak menemui terdakwa Ferdy Sambo.
Walaupun waktunya terbilang cukup singkat, namun Majelis Hakim meyakini adanya pertemuan itu.
"Keberadaan Kuat Ma'ruf ke lantai 3 itu berdasarkan rekaman CCTV memang kurang lebih dari 3 menit, tapi Majelis Hakim meyakini saksi Kuat Maruf bersama Putri Candrawathi menemui terdakwa di lantai 3," kata Hakim Wahyu, dalam sidang vonis Ferdy Sambo. (Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama/Ashri Fadilla/Igman Ibrahim/Abdi Ryan)