KPK Tetapkan Eks Kakanwil BPN Riau M Syahrir Tersangka TPPU
KPK menetapkan mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau M Syahrir sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau M Syahrir sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Penetapan tersangka ini merupakan pengembangan dari penyidikan kasus dugaan suap terkait pengurusan dan perpanjangan hak guna usaha (HGU) di Kanwil BPN Provinsi Riau, yang telah lebih dulu menjerat Syahrir sebagai tersangka.
"Saat proses penyidikan perkara awal untuk tersangka MS (M Syahrir) berjalan, tim penyidik kembali menemukan adanya dugaan perbuatan pidana lain yang dilakukan oleh tersangka dimaksud yaitu pencucian uang," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (21/2/2023).
KPK mensinyalir Syahrir telah mengalihkan, membelanjakan, mengubah bentuk hingga menyembunyikan, maupun menyamarkan asal usul harta kekayaan yang berasal dari hasil korupsi.
Ali mengatakan penerapan pasal dugaan TPPU ini juga dalam rangka untuk dilakukannya pemulihan aset atau asset recovery.
Baca juga: KPK Kasasi Putusan Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin
"Pengumpulan alat bukti di antaranya pemeriksaan saksi-saksi saat ini sedang dilakukan," kata Ali.
Dalam kasus suap, M Syahrir diduga menerima suap sebesar 120.000 dolar Singapura (setara dengan Rp1,2 miliar) dari kesepakatan Rp3,5 miliar terkait perpanjangan HGU PT Adimulia Agrolestari (AA).
Uang Rp 1,2 miliar itu bersumber dari kas PT AA dan diserahkan General Manager PT AA Sudarso di rumah dinas Syahrir pada September 2021.
Selain itu, dalam kurun waktu September 2021 hingga 27 Oktober 2021, Syahrir juga menerima aliran sejumlah uang baik melalui rekening bank pribadi maupun atas nama beberapa pegawai BPN sejumlah Rp791 juta yang berasal dari pemegang saham PT AA Frank Wijaya.
Baca juga: Pimpinannya Gugat Batasan Usia, KPK Nilai DPR dan Pemerintah Punya Kewenangan Tentukan Persyaratan
Tak hanya itu, pada kurun waktu tahun 2017 sampai dengan tahun 2021, Syahrir juga diduga menerima gratifikasi sejumlah sekitar Rp9 miliar dalam jabatannya selaku Kepala Kanwil BPN di beberapa provinsi
M Syahrir sebagai penerima melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus dugaan suap ini melibatkan pemegang saham PT AA Frank Wijaya yang sudah lebih dulu ditahan KPK di Rutan Polres Jakarta Selatan.
Baca juga: Brigita Manohara Kembalikan Duit Rp 480 juta dari Ricky Ham Pagawak, KPK: Tak Hapus Pidana
Sementara Sudarso saat ini tengah menjalani penahanan di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat terkait kasus lain.
Adapun kasus ini merupakan pengembangan dari perkara yang menjerat Bupati Kuantan Singingi (Kuansing) Andi Putra, dimana ia telah divonis dengan pidana 5 tahun dan 7 bulan penjara serta pidana denda Rp200 juta subsider empat bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pekanbaru.
Andi Putra dinilai terbukti menerima suap terkait dengan pengurusan perpanjangan izin HGU PT AA.
Suap diberikan oleh Sudarso yang telah divonis dengan pidana 2 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan.
Namun, kasus itu belum inkrah karena jaksa KPK dan Andi Putra mengajukan banding.