Kesimpulan Komnas HAM RI: 8 Hak Asasi Manusia Dilanggar Dalam Kasus Gagal Ginjal Akut
Komnas HAM RI mengumumkan hasil proses pemantauan dan penyelidikan terhadap kasus gagal ginjal akut.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas HAM RI mengumumkan hasil proses pemantauan dan penyelidikan terhadap kasus gagal ginjal akut atau Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) di Indonesia yang telah menelan korban ratusan anak.
Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM RI Anis Hidayah mengatakan satu di antara kesimpulan tersebut adalah adanya delapan hak asasi manusia yang dilanggar dalam kasus tersebut.
Pertama, adalah Hak untuk Hidup.
Kedua, Hak atas Kesehatan.
Ketiga, Hak Anak.
Keempat, Hak Memperoleh Keadilan.
Baca juga: Singgung Dua Kasus Baru Dugaan Gangguan Ginjal Akut di Jabar, Menkes: Indikasi Sementara Infeksi
Kelima, Hak atas Kesejahteraan, yaitu Hak atas Pekerjaan dan Hak atas Jaminan Sosial.
Keenam, Hak atas Informasi.
Ketujuh, Hak Konsumen.
Baca juga: Muncul Kasus Baru Gangguan Ginjal Akut Pada Anak, Kemenkes Imbau Waspada Pemakaian Obat Sirup
"Kedelapan, pelanggaran terhadap prinsip bisnis dan hak asasi manusia," kata Anis saat konferensi pers di kantor Komnas HAM RI Jakarta Pusat pada Sabtu (11/3/2023).
Selain itu, kata dia, Komnas HAM juga menyimpulkan pemerintah tidak transparan dan tanggap dalam proses penanganan kasus GGAPA di Indonesia, terutama dalam memberikan informasi yang tepat dan cepat kepada publik dalam rangka meningkatkan kewaspadaan serta meminimalisir dan mencegah bertambahnya korban.
Kemudian, lanjut dia, kebijakan dan tindakan surveilans kesehatan atau penyelidikan epidemiologis yang dilakukan Pemerintah tidak efektif menemukan faktor penyebab kasus GGAPA sehingga tidak dapat meminimalisir atau mencegah lonjakan kasus serta jatuhnya korban jiwa yang lebih banyak.
Baca juga: Kemenkes Ungkap Kondisi 11 Pasien Gangguan Ginjal Akut yang Masih Dirawat
Selanjutnya, kata dia, Komnas HAM juga menyimpulkan kebijakan dan tindakan pengawasan terhadap sistem kefarmasian baik itu dari aspek produksi maupun peredaran obat tidak dilakukan secara efektif oleh pemerintah sehingga menyebabkan keracunan disertai kematian dan dampak lanjutan terhadap ratusan anak-anak.
Berikutnya, kata dia, kebijakan atau tindakan dalam penanganan dan pemulihan korban atau keluarga korban tidak dilakukan secara cepat dan komprehensif sehingga korban atau keluarga korban mengalami dampak lanjutan yang memprihatinkan.
"Dalam beberapa kasus yang kita datangi pada keluarga korban, tiga keluarga yang kami datangi, itu sebagian di antara mereka orang tuanya terpaksa kehilangan pekerjaan karena harus mengurus secara bergantian dengan istrinya karena mengurus anaknya yang hampir setiap hari harus ke rumah sakit," kata Anis.
Kemudian, kata dia, Komnas HAM juga menyimpulkan tata kelola kelembagaan dan koordinasi antar instansi pemerintah yang memiliki otoritas dalam pelayanan kesehatan dan pengawasan obat dalam penanganan kasus GGAPA tidak efektif dan belum maksimal serta tidak memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
Selanjutnya, kata Anis, kesengajaan mengubah bahan baku tambahan obat yang tidak sesuai label dan peruntukannya sehingga menyebabkan keracunan disertai kematian terhadap ratusan anak oleh industri farmasi merupakan perbuatan melawan hukum atau tindak pidana.
Kemudian, Komnas HAM, kata Anis, Unsur pengabaian terhadap kewajiban industri dalam menjamin mutu, khasiat dan keamanan obat merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia (melanggar prinsip-prinsip bisnis dan HAM) karena telah mencabut hak hidup seseorang dan mengakibatkan penderitaan berkepanjangan bagi korban dan keluarga korban.
Selanjutnya, kata dia, penanganan kasus GGAPA dengan tindakan yang tidak efektif adalah bentuk pembiaran atau by omission pemerintah terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia.
"Dan pelanggaran dilakukan oleh negara karena mengabaikan kewajibannya untuk bertindak secara aktif dan efektif dalam melindungi dan atau memenuhi HAM," kata dia.
Kesimpulan tersebut di antaranya didasarkan pada sejumlah temuan faktual di antaranya kasus GGAPA pada anak di Indonesia sepanjang tahun 2022 sampai pada 5 Februari 2023 tercatat 326 kasus yang tersebar di 27 Provinsi di Indonesia.
Kedua, kasus gangguan ginjal akut akibat keracunan obat sirop pernah terjadi di berbagai negara.
Ketiga, GGAPA yang terjadi pada anak di Indonesia disebabkan keracunan senyawa EG/DEG
dalam produk obat sirop.
Keempat, kurang dan lambatnya informasi publik terkait munculnya kasus GGAPA.
Kelima, proses identifikasi penyebab GGAPA tidak dilakukan secara efektif.
Keenam, proses pengawasan sistem kefarmasian atau produksi dan distribusi obat tidak dilakukan secara efektif.
Ketujuh, koordinasi yang buruk antar lembaga otoritatif dan industri dalam sistem pelayanan kesehatan dan kefarmasian.
Kedelapan, adanya hambatan dalam proses penegakan hukum.
Kesembilan, penanganan terhadap korban dan pemulihan keluarga korban yang tidak maksimal.
Kesepuluh, adanya permasalahan regulasi dan tata kelola kelembagaan.