Gus Yahya Sebut Fikih Peradaban Merupakan Platform Pemutus Kekerasan yang Melanda Dunia
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Yahya Cholil Staquf menegaskan bahwa fiqih peradaban merupakan platform
Penulis: Rahmat Fajar Nugraha
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com Rahmat W. Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Yahya Cholil Staquf menegaskan bahwa fiqih peradaban merupakan platform untuk memutus berbagai problem kekerasan yang melanda dunia.
Hal itu disampaikannya dalam Seminar Nasional bertema “Menafsirkan Kembali Gagasan Fikih Peradaban dalam Perspektif Geopolitik Islam" di Gedung Prof Soenarjo, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Selasa (4/4/2023).
“Maka PBNU berikhtiar untuk menyediakan satu platform bagi para ulama yang mungkin saling berbeda pendapat ini untuk menemukan kata putus tentang hal-hal paling strategis di dalam kehidupan umat manusia ini di tengah-tengah masyarakat dunia yang penuh keragaman ini,” kata Gus Yahya dalam keterangannya, Selasa (4/4/2023).
“Bahwa telah terjadi perubahan-perubahan berskala peradaban, sejak beberapa abad terakhir ini, sudah menjadi pengetahuan kita semua. Tetapi bagaimana konsekuensi-konsekuensinya terhadap norma-norma keagamaan selama ini, masih sangat kurang menjadi bahan pemikiran termasuk di kalangan para ulama,” lanjut kiai yang akrab disapa Gus Yahya ini.
Gus Yahya mencontohkan NKRI sebagai negara bangsa itu sendiri, dasar syariatnya belum ada yang membuat karya yang secara metodologis dengan disiplin syariat menjelaskannya. Belum ada pula penjelasan mengenai syariat bisa menerima konstruksi negara bangsa yang berdemokrasi seperti Indonesia.
“Karena dalam konstruksi negara bangsa ini ada banyak hal-hal baru yang tidak matching lagi, tidak bersesuaian lagi dengan wawasan lama tentang negara dan kepemimpinan politik,” katanya.
Misalnya, kata Gus Yahya, satu pertanyaan saja kalau dikatakan di dalam wacana syariat itu selalu dibutuhkan adanya seorang Hakim yang bisa memberi kata putus terhadap segala macam perselisihan sehingga ada kaidah keputusan pemerintah memutus perselisihan.
“Karena itu, pemerintahan disebut hukuman karena memberi kata putus dalam perselisihan apapun di dalam masyarakat termasuk dalam perselisihan keagamaan,” ujarnya.
“Kalau dulu hakimnya adalah imam. Imam ya khalifah. Khalifah itu ya sultan. Lah kalau negaranya ini negara demokrasi, hakimnya siapa? Apakah Presiden memenuhi syarat menjadi hakim? Apakah harus hakim kolektif bersama dengan legislatif dan yudikatif misalnya atau bagaimana?” lanjut Gus Yahya.
Lebih lanjut, Gus Yahya menyampaikan bahwa kelompok yang menolak negara bangsa dan menggunakan kekerasan untuk mewujudkan cita-citanya itu juga mendasarkannya pada dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits. Karenanya, ia menegaskan bahwa perlu dasar pijakan yang bisa menjadi dalil agar kehidupan yang harmoni dapat terwujud.
Baca juga: Gus Yahya dan para Guru Besar: Fikih Peradaban Bawa Indonesia Jadi Kiblat Pengkajian Islam Dunia
“Maka mendesak sekali bagi kita semua untuk segera menemukan suatu landasan agar keseluruhan kehidupan umat manusia ini, bisa dibangun di atas prinsip-prinsip interaksi prinsip-prinsip pergaulan kemanusiaan yang lebih menjamin perdamaian,” katanya.