Perhimpunan Ahli Bedah Minta DPR Tinjau Ulang Poin Penting di RUU Kesehatan
PP Peraboi meminta DPR meninjau ulang beberapa poin penting dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Wahyu Gilang Putranto
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengurus Pusat Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PP Peraboi) meminta DPR meninjau ulang beberapa poin penting dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan.
Ketua Umum PP Peraboi dr. Walta Gautama, SpB.Subsp.Onk.(K), menilai dalam RUU Kesehatan ada beberapa hal yang akan berisiko secara langsung dan tidak langsung terhadap pelayanan dokter kepada pasien.
Di antaranya adalah tentang percepatan pemenuhan dokter subspesialis melalui program pendidikan berbasis rumah sakit.
Walta mengatakan pihaknya memahami bahwa dengan diangkatnya kanker sebagai layanan prioritas, maka dibutuhkan percepatan pemenuhan dokter spesialis dan subspesialis yang menangani kanker.
“Tetapi, rencana pendidikan dokter spesialis dan subspesialis berbasis rumah sakit ini berpotensi merugikan masyarakat bila dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa kajian yang mendalam dan perencanaan yang matang," kata Walta dalam pernyataan sikap organisasi di Jakarta, Kamis (27/4/2023).
Baca juga: FDSP Dukung RUU Kesehatan untuk Cegah Monopoli Organisasi Profesi
Beban rumah sakit yang besar, kata Walta, adalah pada pelayanan dan keselamatan pasien.
Beban tambahan untuk mendidik dokter spesialis dan subspesialis berpotensi menurunkan kualitas pelayanan, menurunkan kualitas dokter yang dihasilkan, serta berpotensi merugikan masyarakat.
"Mendidik dokter spesialis dan subspesialis tidaklah seperti memproduksi barang. Tidak cukup dengan memperbanyak fasilitas pendidikan, tapi juga harus ditunjang dengan kurikulum yang matang dan kualitas tenaga pendidik yang baik,” ujar Walta.
Hal lain yang dipandang PP Peraboi menimbulkan keresahan di kalangan tenaga kesehatan adalah belum adanya kepastian hukum bagi dokter dalam menjalankan profesinya.
Dalam beberapa pasal memang dinyatakan bahwa pemerintah memberikan perlindungan hukum, tetapi masih ada peluang para dokter akan mengalami kondisi penuntutan berlapis yang tertuang dalam DIM RUU Omnibus Law Kesehatan.
Menurut Walta, hal ini akan berpotensi berkembangnya praktik defensive medicine, yang pada akhirnya juga akan merugikan pasien.
Di sisi lain, Walta juga menyampaikan bahwa pelayanan kasus kanker padat yang melibatkan pembedahan berisiko menimbulkan disfigurasi atau kecacatan.
Tanpa adanya kepastian perlindungan hukum, ada potensi dokter dituntut pasien yang merasa tidak puas dengan hasil pembedahan.
"Kemungkinan adanya tuntutan berlapis mulai dari permintaan ganti rugi, tuntutan pidana dan perdata seperti yang diakomodir dalam pasal 283 RUU Omnibus Law Kesehatan akan menimbulkan praktik defensive medicine," tutur Walta.
"PP Peraboi menilai hal ini akan menurunkan kualitas pelayanan kanker dan akhirnya malah merugikan pasien kanker," tambah Walta.
Peraboi sebagai organisasi profesi yang mewadahi dokter spesialis bedah yang melayani pasien kanker berharap DPR memberikan perhatian khusus dalam pengkajian pasal 243 dan 283 RUU Omnibus Law Kesehatan.